Jumat, 30 Desember 2011

Kesadaran Diri: Teori Ilmu Suhrawardi

Written By Anwar Ma'rufi

A. Pendahuluan
Pemikiran Suhrawardi, secara epistemologi, lahir sebagai solusi atas kelemahan-kelemahan filsafat peripatetik, di mana logika (mantiq) menjadi satu-satunya pemegang otoritas kebenaran sejati kala itu. Logika diyakini sebagai alat untuk mencari kebenaran yang paling unggul. Pencetusnya adalah Aristoteles, ia adalah orang yang pertama kali menyusun cara berpikir yang teratur dan sistematis, yang karyanya disebut organon, yang berarti alat. Inti dari ajaran logika Aristoteles adalah silogisme (natijah), yaitu menarik kesimpulan dari realitas yang bersifat umum menjadi realitas yang bersifat khusus.

Al-Kindi adalah filosof muslim yang pertama kali mengenalkan logika di dunia Islam. Namun usahanya belum sampai pada tahap pengembangan dan penyesuaian dengan Islam. Ia hanya memaparkan apa yang terdapat di organonnya Aristoteles, hanya sebatas menerjemahkan saja. Logika, baru dapat menyesuaikan diri dengan bahasa arab dan pandangan hidup (worldview) Islam ketika di tangan al-Farabi dan Ibnu sina. Dari mereka berdua ini lah, logika siap dikonsumsi oleh sarjana muslim untuk mengembangkan berbagai cabang keilmuan. Seperti yang dilakukan oleh al-Ghazali, Fakhr ad-Din Ar-Razy dan lain sebagainya.

Ketika para filsuf muslim terdahulu menerima ajaran logika Aristoteles, Suhrawardi justru melontarkan kritik dan menunjukkan kekurangan logika Aristoteles. Menurut Suhrawardi, logika Peripatetik tidak bisa mencapai seluruh realitas wujud. Dan pengetahuan tentang sesuatu tidak akan dapat diperoleh dengan cara mendefinisikannya dalam arti essensialis. Suatu organisme mustahil diketahui hanya dengan mendekatkan antara genus (Jins) dengan diferensia (fashl). Dan kesulitan itu juga diakui oleh pemuka kaum peripatetik.

Atas dasar kekurangan tersebut, Suhrawardi menawarkan metode intuisi dengan ‘kesadaran diri’ sebagai elemen penting dalam pencapaian kebenaran sejati. Kajian mengenai pemikiran epistemologi Suhrawardi akan terlihat urgennya ketika disandingkan dengan dominasi mazhab rasionalisme dan empirisme yang mewarnai pemikiran umat manusia modern. Melalui makalah sederhana ini, penulis akan mengulas bagaimana tawaran epistemologi Surawardi dan relevansinya dengan problem keilmuan modern.

B. Kritik Epitemologi Peripatetik
Meskipun filsafat Peripatetik telah mendapatkan kritikan tajam dari al-Ghazali (1058-1111 M.) di dalam bukunya tahafut al-falasifah (kerancuan para filosof), bukan berarti model berpikir yang menjadi ciri khas kaum Peripatetik lenyap tak bersisa. Bahkan di tangan al-Ghazali pula, seperti apa yang dipaparkan oleh Ibnu Taimiyah, logika malah mempunyai kedudukan yang penting dan sangat berpengaruh di kalangan para teolog untuk mengembangkan teori-teorinya. Di tangan al-Ghozali juga, logika untuk pertama kalinya dimasukan dalam pengembangan ilmu ushul fiqih. Lebih-lebih di tangan Fakhr ad-Din ar-Razi (1149-1209 M.), logika sudah menemukan performa terbaiknya dalam diskursus teologi. Karena pada dasarnya, yang dikritik oleh al-Ghazali dalam buku tahafut al-falasifah tidak tertuju pada logika sebagai teori ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, kedatangan Suhrawardi, seakan-akan mengobati kejenuhan para filosof muslim terhadap logika peripatetik. Sebenarnya, jauh sebelum Suhrawardi, banyak cendekiawan muslim yang sudah mengkritik logika peripatetik. Di antaranya adalah Imam asy-Syafi’i, as-Sirafi, dan Fakhr ad-Din Ar-Razi. Untuk dua dari yang pertama lebih tepatnya disebut sebagai tokoh yang menolak (refutations) logika, adapun yang terakhir sebagai pengkritik logika untuk dikembangkan lebih lanjut. Dan meski ada penolakan dari cendekiawan muslim sedemekian rupa, nampaknya dominasi logika masih sangat terasa pada zamannya Suhrawardi.

Menurut pemikiran sebelumnya, khususnya kaum peripatetik, pengetahuan diperoleh lewat definisi, konsepsi-konsepsi (tashawur) dan logika. Ini terjadi, karena objek yang diketahui bersifat independen dan keberadaannya berada di luar eksistensi subjek. Di antara keduanya tidak ada keterkaitan logis, ontologis atau bahkan epistemologis. Karena itu pengetahuan ini menuntut adanya konfirmasi (tashdiq) untuk menentukan kriteria salah dan benar. Dikatakan benar jika ada kesesuaian antara konsepsi dalam pikiran subjek dengan kondisi objektif eksternal objek; dianggap salah jika tidak ada keseuaian di antara keduanya.

Suhrawardi mengkritik proses pengetahuan seperti itu yang menjadikan objek bersifat independen, yang eksistensinya terletak di luar eksistensi subjek. Dan Suhrawardi menyatakan bahwa teori tersebut tidak mampu memberikan pengetahuan yang sejati. Suhrawardi menganggap bahwa teori peripatetis gagal membangun teori pengetahuan yang mapan, yang dapat mendatangkan pengetahuan yang sebenarnya. Kelemahan-kelemahan yang menonjol dalam logika terdapat pada definisi. Dan definisi inilah yang menjadi dasar dari proposisi-proposisi dalam logika.

Bagi Suhrawardi, untuk mendefinisikan sesuatu tidak cukup hanya dengan menyebutkan essensi alaminya saja, sebab disamping ciri khusus yang dimiliki oleh sesuatu itu, di dalamnya juga terdapat sifat-sifat lain yang menyertainya, yang dapat menjadi pertimbangan dalam proses definisi. Oleh karena itu, sebuah definisi tidak cukup hanya dengan menyebutkan essensi paling khusus dari sesuatu, tetapi juga harus menyertakan sifat-sifat lainnya. Pasalnya, jika untuk mendefinisika sesuatu diharuskan mengetahui atribut khusus dari sesuatu itu, yang tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain, akan mengakibatkan seseorang tidak sampai pada pengetahuan yang baru apabila orang tersebut belum pernah mengetahuinya.

Dari keharusan menyebutkan sifat-sifat yang lain yang berdampingan dengan sifat khusus yang dimiliki oleh sesuatu yang didefinisikan, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan melalui definisi tidak sempurna, sebab semua sifat-sifat bawaan yang terdapat pada segala sesuatu tidak akan pernah mampu ditampung dalam sebuah definisi. Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa Suhrawardi menolak sama sekali keabsahan definisi untuk memperoleh pengetahuan. Dia hanya menegaskan bahwa definisi tidak akan mampu mengantarkan seseorang pada pengetahuan yang sebenarnya, namun pada batas tertentu dia masih mengakui metode definisi sebagai salah satu sarana untuk mencapai pengetahuan.

Bagi Suhrawadi, agar dapat diketahui, sesuatu harus terlihat seperti apa adanya (kama huwa). Sedemikian, sehingga pengetahuan yang diperoleh memungkinkannya tidak butuh definisi (istighna ‘an al-ta’rif). Misalnya warna hitam. Warna hitam hanya bisa diketahui jika terlihat seperti apa adanya, dan sama sekali tidak bisa didefinisikan oleh dan untuk orang yang tidak pernah melihat sebagaimana adanya. Persoalan bagaimana subjek bisa menangkap esensi yang sebenarnya dari objek sebagaimana adanya, Suhrawardi menjawab persoalan ini dengan apa yang disebut dengan “kesadaran diri” (al-ana’iyah). Jelasnya akan penulis paparkan pada pembahasan berikutnya.

C. Kesadaran Diri
Dalam kajian tentang metode perolehan pengetahuan, Suhrawardi membaginya ke dalam dua bagian, yakni pengetahuan hushuli dan hudluri. Pengetahuan hushuli adalah pengetahuan perolehan yang dicapai melalui karsa manusia, baik melalui olah bahasa (definisi), olah pikir (logika), maupun hasil pencerapan inderawi. Sedangkan pengetahuan hudluri adalah pengetahuan dengan kehadiran objek dalam diri setiap individu. Ilmu hudhuri dapat didefinisikan juga sebagai jenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa implikasi apapun terhadap acuan objektif eksternal yang membutuhkan hubungan eksterior. Artinya, hubungan tersebut tanpa campur tangan koneksi dengan objek eksternal.

Pembagian seperti itu, mirip –untuk dikatakan sama- dengan pembagian yang dilakukan oleh al-Ghazali. Ia juga membagi pengetahuan menjadi dua, yakni pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli). Al-Ghazali menyebut pengetahuan hudhuri dengan beberapa sebutan. Di antaranya adalah ‘ilmu laduni (pengetahuan dari yang tinggi) dan ‘ilmu mukasyafah (pengetahuan tentang penyingkapan misteri-misteri ilahi). Bagi al-Ghazali, pengetahuan hudhuri lebih unggul daripada pengetahun hushuli karena terbebas dari kesalahan dan keraguan. Demikian juga Suhrawardi, baginya ilmu hudhuri adalah ilmu yang tidak memerlukan pembenaran (tashdiq), karena ilmu itu sudah benar dengan sendirinya. Namun, sejauh pembacaan penulis, secara epistemologi, pembahasan Suhrawardi dalam hal kaitannya antara subjek yang tahu dengan objek yang hadir lebih teoritis dari apa yang dikemukakan oleh al-Ghazali.

Bagi Suhrawardi, ilmu hushuli, berasumsi bahwa objek pengetahuan berada di luar diri subjek yang mengetahui. Antara subjek dan objek tidak ada kaitan logis, ontologis, atau bahkan epistemologis. Karenanya, segala jenis definisi dan konsepsi-konsepsi (tashawur) membutuhkan konfirmasi (tashdiq) untuk diketahui apakah benar atau salah. Model seperti inilah yang banyak digunakan oleh kaum peripatetik dan ditolak oleh Suhrawardi jika dianggap sebagai model yang dapat memberikan pengetahuan yang sejati.

Lain halnya ilmu hudluri, menurutnya pengetahuan yang benar hanya bisa dicapai lewat hubungan langsung (al-idlafah al-isyraqiyah) dan tanpa halangan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Hubungan di antara keduanya bersifat pro-aktif, dimana subjek dan objek satu sama lain hadir dan tampak pada essensinya sendiri dan di antara keduanya saling bertemu tanpa penghalang, sehingga pengetahuan yang dibangun di antara keduanya bebas dari dualisme logis, kebenaran dan kesalahan.

Hubungan langsung (al-idlafah al-isyraqiyah) subjek yang tahu dan objek yang diketahui ini berawal dari pandangan Suhrawardi terhadap realitas. Dalam pandangannya, realitas itu adalah rangkaian kesatuan yang satu. Hal ini juga terkait dengan pandangannya terhadap essensi dan eksistensi. Baginya yang terpenting adalah essensi, dan essensi ini pada hakikatnya adalah cahaya yang bersumber dari Nur al-Anwar. Realitas, secara keseluruhan adalah cahaya yang terpancar dari Nur al-Anwar. Dan pancaran ini terjadi secara terus menerus tanpa durasi dan membentuk suatu pancaran holistik, yakni kesatuan pancaran antar cahaya (wahdah al-isyraq). Karena itulah, filsafatnya dikenal dengan filsafat al-Isyraq. Pemahaman semacam ini bersifat menyeluruh, yang memandang semua yang ada sebagai suatu keutuhan, bukan sekedar suatu kumpulan unsur-unsur yang lepas-lepas.

Dalam kaitannya dengan epistemologi Suhrawardi, kesatupaduan obyektif realitas dirasakan pula sebagai kesatupaduan subjektif. Persoalan bagaimana hubungan antara subjek yang tahu dengan objek yang diketahui dapat dibangun, Suhrawardi menjawabnya dengan apa yang ia sebut sebagai ‘kesadaran diri’ (idrak al-ana’iyah). Menurutnya, kesadaran diri sama dengan kesadaran langsung mengenai sesuatu dalam dirinya sendiri (idrak ma huwa huwa). Akan tetapi, kesadaran diri tidak boleh dimunculkan dengan ide tentang kesadaran diri. Artinya, kesadaran diri tersebut tidak dilahirkan oleh ide tentang kesadaran diri melainkan oleh kesadaran itu sendiri. Ini penting, sebab jika kesadaran diri tersebut lahir dari ide tentang kesadaran, maka akan lahir dua hal yang berbeda, subjek yang menyadari dan objek yang disadari, sehingga tidak diketahui essensi diri sendiri. Jika itu terjadi, Suhrawardi berkata:

لا يتصور أن يعلم الشئ نفسه بأمر زائد على نفسه، فإنه يكون صفة له. فاذا حكم ان كل صفة زائدة على ذاته، كانت علما او غيره فهي لذاته، فيكون قد علم ذاته قبل جميع الصفات ودونها، فلا يكون قد علم داته بالصفات الزائدة.

"Tidak terbayangkan bahwa sesuatu mengenali dirinya dengan objek eksternal di luar dirinya, karena hal itu hanyalah sifat baginya. Jika dinyatakan bahwa setiap sifat eksternal –baik berupa pengetahuan atau yang lainnya- ditujukannn untuk dirinya, maka ia harus mengenali dirinya sebelum mengenali seluruh sifat aksidental dan sejenisnya. Jadi, ia tidak mungkin mengenali dirinya dengan sifat-sifat eksternal".

Untuk memudahkan pemahaman, sebagai ilustrasi, misalnya orang mengetahui bahwa dirinya merasa sakit berasal dari kesadaran dirinya bahwa ia merasa sakit. Pengetahuan semacam ini tidak dapat diragukan lagi, ia mempunyai kepastian yang tinggi, karena ia berasal dari perasaan yang ia alami secara langsung. Kesadaran semacam ini tidak akan diperoleh jika orang itu, menggunakan persepsi orang lain untuk menggambarkan bagaimana sesungguhnya rasa sakit itu.

Menurut Suhrawardi, ‘kesadaran diri’ merupakan dimensi paling elementer dari setiap tindakan manusia untuk mengetahui objek-objek eksternal di luar manusia. Mengetahui objek eksternal berarti menyatakan adanya suatu unifikasi eksistensial antara subjek (pikiran) dan objek (realitas benda-benda atau wujud segala sesuatu), sehingga kehadiran objek tersebut bisa dikenali secara meyakinkan. Karena subjek hadir untuk dirinya dan mengalami pengetahuan atas dirinya, ‘keakuan’ (I-ness), maka terdapat wilayah ‘kediaan’ (it-ness) di luar subjek, yang berada di luar realitas faktual dan status ontologis subjek.

Dari sini dapat dipahami bahwa siapa saja yang menyadari essensinya sendiri berarti memberi kesadaran pada semua wujud. Karena itu, dalam istilah kesadaran diri, setiap ‘aku’ secara essensial adalah sama dengan ‘aku’ yang lain, karena masing-masing adalah kesadaran diri. Yang mungkin membedakan adalah tingkat kesadaran masing-masing. Artinya, kesadaran inilah yang dalam filsafat isyraqi disebut isfahbad al-nasut yang mengantarkan manusia untuk mengenali dirinya dan bertemu dengan essensi semesta.

Model pengetahuan yang ditawarkan oleh Suhrawardi, dimana pengetahuan tidak dijalani dengan bantuan representasi atau gambaran (surah) objek yang terpantul pada penginderaan subjek, melainkan oleh kesadaran dan perasaan yang dialami secara langsung, maka ia bebas dari tuntutan konfirmasi kebenaran dan kesalahan (tashdiq), karena pengetahuan ini ‘hadir’ begitu saja dan mewujud dalam ‘kesadaran’ subjek sehingga objek terlihat seperti apa adanya (kama huwa). Ada satu lagi yang penting, dan menjadi ciri khas Suhrawardi, bahwa hubungan antara subjek yang tahu dengan objek yang hadir berada dibawah pancaran cahaya Nur al-Anwar.

D. Cara Memperoleh Pengetahuan
Pengetahuan hudhuri atau isyraqi, karena dimensi yang paling elementer-nya adalah ‘kesadaran diri’ subjek, maka cara perolehannya, menurut Suhrawardi, harus melalui tahap-tahap tertentu. Pertama, tahap persiapan untuk menerima pengetahuan isyraqi. Tahap ini diawali dengan aktifitas-aktifitas seperti mengasingkan diri selama paling tidak 40 hari, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menerima nur ilahi dan seterusnya, yang hampir sama dengan laku asketik dan sufistik, kecuali di sini bahwa tidak seketat aturan pola hidup sufi yang pernah ditemui Suhrawardi pada masanya.

Ini adalah tahap yang urgen dalam pengetahuan hudhuri, karena keadaan subjek untuk dapat menangkap objek adalah salah satu faktor yang menentukan apakah pengetahuan itu dapat hadir atau tidak. Jadi dengan kalimat lain, kesiapan subjek, terutama secara psikologis, merupakan faktor yang penting dalam pengetahuan. Suhrawardi menekankan betapa pentingnya riyadhah sebagai upaya pembersihan jiwa. Pembersihan jiwa perlu dilakukan agar jiwa dapat mencapai nur isfahbad atau jiwa rasional (nafs an-nathiqah). Nur isfahbad, hanya dapat dicapai apabila kondisi jiwa manusia itu bersih.

Setelah orang menyelesaikan riyadhah dengan sempurna, jiwanya akan mendapat penyinaran dan karenanya terbebas dari kegelapan. Ia akan memperoleh pengetahuan, karena ia sudah terbebas dari gelap yang menjadi hijab bagi dicapainya pengetahuan. Nampaknya, jiwa, dipandang sebagai sebuah cermin yang dapat menangkap dan memantulkan sesuatu yang berada dihadapannya. Daya tangkap dan daya pantulnya tergantung pada tingkat kebersihannya. Semakin tinggi tingkat kebersihannya akan semakin tinggi pula kedua dayanya itu. Dengan demikian, dalam tahapan ini terdiri atas tiga hal; (1) suatu aktifitas tertentu, (2) suatu kondisi di mana seseorang menyadari kemampuan intuisinya sendiri sampai mendapatkan kilatan ketuhanan, (3) ilham.

Kedua, tahap penerimaan, di mana Cahaya Tuhan memasuki diri manusia. Cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian ‘cahaya penyingkap’ (al-anwar al-sanihah), di mana dengan melalui ‘cahaya-cahaya penyingkap’ tersebut, pengetahuan yang sebenarnya (al-ulum al-haqiqah) dapat hadir. Sedangkan tahap ketiga adalah fase merekonstruksi ilmu yang benar (al-ilmu al-shahih) dengan menggunakan analisa diskursif, dan setelah itu samapai pada tahap pelukisan atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya.

Dengan demikian, dalam kajian epistemologi isyraqi, perolehan pengetahuan tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan metode intuitif dan diskursif. Sebelum Suhrawardi, ketika orang menggunakan kekuatan rasionya untuk memperoleh sesuatu yang belum diketahui maka ia perlu pada suatu perangkat lain yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan keabsahannya. Untuk kepentingan itu maka kaum peripatetik menggunakan apa yang disebut dengan logika/mantiq. Namun, di dalam struktur pengetahuan isyraqi, posisi logika sendiri hanya sebagai subordinat kemampuan potensi jiwa untuk diberi oleh ruh Ilahi yang mampu membimbing manusia dari kesalahan putusan dan penyimpulan. Adapun prioritas utamanya adalah pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi yang dialami sendiri oleh subjek. Suhrawardi menganggap bahwa pengalaman subjek itu sebagai dasar metode diskursif melalui metode pembuktian (al-burhaniyah).

E. Relevansi Tawaran Suhrawardi
Seperti yang sudah penulis singgung di pendahuluan, tawaran yang diajukan oleh Suhrawardi dalam hal epistemologi akan terlihat urgennya jika disandingkan dengan model-model epistemologi dewasa ini yang didominasi oleh mazhab rasioanlisme dan empirisme. Dua aliran ini bahkan dianggap sebagai pilar utama metode keilmuan modern (modern scientific method). Prinsip demikian pada akhirnya digunakan untuk menilai segala macam bentuk realitas, mulai dari realitas manusia, realitas sosial, bahkan realitas keagamaan. Keadaan ini hampir sama dengan apa yang terjadi pada masa Suhrawardi. Waktu itu, model pencapaian pengetahuan masih didominasi oleh metode-metode rasional, yaitu logika. Jadi apa yang dilakukan oleh Suhrawardi, kemungkinan besar akan memberikan andil terhadap problem epistemologi yang sedang dominan (serba rasional dan empiris) yang dinilai telah gagal untuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan, ekologi, sosial dan lain sebagainya.

Di Barat, beberapa pemikir, sebenarnya juga sudah mengkaji ulang dua model epistemologi tersebut, rasionalisme dan empirisme. Wittgenstein, Henri Bergson, Edmund Husserl, Robert Ornstein, telah mengoreksi epistemologi di atas dengan menambahkan aspek intuisi sebagai solusinya. Bergson, misalnya, berbicara tentang ketidakmungkinan rasio untuk menangkap objek penelitiannya secara langsung karena kecenderungan rasio untuk selalu memilah-milih atau meruang-ruangkan (spatialize) segala sesuatu. Dengan kecenderungan tersebut, rasio telah memasang jurang yang lebar antara subjek dan objek. Selain itu, penggunaan bahasa yang digunakan untuk menampung konsepsi-konsepsi, penggunaan definisi –yang merupakan produk khas rasio dalam adaptasinya dengan lingkungan- juga tidak akan pernah bisa menembus jantung realitas.

Berbeda dengan rasio (intelek dalam istilah Bergson), intuisi yang dijadikan sebagai ‘insting yang telah tersadarkan’ mampu mengatasi rintangan yang menganga antara subjek dengan objek, karena sifatnya yang mengintegrasikan (unitif) –sebagai kebalikan dari kecenderungan akal yang memilah-milah- sehingga akan mampu menyentuh realitas secara langsung. Hampir mirip dengan apa yang ditawarkan oleh Suhrawardi, akan tetapi, apa yang dimaksud sebagai intuisi ini sama sekali berbeda dengan pengertian intuisi dalam Islam. Karena intuisi yang mereka ajukan, lebih merupakan konsep-konsep pemahaman yang diderivasikan dari abstraksi-abstraksi yang dihasilkan oleh berbagai tangkapan indera, sehingga ia masih bersifat empiris, bukan metafisik sebagaimana dalam Islam. Menurut Al-Attas, kaum rasionalis, sekularis, empiris dan psikolog pada umumnya telah menyempitkan makna intuisi pada pengamatan inderawi dan penyimpulan logis yang telah amat lama direnungkan oleh pikiran, yang maknanya tiba-tiba saja terpahamkan; atau intuisi direduksi pada bangunan emosional dan indera laten, yang terbebas seketika dalam proses pemahaman yang tiba-tiba.

Menyadari bahwa sains Barat tidak dapat mengungkap realitas universal, karena pada hakikatnya ia adalah pengetahuian parsial akan realitas universal, Robert Ornstein, psikolog Barat, menganjurkan pendidikan intuisi untuk mengimbangi pengetahuan serba nalar yang mendominasi pendidikan modern. Bagi Ornstein, pendidikan intuisi itu dari apa yang disebutnya “psikologi-psikologi esoterik tradisional” dan yang dinamakan dengan yang terakhir ini adalah apa yang biasanya disebut Mistik Timur termasuk sufisme, Barat sering menyebutnya dengan Mistik Islam.


F. Penutup
Dari apa yang telah penulis bahas di atas, Suhrawardi telah mengajak kepada keterpaduan kebenaran. Ia menawarkan, filsafat, dan tasawuf sebagai sarana untuk memperoleh kebenaran sejati. Artinya, tawaran Suhrawardi mengajak manusia untuk mengembangkan akal sejauh-jauhnya dengan tetap dikendalikan oleh agama dengan pendekatan tasawuf. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika apa yang tawarkan oleh Suhrawardi akan mampu menyelesaikan problem keilmuan yang sedang mencapai titik kejenuhan dengan dominasi rasionalisme dan empirisme.













DAFTAR PUSTAKA

Soleh, A. Khudori, 2010, Integrasi Agama dan Filsafat: Pemikiran Epistemologi al-Farabi, Malang: UIN Maliki Press

Soleh, A. Khudori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Asmuni, Ahmad, 2009, Hikmah al-Isyraq Suhrawardi: Kesatuan Mistis dalam Filsafat Iluminasi, Yogyakarta: Sajadah Press

Drajat, Amroeni, 2001, Filsafat Illuminasi: Sebuah Kajian terhadap Konsep Cahaya Suhrawardi, Jakarta: Riora Cipta

Drajat, Amroeni, 2005, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS

Mahzar, Armahedi, 1983, Integralisme: Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, cet. I, Bandung: Pustaka

Asy-Syarafa, Ismail, 2005, Enskiklopedi Filsafat, alih bahasa: Syofiyyullah Mukhlas, Jakarta: Khalifa

Duignan, Brian, 2010, The 100 Most Influental Philosophers of All Time, New York, Britanica Educational Publishing

Rahman, Fazlur, 2003, Islam, Bandung: Pustaka

As-Suyuthi, Jalal ad-Din, tt, Shun al-Manthiq wa al-Kalam ‘an fann al-Manthiq wa al-Kalam, Kairo: as-Sa’adah

Razavi, Mehdi Amin, 1997, Suhrawardi and the School of Ilumination, cet. I, Surrey: Curzon Press

Yasdi, Mehdi Ha’iri, 1996, Ilmu Hudhuri: Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, Cet. II, Bandung: Mizan, 1996

Muslih, Mohammad, 2010, Pengetahuan Intuitif Model Husserl dan Suhrawardi, Ponorogo: CIOS

Ali, Mufti, 2007, Aristotelianisme dalam Kacamata Para Tokoh Abad Tengah Penentang Logika, dalam jurnal Al-Qalam, vol. 24 NO. 3, September-Desember

Kartanegara, Mulyadi, 2005, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, cet. II, Bandung: Mizan

Bakar, Osman, 1998, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-Ghazali, Quthub al-Din al-Syirazi, alih bahasa: Purwanto, Cet. III, Bandung: Mizan

Hashim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam majalah Islamia, Tahun II No. 6/Juli-September 2005

Maryam, Siti, 1995, Suhrawardi al-Maqtul: Telaah Epistemologi Filsafat Isyraqi, Yogyakarta: Tesis UIN Suka

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1995, Islam dan Filsafat Sains, alih bahasa: Saiful Muzani, Bandung: Mizan

As-Suhrawardi, Syihab al-Din Yahya, 1397 H., Hikmah al-Isyraq, dalam Majmu’ah Mushannafat Syaikh Isyraq, Teheran: Anjuman Syahansyahay Falsafah Iran

Baqir, Zainal Abidin, 1998, The Problem of Definition in Islamic Logic: a Study of Abu al-Naja al-Farid’s Kasr al-Mantiq in Comparison with Ibn Taimiyyah’s Kitab al-Radd ala al-Mantiqiyyin, Kuala Lumpur: ISTAC Master’s Theses


Pengunjung