Minggu, 27 Juni 2010

Qirâ'at Dalam Perspektif Orientalis: Kajian Kritis

Oleh: Iskandar Zulkarnaen (Alumni PKU III ISID Gontor)

A. Pendahuluan
Dalam studi Ilmu Al-Qur'an dikalangan Orientalis, adanya "keragaman bacaan al-Qur'ân" menjadi satu pintu masuk untuk menggulirkan keraguan terhadap otentisitas teks Al-qur'ân (mushaf Utsmani). Salah seorang orientalis yang termasuk paling awal mengangkat masalah perbedaan qirâ'at dengan ortografi Mushaf Utsmani adalah Noldeke. Dalam pandangannya, tulisan Arab menjadi penyebab perbedaan Qira'at. Senada dengan Noldeke, Ignaz Goldziher juga demikian. Ia mengatakan bahwa qirâ'at teks al-Qur'ân yang berbeda-beda kadangkala mencerminkan satu titik orientasi yang mengingatkan bahwa teks al-Qur'ân yang diterima secara luas sebenarnya bersandar pada keteledoran penyalin teks naskah sendiri. Bagi Goldziher, dibakukannya cara baca serta pembukuan Qur'ân oleh khalifah Utsman bin Affân ra itulah yang memunculkan polemik seputar otentisitas mushaf Utsmânî. Seperti Noldeke dan Goldziher, di dorong oleh motivasi mengumpulkan qirâ'at lemah dan menyimpang, Gotthelf Bergstrasser berupaya mengedit karya Ibn Jinnî dan Ibn Khalâwayh. Kemudian dilanjutkan oleh Arthur Jeffery, orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, konon ingin merestorasi teks Al-Qur'ân berdasarkan Kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang ditengarai merekam bacaan-bacaan (Qirâ'at) dalam beberapa mushaf tandingan' (Rival Codices). Demikian pendapat Noldeke, Goldziher, Bergstrasser dan Arthur Jeffery.

Orientalis-missionaris ini telah terbiasa dengan kritis Bibel mereka, misalnya menghimpun varian bacaan Perjanjian Baru, seperti John Mill yang mengkaji kritis teks (textual criticism) perjanjian Baru dengan cara menghimpun varian bacaan dari manuskrip-manuskrip Yunani kuno, ragam versi teks Perjanjian Baru dari para Petinggi Gereja. Hasilnya, Mill dapat menghimpun sekitar 30.000 varian bacaan yang berbeda dengan textus recepetus dalam versi bahasa Yunani kuno.

Persoalannya ialah, adanya adopsi oleh cendekiawan muslim mengenai varian bacaan pada Perjanjian, khusunya di Indonesia. Dalam buku Metodologi Studi Al-Qur'an misalnya, menjelaskan bahwa, sebelum al-Qur'an dikodifikasi dan distandarisasikan Utsman, tidak banyak isu ragam bacaan yang muncul. Hal ini bisa dimaklumi karena ayat-ayat al-Qur'an lebih banyak dihafal ketimbang ditulis. Tapi, setelah ada penyeragaman, isu keberbagaian versi al-Qur'an tidak bisa lagi dibendung. Pemahaman mengenai qira'at ini jelas keliru. Padahal adanya kodifikasi dan standarisasi yang dilakukan Utsman bin Affan ra bukan menjadi penyebab munculnya qira'at.
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam tulisan ini penulis akan membahas mengenai sebab-sebab lahirnya keragaman qirâ'at dan lahirnya huruf tujuh (ahrufu sab'ah) dalam perspektif orientalis, Qira'ah dengan Makna: Versi Orientalis, distorsi qirâ'at dalam mushaf utsmani: pandangan orientalis, serta dampak dari kajian orientalis mengenai qirâ'ah.

B. Lahirnya Keragaman Qira'at dalam pandangan Orientalis
Diantara kajian utama yang dilakukan Orientalis terhadap al-Qur'an dari aspek qirâ'atnya adalah mengenai lahirnya keragaman qirâ'at. Dalam pandangan Noldeke misalnya, tulisan arab menjadi penyebab perbedaan qirâ'ah. Mengadopsi gagasan Noldeke, Ignaz Goldziher, seorang Yahudi asal Hungaria dan pernah menjadi mahasiswa di al-Azhar Mesir, menjelaskan dengan mendetail mengenai penyebab perbedaan qiâ'ât. Goldziher menyatakan:

"lahirnya sebagian besar perbedaan (qirâ'at) tersebut dikembalikan pada karakteristik tulisan Arab itu sendiri yang bentuk huruf tertulisnya dapat menghadirkan suara (vokal) pembacaan yang berbeda, tergantung pada perbedaan tanda titik yang diletakkan di atas bentuk huruf atau dibawahnya serta berapa jumlah titik tersebut. Demikian halnya pada ukuran-ukuran suara (vokal) pembacaan yang dihasilkan, perbedaan harakat-harakat (tanda baca) yang tidak ditemukan batasannya dalam tulisan Arab yang asli memicu perbedaan posisi i'rab (kedudukan kata) dalam sebuah kalimat, yang menyebabkan lahirnya perbedaan makna (dalâlah). Dengan demikian, perbedaan karena tidak adanya titik (tanda huruf) pada huruf-huruf resmi dan perbedaan karena harakat yang dihasilkan, disatukan, dan dibentuk dari huruf-huruf yang diam (tidak terbaca) merupakan faktor utama lahirnya perbedaan qirâ'at dalam teks yang tidak punya titik sama sekali atau yang titiknya kurang jelas."

Untuk memperkuat gagasannya, Goldziher mengajukan sejumlah contoh yang ia bagi ke dalam dua bagian.

Pertama, perbedaan karena ketiadaan titik pada bentuk huruf tertulis.

a. ونادى أصحاب الأعراف رجالا يعرفونهم بسيماهم قالوا ما أغنى عنكم جمعكم وما كنتم تستكبرونMenurut Goldziher, sebagian sarjana (ulama) qirâ'at membaca lafadz تستكبرون yang tertulis dengan huruf ba' (dengan satu titik) dengan bacaan تستكثرونyaitu dengan huruf tsa' (bertitik tiga).

b. وهو الذي يرسل الرياح بشرا بين يدي رحمته . Kata بشرا dibaca dengan huruf nun sebagai ganti dari ba', sehingga menjadi نشرا.

c. ياأيها الذين أمنوا إذا ضربتم في سبيل الله فتبينوا ولا تقولوا لمن ألقى إليكم السلام لست مؤمنا Mayoritas ulama qirâ'at terpercaya (tsiqat) membaca lafadz فتبينوا dengan lafadz فتثبتوا

Kedua, perbedaan karena harakat, salah satu contoh

ما ننزل الملائكة إلا بالحق وما كانوا إذا منظرين
Goldziher menjelaskan dengan mengikuti perbedaan bacaan diantara sarjana qirâ'at pada lafadz yang menunjukan turunnya malaikat, apakah itu نُنَزّل atau تنزل atau diturunkan تُنزل maka secara praktis menunjukan bahwa sebuah pengamatan yang obyektif mengenai perbedaan harakat, turut berperan dalam menyebabkan munculnya perbedaan qirâ'at.

Senada dengan Goldziher, Arthur Jeffery berpendapat bahwa kekurangan tanda titik dalam mushaf Utsmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia fahami. Lebih jelasnya ia mengatakan:

"Dihadapkan dengan teks konsonantal yang gundul, qâri' pasti harus menafsirkannya. Ia harus menentukan apakah sebuah sin tertentu itu adalah shin atau sin, sad atau dhad, qaf dan lain sebagainya; dan ketika ia telah menetapkan itu, ia selanjutnya harus menentukan apakah membaca bentuk kata kerja sebagai aktif atau pasif, apakah memperlakukan sebuah kata tertentu sebagai kata kerja atau kata benda. Karena ia mungkin keduanya dan sebagainya."

Menurut Abdul Halim al-Najar, qira'at dari Surat al-A'raf ayat 48 yang menjadi justifikasi Goldziher di atas sama sekali tidak bisa menjadi pedoman, baik dalam qirâ'at tujuh maupun qirâ'at empat belas. Menurutnya, qirâ'at tersebut merupakan qirâ'at yang mungkar dan tidak diketahui secara definitif siapa yang membacanya. Sedangkan qirâ'at Surat al-A'raf ayat 57, Abdul Halim menegaskan bahwa qirâ'at ini telah pasti, dengan men-dlamah-kan nun dan men-sukun-kan syin (Nusyran) dari jalur Ibnu Amir, salah seorang sarjana qirâ'at tujuh. Dan dengan men-dlamah-kan nun dan syin (Nusyuran) dari jalur Nafi', Ibnu Katsir, Abu Amr, Abu Ja'far dan Ya'qub. Sarjana yang sejalan dengan mereka adalah Ibnu Mahisin dan Yazidi, sedangkan Hamzah, Kisa'i dan Khalaf membaca dengan nun yang berharakat fathah dan syin yang disukunkan (Nasyran) dengan berkedudukan sebagai masdar yang menempati tempatnya hal. Dari sini jelas, bahwa acuan dalam hal itu adalah kemutawatiran riwayat, bukan keadaan tulisan.

Membantah pendapat Goldziher dan Jeffery mengenai lahirnya qirâ'at, Muhammad Musthofa al-A'zami mengatakan bahwa "ketika perbedaan muncul-hal ini sangat jarang terjadi- maka kedua kerangka bacaan (titik dan syakal) tetap mengacu pada Mushaf 'Utsmani, dan tiap kelompok dapat menjustifikasi bacaannya atas dasar otoritas mata rantai atau silsilah yang berakhir kepada Nabi Muhammad Saw." Hal ini senada dengan pendapat Shabur Syahin, menurutnya, "Qiraât pada dasarnya adalah riwayat-riwayat yang berkaitan dengan cara Nabi Saw dalam membaca al-Qur'an, baik yang berkaitan dengan prinsip-prinsip umum maupun yang berkaitan dengan riwayat-riwayat yang bersifat parsial. Jadi, tulisan Arab bukanlah penyebab lahirnya perbedaan qirâ'at. Akan tetapi adanya perbedaan qirâ'at sangat membantu untuk mendalami qirâ'at-qirâ'at yang sahih dengan situasinya pada waktu penulisan mushaf utsmani, misalnya tidak adanya titik dan syakal. Menurut Abdul Halim, Pedoman utama bukanlah tulisan, karena jika demikian maka setiap qirâ'at yang ditoleransi oleh teks pasti akan menjadi pedoman.

Salah-paham tentang rasm dan qirâ'at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal sejarah Islam, Al-Qur'an ditulis "gundul", tanpa tanda baca walau sedikitpun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm Utsmâni sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum muslimin saat itu belajar al-Qur'an langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.

Dalam pandangan ulama, Qirâ'at (قراءات) secara etimologis merupakan bentuk jama' dari qirâ'ah (قراءة) yang merupakan bentuk masdar dari qara'a (قرأ) yang berarti membaca. Adapun secara terminologi, qirâ'at dalam pandangan ulama memiliki beberapa pengertian. Pertama, qirâ'at berarti salah satu madzhab (aliran) pengucapan Qur'an yang dipilih oleh salah satu imam qurra' sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya berdasarkan sanad-sanadnya yang sampai kepada Rasulullah Saw. Kedua, menurut Imam Zarkasyi (W 794 H) qirâ'at ialah "Perbedaan lafadz-lafadz yang tersirat dalam Al-Qur'an, baik mengenai huruf-hurufnya maupun tentang Kaifiyyah nya dalam hal takhfîf, tatsqîl maupun antara keduanya.

Pengertian ketiga, qirâ'at menurut Az-Zarqôni (W 1367 H) ialah, " madzhab (aliran) pengucapan al-Qur'an yang dipilih oleh salah satu imam qurra' sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya, yang sesuai dengan riwayat dan sanadnya, baik perbedaan yang berkenaan dengan pengucapan dalam huruf ataupun dalam kaifiyahnya. keempat, menurut Al-Bannâ ad-Dimyâtî, qirâ'at ialah "ilmu untuk mengetahui kesepakatan pembaca atau pembawa al-Qur'an dan perbedaan mereka dalam hal hadzaf, itsbât, tahrîk, taskîn, fasal, wasal dan lain-lain yang berkenaan dengan pengucapan, penggantian dan lainnya dari aspek pendengaran.

Dari pengertian qirâ'at diatas dapat kita simpulkan bahwa text Al-Qur'an telah diturunkan dalam bentuk ucapan lisan, dan dengan mengumumkannya secara lisan pula berarti Nabi Muhammad Saw, Secara otomatis menyediakan teks dan cara pengucapannya pada umatnya, kedua-duanya haram untuk bercerai .

Jadi, orientalis seperti Goldziher dan Jeffery telah keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings- sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel, serta keliru menyamakan qirâ'at dengan "readings", padahal qirâ'at adalah "recitation from memory" dan bukan "reading the text". jadi dalam hal ini kaidahnya adalah: tulisan harus mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi Saw ("ar-rasmu tâbi'un li ar-riwâyah") dan bukan sebaliknya.

Kekeliruan ini diakibatkan dari asumsi yang keliru, yakni memperlakukan al-Qur'an sebagai karya tulis; taking "the Qur'an as Text". Mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism , source criticism , form criticism , dan textual criticism. akibatnya mereka menganggap al-Qur'an sebagai karya sejarah (historical product), sekadar rekaman situasi dan refleksi budaya Arab abad ke 7 dan 8 Masehi. Mereka juga mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang ini tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya.

C. Hadits Tujuh Huruf (ahrufu sab'ah)

Al-Qur'an jelas bukan merupakan karya tulis, oleh karenanya keinginan Orientalis untuk menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bible amatlah keliru. Al-Qur'an merupakan mukjizat Nabi Muhammad untuk seluruh umat, kemudahan membaca al-Qur'an merupakan salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur'an. Nabi Saw telah diberi izin untuk membacakan Al-Qur'an kepada umatnya dengan tujuh huruf.
Mengenai sabda Rasulullah Saw atas diturunkannya Al-Qur'an dengan tujuh huruf, Goldziher berkomentar bahwa

"Dalam maknanya yang shahih mengenai hadits tersebut- para ulama Islam tidak memiliki kesepakatan yang jelas – di kalangan ulama, hadits ini terdiri dari 35 bentuk penafsiran, yang kesemuanya itu sama sekali tidak terkait dengan perbedaan qirâ'at. Hanya saja banyaknya perubahan dalam teks Al-Qur'an pada masa awal mendorong munculnya penafsiran bahwa makna huruf dalam konteks ini adalah qirâ'at, dan penggunaan hadits tersebut menunjukan adanya pembenaran yang terikat dengan sebagian aturan dan syarat-syarat qirâ'at yang berlaku."

Statemen Goldziher di atas menunjukan bahwa tidak adanya penafsiran yang pasti mengenai hadits tujuh huruf menunjukan tidak sepakatnya para ulama. Menurut Abdul Halim, pendapat Goldziher tidaklah tepat. Banyaknya versi penafsiran karena ia secara inheren merupakan sikap yang cukup jelas atas hadits tersebut, oleh karena itu tidak akan di temukan solusinya kecuali memilih salah satu versi penafsiran dengan dalil-dalil yang representatif. Hal ini telah mematahkan asumsi Goldziher, dan juga merupakan hujjah bahwa qirâ'at-qirâ'at ada lebih dahulu daripada tulisan.
Ada beberapa pendapat soal makna al-ahruf al-sab'ah (tujuh bacaan). Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Sufyan bin 'Uyainah, Thohawi dan para ulama fiqih-hadits berpendapat, yang dimaksud dengan al-ahruf al-sab'ah (tujuh bacaan) adalah tujuh bahasa atau lahjat dalam satu kalimat. Lahjat ini lafalnya berbeda sedangkan maknanya sama, contoh haluma, aqbil, ta'al, 'ujjila, asra'a, qashdii, nahwi, ketujuh lafadz diatas maknanya satu, yaitu meminta untuk datang.

Al-Sheikh al-Zarqâni memahami makna tujuh huruf atau sab'ati ahruf sebagai tujuh bacaan atau sab'ati awjûhin li al-qirâ'at. Al-Râzî memahami sab'at awjuh, yaitu: pertama, perbedaan dalam al-asmâ dari ifrâd, tathniyyah, jama', tadzkîr, ta'nîth, mubâlaghah dan lain-lain . Kedua, perbedaan dalam tasrîf al-af'al dan apa yang disanadkannya dari kata kerja mâdi , mudâri' dan 'amr, dengan isnâd-nya kepada mudzakkar, mu'annath, mutakallim, mukhâtab, fâ'il, dan maf'ûl bihi. Ketiga, wujuh al-I'rab. Keempat, penambahan dan pengurangan atau al-Ziyâdah wa al-ta'khîr. Kelima, mengajukan atau mengakhirkan atau altaqdîm wa al-ta'khîr. Keenam, al-qalbu dan al-ibdâl dalam bentuk kalimat dengan kalimat atau huruf dengan lainnya. Ketujuh, perbedaan bahasa dari harakat fath, imâlah, tarqîq, tafkhîm, tahqîq dan lain-lain. Memang lebih dari dua puluh sahabat telah meriwayatkan hadits yang mengukuhkan bahwa Al-Qur'an telah diturunkan dalam tujuh huruf. Bahkan Muhammad Musthofa A'zhami menambahkan bahwa ada empat puluh pendapat tentang makna ahruf. Menurutnya, beberapa dari mereka mengartikannya begitu jauh, namun, kebanyakan sepakat bahwa tujuan utama adalah memberi kemudahan membaca Al-Qur'an bagi mereka yang tidak terbiasa dengan dialek Quraisy.

Karena dispensasi ini, maka muncullah beberapa perbedaan bacaan Al-Qur'an seperti bacaan idhgam, izhhâr, imâlah, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, tidak diragukan lagi, bahwa para sahabat yang telah memeluk Islam pada periode Makkah mampu membaca Al-Qur'an seperti model bacaan Nabi Muhammad Saw. Sedangkan mereka yang memeluk Islam sesudah itu mengalami dua hal, lebih jelasnya Syahin mengatakan:

"Pertama, mereka berasal dari kabilah-kabilah yang berbed. Mereka berasal dari beberapa kabilah yang terpencar di semenanjung Jazirah Arabia. Mereka belum bisa berbahasa Arab dengan fasih atau berbahasa dengan dialek Quraisy. Bahasa Arab yang fasih masih asing bagi mereka, kendati mereka mampu mengucapkan sesuai dengan sifat-sifatnya. Kedua, para sahabat yang lebih dulu masuk Islam mampu membaca Al-Qur'an dengan baik dan jelas disebabkan karena peluang mereka untuk belajar langsung kepada Nabi Muhammad Saw sangat banyak dan terbuka lebar. Mereka dapat mengikuti beliau dalam segala hal. Sementara para sahabat yang terakhir masuk Islam tidak mendapatkan peluang semacam. Mereka jarang berhubungan secara langsung dengan beliau. Karena itu, mereka diberi dispensasi untuk membaca Al-Qur'an dengan tujuh huruf. Dengan demikian, mereka memiliki kesempatan untuk belajar, berlatih, dan memperbaiki bacaan Al-Qur'an mereka".

'Umar Ibn al-Khattâb dan Hishâm bin Hâkim pernah berselisih mengenai Surat al-Furqân, walaupun keduanya pernah bersama-sama belajar langsung dari Nabi Muhammad Saw, 'Umar bertanya pada Hishâm siapa yang mengajarkannya. Hishâm menjawab, "Nabi Muhammad Saw" kemudian mereka pergi bertemu Rasulullah Saw dan melaporkan permasalahan yang dihadapi. Ketika kedua-duanya menyampaikan bacaan masing-masing, Rasulullah Saw mengatakan bahwa kedua-duanya adalah benar. Kejadian serupa dialami oleh Ubay bin Ka'ab. Jelasnya, tidak ada seorang sahabat yang berani mengada-ada membuat silabus sendiri: semua bacaan sekecil apa pun merupakan warisan Nabi Muhammad Saw.

Mengenai hadits tujuh huruf, Syahin mengatakan bahwa "Dispensasi mengenai tujuh huruf ini bersifat temporal. Ia berlaku bila alasan yang melatarbelakanginya diberlakukan masih ada" . Bila tidak, maka dispensasi ini tidak berlaku lagi. Artinya, turunnya tujuh huruf ketika ada kemaslahatan yang mendesak untuk diberlakukannya. Menurutnya, keadaan dan situasi yang menuntut diberlakukannya izin membaca Al-Qur'an dengan tujuh huruf baru terakumulasi di akhir periode Madinah. Pada periode ini, jumlah umat dan teks Al-Qur'an yang sudah turun cukup banyak, jumlah dialek umat beragam, dan fasilitas-fasilitas untuk mengajarkan Al-Qur'an kepada umat masih minim dan terbatas. Dengan demikian, alasan untuk memberikan kemudahan ini menjadi logis. Lalu dispensasi ini menjadi tidak berlaku, ketika umat bersatu dalam satu mushaf, yakni mushaf utsmani. Disini Syahin menyetujui pendapat at-Thabari yang menyatakan bahwa dispensasi ini telah ditiadakan berkat jasa Utsman yang mengumpulkan Al-Qur'an dan menulis beberapa mushaf. Menurut Syahin, dengan usaha ini, Utsman telah menyatukan umat dalam satu huruf dan mengesampingkan enam huruf lainnya.

Namun Syahin juga menyetujui pendapat yang dikemukakan Dr. Anis. Ia menyatakan, "Bahwa Ruh /semangat dari dispensasi ini masih tetap ada sampai saat ini. Kaum muslimin membaca dalam batas-batas dispensasi ini, kendati bahasa mereka berbeda, baik di masa lalu, masa sekarang, maupun masa yang akan datang" . Akan tetapi, Syahin tidak menganggap hal ini sebagai bagian dari tujuh huruf. Menurut Syahin, hal tersebut hanyalah ruh kemudahan yang menjadi ciri khas agama Islam. Sebab, menurutnya, keberadaan tujuh huruf ditinjau dari arti penurunannya telah berhenti sejak kaum muslimin menyepakati mushaf Utsmani.

Sekalipun terdapat banyak pendapat mengenai makna huruf, namun mayoritas menyetujui bahwa tujuan utamanya adalah untuk memfasilitasi qirâ'ah al-Qur'an bagi mereka yang tidak terbiasa dengan dialek Quraish. Akhirnya semua qirâ'ah yang beragam tersebut ditemukan di dalam 5 Mullaf yang resmi yang perbedaannya tidak melebihi 40 karakter. Para Qurra' dikirim dan diharuskan mengikuti kerangka teks yang mengungkapkan otoritas mana yang harus mereka pelajari dalam qirâ'ah.


D. Qira'ah dengan Synonim Kata: Versi Orientalis

Goldziher dan Blachere menganggap bahwa di zaman masyarakat Muslim terdahulu, mengubah sebuah kata dalam ayat Al-Qur'an untuk mencari kesamaan sangatlah dibolehkan. R. Blacher mengemukakan pandangannya mengenai hal ini, ia mengatakan,

"Selama rentang waktu yang dimulai dari pembaiatan Ali bin Abi Thalib tahun 35 H, sampai waktu pembaiatan khalifah kelima Dinasti Umawiyah, Abdul Malik bin Marwan, tahun 65 H, semua konsepsi tentang masalah bacaan dengan makna saling bertentangan. Otoritas Mushaf Utsmani telah tersebar di seluruh wilayah Islam. Hal ini diperkuat dan didukung dengan otoritas orang-orang yang ikut terlibat dalam penulisannya. Mereka menduduki jabatan-jabatan strategis di wilayah Syam. Boleh jadi perbaikan yang dilakukan Utsman saat itu menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Akan tetapi, bagi sebagian kaum muslimin, yang penting bukanlah teks al-Qur'an dan huruf-hurufnya, tapi justru ruhnya. Berpijak dari sini, maka pemilihan huruf dalam qirâ'at yang terdiri dari kata-kata sinonim menjadi hal yang diperbolehkan dan tidak menjadi fokus perhatian. Tidak dipungkiri lagi bahwa konsep qirâ'at dengan makna adalah konsep yang paling bebahaya. Sebab, konsep ini menyerahkan kepada kehendak setiap orang untuk menentukan teks. Sementara kita tahu, bahwa kata sinonim itu bukanlah wahyu yang diturunkan kepada pemilik mushaf yang berbeda-beda itu. Hal tersebut hanyalah pendapat pribadi dari si pemilik mushaf-mushaf tersebut. Setelah roda waktu berputar, maka masuklah unsur-unsur non Arab kedalam komunitas Islam. Pandangan-pandangan mereka pun berbeda dan sangat banyak, hingga akhirnya muncullah sekelompok orang yang berpegang teguh pada mushaf utsmani."

Yang paling berbahaya dari statemen R. Blachere di atas adalah, ia menganggap kaum muslimin lebih mementingkan ruh Al-Qur'an, bukan huruf dan teksnya. Menurutnya, inilah yang menyebabkan lahirnya qirâ'ah dengan makna selama rentang waktu antara tahun 35-65 H. Faktanya dengan izin ini setiap orang dapat membaca Al-Qur'an dengan tujuh huruf adalah rukhsah (dispensasi) yang bersifat temporal pada masa Nabi, yang diberlakukan karena faktor kondisi saat itu, sehingga dengan izin ini setiap orang dapat membaca Al-Qur'an sesuai dengan kemampuannya. Kondisi ini telah berakhir berkat jasa Utsman bin 'Affan yang telah mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu Mushaf.
Menurut Blachere, banyak unsur-unsur non Arab yang telah masuk ke dalam masyarakat Islam, sehingga hal ini menambah qirâ'ah dengan makna. Mengenai masalah ini, ia memiliki dua pandangan. Pertama, ia berpandangan bahwa sebagian bacaan Al-Qur'an timbul karena tindakan seseorang terhadap unsur-unsur non Arab. Kedua, Blachere menduga ada sekelompok orang yang menciptakan segi-segi bacaan berdasarkan mushaf utsmani.

Pendapat Blachere di atas sesuai dengan pandangan Goldziher, ia mengatakan:

"Bersumber dari ketetapan Umar, yang menyatakan bahwa sesungguhnya al-Qur'an adalah benar seluruhnya, dan sebuah riwayat yang menyatakan" sesuatu yang cukup memadai selagi ayat rahmat tidak dijadikan ayat azab, dan ayat azab dijadikan ayat rahmat". Artinya, selama hal ini tidak terjadi perbedaan yang prinsipil dalam makna lafadz. Dengan demikian maka yang lebih dikedepankan dalam tingkatan paling utama adalah makna yang dikandung oleh teks, bukan menjaga secara ketat qirâ'at tertentu. Ini merupakan pendapat terutama yang terkait dengan bacaan Al-Qur'an yang menggambarkan perkara ibadah formal-yang bermuara pada pembolehan untuk membaca teks yang sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya meskipun tidak sesuai secara tekstual (qirâ'at dengan makna).

Untuk menjustifikasi pendapatnya, Goldziher memaparkan contoh dari surat al-fatihah, ia menjelaskan bahwa Abdullah bin Mas'ud mengganti lafadz pertama pada ayat اهدنا الصراط المستقيم dengan sinonim lafadz itu, yaitu ارشدنا الصراط المستقيم , menurut Goldziher, ada pula sebuah statemen yang dikutip dari Abdullah bin Mas'ud sendiri, yaitu: "Aku telah mendengar semua qirâ'at mereka sangat berdekatan, maka bacalah sebagaimana yang kamu ketahui, seperti lafadz هلم dan تعالى (keduanya bermakna "kemarilah"). Diceritakan pula tentang Abdullah bin al-Mubarak, bahwa dia sama sekali tidak pernah menolak satu huruf (yang berbeda dengan qirâ'at masyhurah) dari seorang pun ketika orang tersebut membacakan
Goldziher keliru sebab menurut Abdul Halim al-Najâr jika pendapatnya benar, maka di sana tidak ada keharusan dan alasan untuk membakar mushaf selain mushaf Utsmaniah yang telah disepakati keberadaannya. Sedangkan kaitannya dengan statemen Ibnu Mas'ud: "Bacalah sebagaimana yang kamu ketahui", Abdul Halim al-Najâr mengatakan bahwa "Sebenarnya statement itu menjustifikasi ketiadaan kebebasan qirâ'at dan keharusan untuk berpegang pada riwayat sahabat.

Adapun mengenai statemen Blachere di atas, Abu Syuhbah mengatakan bahwa, "Klaim serta Asumsi Blachere diatas saling kontradiksi dan tidak berdasarkan dengan dalil. Apa yang disampaikan Blachere mengenai motif Utsman dalam pengumpulan mushaf jelas keliru, menurut Syuhbah bagaimana mungkin pendapat ini tidak keliru sedangkan umat Muslim sangat mementingkan teks dan huruf-hurufnya? Kemudian bagaimana pula dengan banyaknya contoh riwayat-riwayat yang shohih.

Dengan pandangan Blachere dan Goldziher ini, berarti mereka telah menanam bibit keraguan terhadap bacaan-bacaan yang benar yang sesuai dengan salinan mushaf utsmani. dengan pandangan semacam ini, ia juga telah meragukan fungsi dari salinan mushaf utsmani, padahal salinan mushaf utsmani ini dianggap sebagai parameter bacaan Al-Qur'an. Hasilnya, jika qirâ'ah dengan makna ini diperbolehkan, niscaya akan lahir berbagai macam bacaan Al-Qur'an dikalangan umat muslim dunia. Padahal lafadz yang ada dalam Al-Qur'an berasal langsung dari Allah SWT, bukan buatan Nabi Muhammad Saw. Ragam qira'ah yang ada itu bukan karena pengembangan/penggunaan sinonim-sinonim setiap kata dalam bahasa arab, walaupun ragam bacaannya banyak, akan tetapi lafdzannya tetap satu.

E. Distorsi Qirâ'at dalam Mushaf Utsmani: Pandangan Arthur Jeffery

Mushaf `Utsmani merupakan mushaf standar yang disahkan oleh para shahabat pada masa khalifah `Utsman bin `Affan radliyallaahu ‘anhu, akan tetapi Orientalis dan para pengikutnya menganggap bahwa unifikasi yang dilakukan otoritas `Utsman ini dituduh secara otomatis telah berusaha meniadakan varian bacaan yang dilegitimasi oleh Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama sendiri, yaitu Al Qur’an yang turun dalam “tujuh huruf”. Dengan asumsi bahwa mush-haf `Utsmani tidak mencakup apa yang disebut sebagai “tujuh huruf” secara keseluruhan, berarti Mush-haf ini telah menghilangkan banyak bagian dari Al Qur’an, Jeffery misalnya mengatakan bahwa:

"Sebagian besar variasi dialek tidak akan diwakili dalam bentuk tertulis sama sekali, dan sehingga tidak akan mengharuskan adanya teks baru".

Mengenai hal ini, terdapat tiga kelompok perbedaan dikalangan ulama. Pertama, At-Thobari dan orang yang sepakat dengannya dalam memandang tujuh huruf mengatakan bahwa mushaf Utsmani hanya mencakup salah satu dari ketujuh huruf, yaitu huruf Quraisy, yang dikumpulkan oleh Utsman Ra dalam masâhif, Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Fath mengatakan bahwa pendapat Ath-thobari dan orang yang sepakat dengannya dalam memandang tujuh huruf merupakan pendapat yang kuat (Rôjih ). Kedua, para ulama fiqih dan mutakallim mengatakan bahwa mushaf utsmani telah mencakup seluruh huruf yang tujuh (sab'atu ahruf), oleh karena itu tidak diperbolehkan bagi umat muslim mengabaikan sedikit pun dari tujuh huruf tersebut, karena Sahabat ra telah berupaya mengumpulkan tujuh huruf tersebut dalam satu mushaf dari suhuf yang ditulis Abu Bakar ra, dan para sahabat sepakat untuk meninggalkan selain tujuh huruf. Ketiga, mayoritas ulama shalaf dan kholaf mengatakan bahwa mushaf Utsmani mencakup atas apa yang memungkinkan dari tujuh huruf yang terakhir yang di sampaikan nabi kepada Jibril AS, hal tersebut tidak tertinggal satu pun. Ibnu al-Jariri mengatakan bahwa pendapat ini terlihat jelas kebenarannya, karena merupakan pilihan tujuh huruf yang telah disepakati.

Dalam pandangan Abu Hayyan al-Andalusi kitabnya al-Bahru al-muhith dan al-Banna dalam kitabnya ithaaf Fudhalaa' al-Basyar fi al-Qirâ'at al-'Arba'ata 'Asyr menjelaskan bahwa mushaf utsmani telah disepakati dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung pelbagai qirâ'at yang diterima. Misalnya, dengan menyembunyikan (hadhf) alif pada kata-kata berikut:

Pertama, "m-l-k" (QS. 1:4) demi mengakomodasi qirâ'at 'Âsim, al-Kisa'i, Ya'Qub dan Khalaf ('maaliki" panjang) sekaligus Qirâ'at Abu 'Amr, Ibnu Katsir, Nafi', Abu Ja'far, dan Ibnu 'Amir ("maliki"-pendek). Kedua, "y-kh-d-'-w-n" (QS. 2:9) sehingga memungkinkan dibaca "yukhaadi'uuna" (berdasarkan qirâ'at Nafi', Ibnu Katsir dan Abu 'Amr) dan "yakhda'uuna" (mengikuti qirâ'at 'Ashim, al-Kisa'i, Ibnu 'Amir dan Abu Ja'far). Ketiga, "w-'-d-n-' " (QS. 2: 51) ditulis demikian untuk menampung qirâ'at Abu 'Amr, Abu Ja'far, Ya'qub ('wa'adnaa"-pendek, tanpa alif setelah waw) dan qirâ'at Ibnu Katsir, 'Asim, Al-Kisâ'i serta Ibnu 'Amir ("waa'adnaa"- waa panjang, dengan alif) . Jadi, disatukannya Al-Qur'an dalam satu mushaf bukan berarti Al-Qur'an tidak mewaliki ragamnya qirâ'at yang ada.


F. Dampak Kajian Orientalis Mengenai Qirâ'at

Dampak dari penerapan metodologi Bibel (textual criticism) dalam studi Al-qur'an khususnya aspek qirâ'at adalah mengkritisi dan mengedit Mushaf 'Utsmani. Padahal, status teks Bibel dan Al-Qur'an tidaklah sama. Menggunakan metodologi Bibel ke dalam studi Al-Qur'an akan mengabaikan sakralitas Al-Qur'an. Kalangan Kristen mengakui Bibel sebagai karangan manusia sedangkan Al-Qur'an diturunkan dari Allah dan bukan karangan Nabi Muhammad Saw. Metodologi Bibel sarat dengan sejumlah permasalahan mendasar di dalam Bibel yang memang mustahil untuk diselesaikan .
Nampaknya hal ini yang menjadi dasar kajian orientalis terhadap Al-Qur'an. Dengan banyaknya ragam qirâ'ah serta dugaan-dugaan mengenai problematika qirâ'at, mereka bermaksud menyusun sebuah Al-Qur'an dengan bentuk yang baru. Al-Qur'an dengan bentuk baru inilah Al-Qur'an edisi kritis. Dalam pikiran Jeffery misalnya, Format Al-Qur'an edisi kritis memiliki empat jilid. Jilid pertama, mencetak teks Hafs yang diklaim sebagai teks yang diterima (tektus receptus) saat ini. Teks tersebut akan dicetak menurut nomor ayat Flugel. Referensi yang relevan akan dicantumkan di pinggir halaman tersebut beserta laporan varian bacaan (appartus criticus) pada catatan kaki setiap halaman. Segala varian bacaan dari buku-buku tafsir, kamus, hadits, teologis, filologis, dan bahkan dari buku-buku adab, akan dihimpun. Setelah itu, diberi berbagai simbol, yang menunjukan nama para qurra' yang dikutip untuk setiap varian. Ini akan menunjukan apakah para qurra' yang dikutip lebih dahulu atau lebih belakangan dibanding dengan qirâ'ah sab'.

Menurut jeffery, sekalipun appartus (laporan varian bacaan) criticus tidak dapat diharapkan akan sempurna karena terlalu berserakannya varian bacaan, namun semua sumber-sumber yang lebih penting yang tersedia akan dimanfaatkan. Jilid kedua akan diisi dengan pengenalan (introduction), untuk para pembaca bahasa inggris, edisi ini dalam bahasa Jerman sudah tersedia dalam edisi kedua karya Noldeke Geschichte des Qorans. Jilid ketiga akan dilengkapi dengan anotasi-anotasi, yang pada dasarnya merupakan komentar terhadap apparatus criticus. Berbagai varian tersebut perlu dijelaskan lebih mendalam. Penjelasan tersebut mencakup asal-mula, derivasi dan pentingnya qirâ'ah. Ini akan bermanfaat jika terjadi perdebatan mengenai sebuah bacaan. Para sarjana akan mendapat informasi tambahan sehingga mereka bisa menilai. Jilid keempat, berisi kamus Al-Qur'an . Jeffery membayangkan kamus Al-Qur'an tersebut seperti Kamus Grimm-Thayer atau kamus Perjanjian Baru Milligan-Moulton. Kamus yang belum pernah dibuat oleh para mufasir Muslim, Kamus Al-Qur'an tersebut akan memuat makna asal dari kosa-kata di dalam Al-Qur'an.

Selain tujuan diatas, dengan mengkritisi keotentikan mushaf Utsmani, khususnya melalui ragamnya bacaan, orientalis ingin memasukan metode hermeneutika Al-Qur'an, yang pada akhirnya hermeneutika menggiring kepada gagasan bahwa segala penafsiran al-Qur'an itu relatif. Padahal Otentisitas Al-Qur'an terjaga. Bahasa Al-Qur'an tidak mengalami perubahan. Sedangkan Bibel tidaklah final, tidak tetap dan berubah-ubah.


G. Penutup/Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa kajian orientalis terhadap qirâ'at jelas merupakan usahaa untuk memberikan keraguan kepada umat islam terhadap otentisitas mushaf utsmani. Berbagai pandangan orientalis mengenai qirâ'at, baik itu pandangan mereka mengenai lahirnya ragam qirâ'at, kemudian qirâ'at dengan makna, maupun mengenai qirâ'at dengan mushaf utsmani jelas dipenuhi dengan kekeliruan.

Upaya yang dilakukan orientalis dalam merusak keotentikan mushaf utsmani tetap tidak membuahkan hasil yang mereka harapkan. Al-Qur'an dengan segala aspeknya telah Allah jamin keotentikannya, oleh karena itu, usaha orientalis dalam merusak keyakinan umat muslim terhadap al-Qur'an tetap akan sia-sia.

Daftar Referensi

Al-'Asqalânî, Ibn Hajar, Fath al-Bârî bi sharh Sahîh al-Bukhârî, editor al-'Azîs ibn 'Abdullâh ibn Bâz dan Muhammad Fu'âd 'Abd al-Bâqî, 14 Jilid (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1998)
Al-Dausri, 'Abdullah bin Ibnu Baz bin Ali Dzofar Atsaru Ikhtilâfi al-qirâ'at fi al-Ahkâm al-Fiqhiyyah, Cet I, (Mesir: Daar al-hadyi al-Nabawi, 2005)
Ahmadi, Ali, " Al-Qirâ'at dan Orisinalitas Al-Qur'an", dalam Al-Insan, Jurnal Kajian Islam, 2005, Vol. I. No. I. Januari
Al-A'zami, M. Musthofa, The Histoy of The Qur'anic Text, pen Sohirin solihin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
Arif, Syamsuddin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Cet I (Jakarta: Gema Insani, 2008)
Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur'an, Cet I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
Armas, Adnin, 2004 "Kritik Arthur Jeffery Terhadap Al-Qur'an", dalam ISLAMIA Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Thn I No 2, Juni-Agustus,
Al-Qattân, Mannâ, Mabâhith fi 'Ulûm al-Qur'ân, (Riyadh: Mansyûrât al-'ashri al-Hadîts, 1990) cet. II
Az-Zarkasyî, Al-Imâm Badru Ad-Dîn Muhammad bin Abdullâh, Al-Burhan Fî 'Ulûmi Al-Qurân, Tahqîq Muhammad Abu Al-Fadhl Ibrâhîm, (al-Mamlakah al-'Arobiyyah As-Suûdiyyah: Dâr 'âlimi al-Kutub, 2003) cet I, Juz I,
Az-Zarqônî, As-Syekh Muhammad 'Abdul 'Adzîm, Manâhilul 'Irfân Fî 'Ulûmi al-Qur'ân, Tahqîq Fawwâz Ahmad Zamarlî, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-'arobî, 1995/1415), cet I, Juz I
Badawi, Abdurrahman Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroeni Drajat dari Mawsu'ah al-Mustasyriqin (Yogyakarta: LKis, 2003)
Goldziher, Ignaz, Madzaahibu at-taffsir al-Islaamii, Pen. Dr. Abdul Halim A, ( Mesir: Maktabah al-Khanaji, 1995)
Ghazali, Abd. Moqsith, dkk, Metodologi Studi Al-Qur'an, (Jakarta: Gramedia, 2009)
Hanafi, A, Orientalisme, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981)
Ismâ'îl, Nabîl bin Muhammad Ibrâhim âli, Ilmu al-Qirâât: Nasy'atuhu, ath wâruhu, atsaruhu fî al 'ulum as-Syar'iyyah, (Riyadh: Maktabah at-Taubah, 1419)
King, Richard, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, pen. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Qalam, 2001)
Muslim, Sahîh,
Rauf M, Hasan Abdul. el. Badawiy dan Ghirah, Abdurrahman, Orientalisme dan Misionarisme, pen. H. Andi Subarkah (Bandung: Rosdakarya, 2007)
Syahin, Abdul Shabur, Târîkhu al-Qur'ân, (Kairo: Nahdet Mesir, 2007), cet III
Syuhbah, Muhammad Muhammad Abu, Al-Madkhal li dirâsati al-Qur'âni al-Karîm, Cet ke III, (Riyadh: Dâr al-Liwâ, 1987)
Thowil, Sayyid Rizki, fî 'Ûlûmi al-Qirâ'at, (Makkah: al-Faisholiyah, 1985) Cet I
Zarkasyi, Hamid Fahmy Liberalisasi Pemikiran Isam: Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: CIOS, 2007)
http://www.newadvent.org/cathen/04503a.htm tgl 18/04/10 pkl 16:57
http://homepage.ntlworld.com/rsposse/sourcrit.htm tgl 18/04/10 pkl 17:06
Encyclopædia Britannica. 2007. Encyclopædia Britannica Online. 2 Dec. 2007
http://www.earlham.edu/~seidti/iam/text_crit.html tgl 18/04/10 pkl 17:04

Pengunjung