Rabu, 07 Desember 2011

KONSEP TASAWUF SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Written by Anwar Ma'rufi



A. Pendahuluan
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah tokoh sufi yang mempunyai pengikut dan pengaruh besar di dunia Islam. Ia dikenal sebagai penguasa para wali (Shulthan al-Auliya’) dan pemuka para sufi (Imam al-Ashfiya’). Jamaah sufi yang dinisbatkan kepadanya (Qadiriyah) merupakan tarekat yang paling tua usianya dan paling luas daerah penyebarannya. Ia seorang tokoh spiritual muslim yang benar-benar menghidupkan ruh Islam yang sejati, sehingga ia mendapat predikat muhyi ad-din (penghidup agama). Karena itulah Ibnu Taimiyyah pernah memuji manhaj akidahnya al-Jailani.

Namun, dalam sejarah dan perkembangan masyarakat, memilih kehidupan bersufi, seringkali disalah pahami dan diremehkan. Secara teologis, ajaran-ajaran tasawuf oleh beberapa kalangan, dipandang sebagai ajaran yang tidak berasal dari Islam, sehingga penganutnya dapat dianggap musyrik, pengikut bid’ah, takhayul dan khurafat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tasawuf adalah penyebab kemunduran sains Islam. Oleh karena banyak kalangan yang memandang tasawuf dan tarekat sebagai ajaran yang tidak berasal dari Islam, melalui makalah sederhana ini, penulis akan mengulas ajaran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tentang konsep akidah dan tasawufnya.

B. Biografi Singkat Abdul Qadir al-Jailani

Nama lengkap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa Jankidous bin Musa ats-Tsani bin Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali r.a bin Abu Thalib. Ibunya Syarifah Fatimah binti Sayid Abdillah ash-Shuma’i az-Zahid bin Abi Jamaluddin Muhammad bin Sayid Thahir bin Sayid Abi al-Atha’ Abdullah bin Sayid Kamaluddin Isa bin Alaudin Muhammad al-Jawad bin Sayid Ali Ridha bin Sayid Musa al-Khadim bin Sayid Ja’far ash-Shadiq bin Sayid Muhammad al-Baqir bin Sayid Zainal Abidin bin Sayid al-Husain bin Sayid Ali bin Abi Thalib r.a. Untuk efektifitas penulisan, penulis menyebutnya dengan al-Jailani.

Al-Jailani adalah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal, seorang pendiri tarekat Qadiriyah yang dilahirkan di Naif, Jailan pada 1 Ramadhan 470 H./ 1077 M. Sejak kecil ia sudah ditinggal ayahnya. Kealimannya sudah tampak di masa bayinya. Ia tidak mau menyusu di siang hari pada bulan Ramadhan. Ia dididik dalam lingkungan besar lagi mulia, sesuai dengan nasab dan keturunannya. Ia digembleng dalam didikan kaum sufi yang hidup serba sederhana dan ikhlas. Kesibukan al-Jailani dalam upaya ruhaniah membuatnya asyik dan hamper lupa akan kewajibannya untuk berumah tangga. Pada akhirnya, di usianya yang ke-51 beliau menikah dan mempunyai empat orang istri. Dari keempat istrinya itu, al-Jailani empat puluh sembilan anak, dua puluh putra dan selebihnya puteri.

Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Khilaf, Ilmu Ushul, Ilmu Nahwu, Ilmu Tajwid, Ilmu Sharaf, Ilmu Arudh, Ilmu Balaghah, Ilmu Mantiq dan Tasawuf. Beliau juga belajar kepada para ulama besar di zamannya, seperti Abu al-Wafa’ bin Aqil, Muhammad bin Hasan al-Baqilani, Abu al-Khatahab, al-Kalawazani dan Abu al-Husain Muhammad bin al-Qadhi Abu Ya’la, Abu Zakariya at-Tibrizi, Abu al-Khair Hamad bin Muslim ad-Dibbas hingga ia mendapatkan ijazah dan kedudukan tinggi dari al-Qadhi Abu Said al-Mukharami. Bahkan al-Jailani juga belajar kepada Nabi Khidir a.s. selama tiga tahun. Satu tahun pertama beliau makan dan minum, tahun kedua hanya makan saja, dan di tahun ketiga beliau tidak makan dan tidak minum, hingga dinyatakan lulus belajarnya.

Setelah al-Jailani menamatkan pendidikannya di Baghdad, ia mulai melancarkan dakwahnya. Tepatnya ketika beliau sudah berumur 50 tahun. Abu Said al-Mukhrami menyerahkan pembangunan madrasah kepadanya. Kian hari, murid-muridnya bertambah banyak. Karena itulah, madrasahnya diperluas dan pembangunannya selesai pada tahun 528 H. Di madrasah ini juga, al-Jailani berjuang dengan sungguh-sungguh dalam mendirikan tarekat yang dinisbatkan kepadanya, tarekat Qadiriyyah. Berkaitan dengan tarekat ini, Ibnu Taimiyyah berkata: “Tarekat beliau adalah tarekat yang dibenarkan oleh Syara’.”

Al-Jailani hidup di zaman kegairahan intelektual, tidak hanya di Baghdad saja, bahkan di seantero dunia Islam. Banyak ulama-ulama besar yang menuangkan pemikirannya dalam berbagai karya yang karyanya masih dapat dinikmati hingga hari ini. Di antara ulama yang hidup semasa dengan al-Jailani adalah, al-imam Ibnu al-Jauzy, Ibnu Qudamah, Syaikh Abu Umar ibn Shalah, al-Ghazali, Umar Khayam, al-Qusyairi, Az-Zuzani, dan lain sebagainya.

Sebagai seorang tokoh terkemuka, al-Jailani juga memiliki karya-karya sebagai penopang ajarannya itu. Di antara karya yang terkenal adalah; al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, kitab ini memaparkan secara ringkas fikih mazhab Imam Hanbali dan ajaran-ajarannya tentang akidah dan tasawuf; al-Fath ar-Rabbany, kitab ini berisi kumpulan nasihat bagi para murid dan guru sufi dan semua kalangan yang tertarik dengan jalan penyucian diri. Sesuai dengan judulnya, kitab ini hendak membawa pembacanya pada keuntungan dan manfaat spiritual yang sangat besar; dan Futuh al-Ghayb yang berisi kumpulan nasihat yang lebih lengkap dan mendalam dari kumpulan sebelumnya.

C. Pemurnian Tauhid dan Konsep Akidahnya

Kondisi sosial politik pada masa al-Jailani ditandai dengan kekacauan pemerintah dan kerusakan umat. Di mana-mana muncul kemunafikan, khurafat, dan bid’ah. Karena itulah, al-Jailani sangat lantang menyeru pada pemurnian tauhid dan menganggap remeh selain Allah. Ia pun secara tegas mengkritik para pembesar kerajaan, termasuk orang-orang gila harta. Dalam hal ini, ia berkata:

"Kamu bersandar kepada dirimu dan semua makhluk, pada harta kekayaanmu, penguasa negerimu, setiap orang yang kamu sandari adalah rusak. Dan setiap orang yang kamu lihat dalam keadaan bahagia dan sengsara juga akan rusak. Wahai hati yang mati! Wahai orang yang musyrik! Wahai para penyembah berhala, penyembah kehidupan dan harta, pengabdi para sultan kerajaan! Ketahuilah, mereka itu ditutupi oleh Allah Azza wa Jalla. Barang siapa menganggap bahwa bahagia dan nestapa itu dari selain Allah, maka mereka bukan hamba-Nya".

Dalam konsepsinya pemurnian tauhid dan penafian syirik, al-Jailani mempunyai pandangan yang mendalam. Menurutnya kesyirikan tidak hanya penyembahan pada berhala saja, tetapi juga pemujaan nafsu jasmani dan menyamakan segala sesuatu yang ada di dunia dan akhirat dengan Allah. Sebab selain Allah bukan Tuhan, dan menenggelamkan diri pada sesuatu selain Allah berarti menyekutukan Tuhan. Hidup bermewah-mewahan dan menyibukan diri dengan kehidupan dunia karena beranggapan bahwa kebahagiaan akan didapat di dalamnya, berarti juga menyekutukan Tuhan. Al-Jailani juga menyebutkan bahwa syirik orang khawas (kebalikan awa,) adalah menyekutukan kehendaknya dengan kehendak Allah, yaitu lalai dan terbawa suasana dunia.

Dalam melancarkan dakwah Islamnya, al-Jainlani lebih menitik beratkan kepada Iman seseorang untuk selalu mentauhidkan Allah. Karena Iman merupakan tolak ukur setiap individu yang mengaku sebagai seorang muslim. Oleh karena itu, iman memerlukan pengakuan secara konkrit dari seorang muslim atas ketentuan yang berlaku menuru syariat Allah. Sebab baginya Iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Iman akan menjadi kuat dengan ilmu dan akan menjadi lemah dengan kebodohan.

Langkah al-Jailani dalam menyeru umat sangat tepat. Sebab, di saat kekacauan umat sangat memuncak, maka gerakan tauhid dan kembali ke jalan Allah betul-betul diserukan dengan lantang. Sejalan dengan strategi dakwah al-Jailani, Isma’il Raji al-Faruqi, cendekiawan muslim kontemporer, mengatakan bahwa esensi peradaban Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang menegaskan bahwa Allah itu Esa, Pencipta yang Mutlak dan Transenden, Penguasa segala yang ada. Berpegang teguh pada prinsip tauhid merupakan fondasi dari seluruh kesalehan, religiositas (keberagamaan), dan seluruh kebaikan. Dengan demikian sangat tepat apa yang diupayakan oleh al-Jailani.

Al-Jailani adalah seorang sunni yang dalam banyak hal berbeda pandangan dengan aliran-aliran pemikiran yang berkembang di semasa hidupnya. Secara keseluruhan, metode yang dipakai oleh al-Jailani dalam menetapkan akidahnya adalah menggunakan Manhaj Turatsi, yang berafilisasi kepada manhaj ulama salaf shalih. Dalam permasalahan “usaha manusia” (af’al al-‘ibad) misalnya, ia berbeda dengan pandangan Jabbariyah yang fatalis dan Qadariyah. Menurutnya, perbuatan hamba itu adalah ciptaan Allah swt, demikian pula usaha mereka yang baik maupun yang buruk, yang benar atau yang salah, yang taat atau yang maksiat. Namun bukan berarti bahwa Allah swt memerintahkan maksiat, tapi Allah swt telah menentukan dan menetapkannya serta menjadikannya sesuai dengan kehendaknya. Hanya saja sesuatu yang berkaitan dengan perintah dan larangan yang ditujukan kepadanya adalah usaha manusia (al-kasb). Jika balasan itu jatuh kepada manusia, jelaslah bahwa perbuatan itu karena usaha mereka.
Lain halnya dengan Jabbariyah, mereka berpendaat bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pandangan al-Jailani juga berlawanan dengan kaum Qadariyah. Mereka menyatakan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.

Jadi jelaslah di sini bahwa al-Jailani tidak menghendaki manusia pasrah pada nasib dan takdir Allah sebagaimana kaum Jabbariyah. Juga tidak seperti Qadariyah yang menafikan peranan Allah dalam setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, al-Jailani menengahi di antara dua kutup pemikiran yang ekstrim. Manusia, oleh al-Jailani dianjurkan untuk selalu berusaha dan berdoa. Dan jika takdir sudah tiba, manusia harus menerima (tawakal), sebab Allah lebih mengetahui segala hikmahnya.

Mengenai sifat-sifat Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an dan sunnah, al-Jailani mengimani sepenuhnya tanpa melakukan takwil. Tidak seperti apa yang dilakukan oleh kaum Asy’ariyah dan Maturidiyah serta Mu’tazilah. Baginya, apa yang diberitakan oleh al-Qur’an tentang sifat-sifat Allah itulah yang benar, seperti Dia lah Yang menahan dan memberi, Yang membuat tertawa dan gembira, Yang murka dan Yang marah, Yang mengasihi dan mengampuni. Dia memiliki tangan dan Yang bersemayam (istiwa) di atas Arsy.

D. Konsep Tasawuf al-Jailani

Tasawuf sering disebut sebagai misitsisme dalam Islam (Islamic Mysticim) oleh orientalis. Terdapat berbagai kemungkinan mengenai asal-usul istilah tasawuf ini. (1) Ada yang mengatakan berasal dari kata Suffah, nama suatu ruang dekat masjid Madinah, tempat Nabi Muhammad saw memberikan pelajaran kepada para sahabatnya seperti Abu Darda, Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari dan lain sebagainya. (2) Ada juga yang mengatakan berasal dari kata suf yang berarti bulu domba, yang umumnya menjadi bahan pakaian orang-orang sufi dari Siria. (3) Lainnya mengatakan, ia berasal dari kata shaafiy yang berarti suci, artinya seorang sufi adalah orang yang disucikan melalui latihan-latihan ibadah. (4) Selain itu ada yang beranggapan dari kata sophos, kata Yunani yang berarti hikmah.

Adapun menurut al-Jailani, tasawuf diambil dari kata “ash-shafa” yang bermakna suci. Hati disucikan dengan makanan yang halal, dengan berma’rifat secara sungguh-sungguh dan benar kepada Allah. Seorang sufi yang benar di dalam tasawufnya akan mensucikan hatinya dari segala sesuatu selain Allah. Ia tidak menjelekkan baju, menguningkan wajah, dan lain-lain dengan maksud menghinakan diri pada dunia. Akan tetapi, seorang sufi akan datang dengan kejujurannya dalam mengharap Allah, dengan zuhudnya terhadap dunia, dengan mengeluarkan makhluk dari dalam hatinya, dan dengan mengosongkan diri dari segala sesuatu selain dari Allah.

Pandangan al-Jailani di atas nampak bahwa ia juga memberikan kritik terhadap praktik-praktik sufi yang berlebihan pada masanya. Menurutnya, seorang sufi adalah mereka yang selalu berusaha menyucikan zahir batinnya dengan tidak meninggalkan ajaran yang tertuang dalam kitab suci serta sunnah Rasulullah. Sedang tasawuf adalah senantiasa berperilaku benar dan jujur dalam kebajikan, dan berperilaku baik kepada semua makhluk Allah. Sehingga dalam hal ini, bagi al-Jailani, perilaku sufi tidak terpisah dari konteks hubungan individu dengan Allah dan juga hubungannya dengan manusia yang harus seimbang.

Lebih jauh, di dalam kitab sir al-asrar, al-Jailani menguraikan makna sufi dan tasawufnya tersebut bahwa inti dari tasawuf, sesuai dari huruf-hurufnya. Huruf pertama adalah “ta” yang berarti taubah. Pintu taubat adalah selalu merasa khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi Allah. Pengertian taubat di sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan taubat batin. Yang dimaksud dengan taubat lahir adalah menyesuaikan perbuatan dan perkataannya dengan ketaatan kepada Allah dan Nabi-Nya. Sedangkan taubat batin sama artinya dengan tashfiyah al-qalb, penyucian hati dari sifat-sifat yang tercela, untuk kemudian diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Inti dari taubat adalah mengerahkan hati sepenuhnya untuk sampai kepada tujuan utamanya, yakni Allah al-Haq.

Huruf kedua adalah “shad” yang berarti “shafa” yang berarti bersih dan bening. Makna shafa’ disini juga meliputi dua macam shafa’, yakni shafa’ al-qalb dan shafa as-sirr. Maksud dari shafa’ al-qalb adalah membersihkan hati dari sifat-sifat manusiawi yang kotor dan kenikmatan dunia, seperti banyak makan dan minum, banyak tidur, banyak bicara yang tidak berguna, cinta harta, dan lain lain. Untuk membersihkan hati dari yang demikian itu, caranya adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan suara jahr (keras) sampai pada tingkatan takut. Sesuai dengan firman Allah:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (سورة الأنفال: ٢)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (QS. al-Anfaal: 2)

Sedangkan maksud dari shafa as-sirr adalah mencintai Allah dan menjauhi segala sesuatu selain Allah swt dengan cara senantiasa melantunkan asma’ Allah melalui lisannya secara sirr. Apabila keduanya telah dilaksanakan dengan sempurna maka, sempurnalah maqam huruf ‘shad’ ini.

Huruf ketiga adalah ‘waw’ yang bermakna wilayah. Yaitu keadaan suci dan hening yang ada pada jiwa kekasih Allah. Keadaan ini tergantung pada kesucian seseorang yang tercermin dalam QS. Yunus ayat 62 dan 64:

أَلآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ (سورة يونس: ٦٢)
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus:62)

لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ لاَتَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (سورة يونس: ٦٤)
Artinya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus :64)

Orang yang sampai pada tahapan ini, mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala tindak tanduknya bersesuaian dengan kehendakNya. Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah berkata: “…Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi penglihatan, pendengaran, tangan, dan penolong baginya…”
Huruf yang terakhir adalah ‘fa’ yang melambangkan fana’ di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya. Jika sudah demikian, maka ke-fana’-an manusia akan abadi (baqa’) bersama Tuhannya dan keridhaan-Nya.

Pengertian fana’ al-Jailani ini, jika disandingkan dengan pandangan Ibrahim Madkur ketika mengomentari istilah fana’-nya para sufi falsafi, sangat identik dengan pandangan mereka. Menurut Ibrahim Madkur, pada dasarnya teori fana yang didengungkan oleh para sufi akhirnya hendak menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud dirinya dan kekal di dalam wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa. Untuk menjelaskan keabadian seorang hamba, al-Jailani lebih hati-hati agar tidak disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan amal shalihnya, sebagaimana yang disinggung oleh Allah dalam firmanNya:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فِلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُوْلَئِكَ هُوَ يَبُورُ (سورة فاطر: ١٠)
Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya.Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS. Fathir:10)

Meskipun al-Jailani tidak mensistematisasikan tasawufnya dalam bentuk maqamat-maqamat atau ahwal-ahwal secara berurutan seperti kebanyakan sufi, namun ketika melihat dari ulasan al-Jailani tentang pengertian tasawuf secara harfiah, telah mengarahkan perjalanan ruhani seseorang dalam untuk melewati tahap-tahap tertentu, mulai dari taubat dengan macam-macamnya, pembersihan hati dengan macam-macamnya, yang berakhir pada tingkatan fana’.

Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti memilih hidup dengan menjauhi dunia, maka sekali-kali al-Jailani tidak pernah mempunyai sikap hidup mengasingkan diri –dalam arti membenci dunia- meski ia menolak untuk menikmati keinginan-keinginannya yang menenggelamkan dan mengasyikkan hati, sehingga membuat lupa kepada penciptanya. Mengenai permasalahan ini al-Jailani berkata:

“Kuasai dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kamu diceraikan olehnya. Jangan kamu dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta hamba yang saleh.”

Al-Jailani mengibaratkan dunia bagai sungai besar yang deras airnya, setiap harinya bertambah. Dan perumpamaan nafsu hewani manusia juga tidak ubahnya seperti sungai itu, yang tamak akan segala kenikmatan duniawi. Ia memandang kehidupan yang sejati adalah kehidupan di kemudian hari, yaitu akhirat. Sesuai dengan sabda Nabi: “Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat nanti.” Dan, “Dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.”

Dunia dipandang olehnya sebagai proses kontinuitas kehidupan akhirat yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Sufisme dalam pandangan al-Jailani merupakan sufisme yang progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan gelanggang dunia sebagai mazra’ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat. Sebagaimana firmanNya:

وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن َمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (سورة القصص: ٧٧)
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. 28:77)

Konsepsi sufistik al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi oleh ketentuan syari’at Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi sebelum orang itu matang dan kuat syariatnya. Sebab, hubungan syari’at di antara thariqah, ma’rifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. “Syari’at laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma’rifah adalah daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya” Jadi untuk memetik buahnya seorang sufi harus melalui tahap pengamalan syari’at dengan istiqamah.

E. Penutup

Dari ulasan singkat di atas, penulis berkesimpulan bahwa konsepsi tasawuf al-Jailani adalah konsepsi tasawuf yang dilandasi al-Qur’an dan Hadits, dan berorientasi pada alur teologis ahlussunnah wal jama’ah. Untuk ikut serta menceburkan diri dalam dunia tasawuf, seseorang harus menjalankan apa-apa yang telah disyari’atkan Allah melalui Nabi-Nya, Muhammad saw dengan sungguh-sungguh dan konsisten.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar, 1903, Ghutbah an-Nadzir fi Tarjamah asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Calcuta: Baptist Mission Press

Al-Barzanjy, Ja’far bin Hasan, tt, Lujain ad-Daniy fi Manaqib al-Quthb ar-Rabbany asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani, Semarang: al-’Alawiyah

Al-Faruqi, Ism’ail Raji, 1988, Tauhid, Bandung: Pustaka

Al-Jailani Abdul Qadir, 1996, al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, Vol. I, Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-‘Arab

......................., 1996, al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, Vol. II, Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-‘Arab

......................., tt, al-Fath ar-Rabbany wa al-Faidh ar-Rahmany, Kairo: Dar ar-Rayyan li at-Turats

………………, tt, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, Kairo: Mathba’ah al-Mishriyah

Al-Maghriby, Ali ‘Abd al-Fatah, 1995, al-Firaq al-kalamiyah al-Islamiyah: Madkhal wa Dirasah, al-Qahirah: Maktabah Wahbah

Al-Qahthaniy, Sa’id, 1997, asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailaniy wa Araa’uhu al-I’tiqadiyyah wa ash-Shufiyah, Madinah: Jami’ah Umu al-Qurra

Al-Qusyairi, Abu al-Qasim, 1989, Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, Qahirah: Dar asy-Sya’b

Arif, Syamsuddin, 2006, Manipulasi dalam Kajian tentang Sufisme, dalam Islamia, Vol III No. 1

......................., 2008, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani

Az-Zunaidy, Abdurrahman, 1998, Manahij al-Bahts fi al-‘Aqidah al-Islamiyah fi al-‘Ashr al-Hadhir, Riyadh: Dar Asbiliya

Hasyim, Yahya, 2007, Tajdid al-Manhaj fi al-‘Aqidah al-Islamiyah, Qahirah: Dar al-Afaaq al-‘Arabiyah

Madkur, Ibrahim, 1976, Fi Falsafah Islamiyah Manhaj wa Tathbiquhu, Kairo: Dar al-Ma’arif

Mujib, M. Abdul, dkk. 2009, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali: Mudah memahami dan Menjalankan, Jakarta: Hikmah, 2009

Rahman, Fazlur, 2003 Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 2003

Solikhin, Muhammad, 2009, 17 Jalan menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Yogyakarta: Mutiara Media

Zaidan, Yusuf Muhammad Thaha, tt, ‘Abdul Qadir al-Jailany Baz Allah al-Asyhab, Beirut: Dar al-Jayl

Zainuddin, M., 2011, Karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Yogyakarta: Pustaka Pesantren

Zarkasy, Amal Fathullah, 2006, ‘Ilmu Kalam: Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah wa Qadhayaha al-Kalamiyah, Ponorogo: Jami’ah Darussalam

Pengunjung