Senin, 29 Maret 2010

TIDAK ADA KESALAHAN GRAMATIK DALAM AL-QURAN: SEBUAH JAWABAN UNTUK ULIL ABSHAR ABDALA

Dalam sebuah esei yang ditulis oleh Ulil dengan judul Adakah Kesalahan Gramatik dalam Al-Quran?:Beberapa Observasi Berdasarkan Laporan Al-Suyuti, memaparkan seputar perdebatan tentang beberapa riwayat yang menggugat terhadap Mushaf Usmani dan tanggapannya. Bantahan yang dilakukan oleh para ulama terhadap penggugat al-Quran dinilainya secara keseluruhan sama sekali tidak memuaskan. Sehingga Ulil berkomentar:

"laporan tentang kemungkinan adanya kesalahan dalam proses penyalinan Quran dan kesalahan itu terus bertahan hingga sekarang, bisa jadi agak memalukan dalam konteks diskursus popular mengenai Quran saat ini yang cenderung menyucikan tanpa ada kemungkinan untuk mempersoalkan".

Sebuah riwayat penggugat yang inti dalam eseinya dan menjadi sorotan utama UlIl adalah laporan yang dikutip oleh al-Suyuti dari karya lain yang ditulis oleh Abu Ubayd, fada'il al-Quran. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa 'Urwah ibn al-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah tentang penyimpangan lahn dalam al-Quran. Ada tiga kasus penyimpangan yang disebutkan oleh Urwah, yakni dalam QS. 20:63 (ان هذان لساحران), 4:162 (والمقيمين الصلاة والمؤتون الزكاة), dan 5:69 (ان الذين امنوا والذين هادوا والصابؤن). Terhadap pertanyaan ini Aisyah memberikan respon yang kemudia menimbulkan perdebatan dikalangan sarjana pengkaji Quran dari masa klasik hingga sekrang ini. Aisyah menegaskan bahwa kekeliruan itu terjadi akibat kecerobohan penyalin naskah Quran yang telah melakukan kekeliruan dalam penulisan (hadza 'amal al-kuttab akhthou fi al-kitab). Laporan ini, dari sudut pandang mata rantai transmisi (isnad), dianggap valid (shahih) karena memenuhi kriteria dua guru besar hadist (al-syakhaani), yakni Bukhari dan Muslim. Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Ubayd dari Abu Muawiyah dari Hisyam ibn Urwah, dari ayahnya yakni 'Urwah ibn Zubayr .

Sebenarnya, masalah ini sudah banyak ditanggapi oleh beberapa ulama dengan apik dan logis. Adalah Abu 'Amar ad-Dani yang berusaha mengkritisi riwayat Aisyah. Ad-Dani berkomentar bahwa informasi yang terdapat dalam riwayat ini, dimana Aisyah -dengan kedudukannya yang mulia, ilmunya yang luas, dan pengetahuannya terhadap bahasa Arab- menyalahkan lahn para sahabat dan menyalahkan tulisan para penulis mushaf, sementara mereka adalah orang-orang yang terkenal fasih dan tidak diragukan lagi tentang pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab. Riwayat ini jelas tidak boleh diinterpretasikan dengan interpretasi semacam ini. Dalam bukunya Abdul Shabur Syahin, Saat al-Quran Butuh Pembelaan, ad-Dani mengemukakan pendapat lain, dimana sebagian ulama memahami ungkapan Aisyah "itu adalah kesalahan penulis yang keliru dalam menulisnya" dengan arti, mereka salah dalam memilih huruf yang paling utama dari huruf yang tujuh, maksudnya adalah qiraat/bacaan.

Selain ad-Dani, as-Suyuti juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keliru di sana bukanlah dalam pengertian yang sesungguhnya. Namun, yang dimaksud adalah keliru dalam pengertian kurang tepat dalam memilih satu variasi bacaan di antara tujuh variasi bacaan yang ada, bukan dalam pengertian bahwa para penulis mushaf itu telah melakukan kekeliruan penulisan yang sama sekali tidak bisa ditolerir. Jika kekeliruan itu benar-benar fatal dan dalam kategori yang tak bisa ditolerir, dengan sendirinya hal itu akan dikoreksi oleh para sahabat yang lain. Sebab sesuai dengan doktrin yang dikenal di kalangan sunni, tidak mungkin masyarakat Islam malakukan konsensus dalam kesalahan.

Namun, itulah Ulil yang selalu ingin menabarkan benih keraguan seperti kebanyakan orientalis, pendapat mereka dimentahkan dengan mengatakan bahwa kesalahan itu adalah bukan lahn dalam artian variasi bacaan, tapi lahn dalam artian i'rab/gramatikal. Menurutnya, ayat pertama seharusnya dibaca "inna hadzaini, bukan inna hadzani." Huruf yang terletak setelah "dz" seharusnya "ya" bukan "alif". Secara gramatikal, setiap kata yang terletak setelah "inna" selalu dalam kedudukan "manshub". Karena itu, bentuk ganda (tastniyah) seharusnya berubah menjadi "hadzaini" karena terletak setelah partikel "inna". Menurut Ulil, ayat itu di mata Urwah dianggap ganjal karena menyalahi ketentuan gramatikal tersebut.

Ayat kedua seharusnya dibaca "wa al-muqimun", bukan "wa al-muqimin" sebagaimana dalam Mushaf Usmani dengan alasan 'athaf harus mengikuti hukum ma'thuf. Oleh karena itu, secara gramatikal bacaan "wa al-muqimin" adalah penyimpangan gramatikal. Adapun ayat yang ketiga seharusnya dibaca "wa al-shabiin", bukan "wa al-shabiun". Alasanya masih sekitar hukum 'athaf yang harus mengikuti ma'thuf. Dengan analisa seperti ini, Ulil memahami kata lahn dengan arti i'rab/gramatikal yang berbeda sama sekali dengan pemahaman sahabat. Sebutlah Umar ibn Khattab, dalam ungkapannya "Ubai ibn Ka'ab adalah orang yang paling ahli qiraat di antara kami. Kendati demikian, kami meninggalkan sebagian lahn-nya." Dengan demikian, yang dimaksud lahn di sini adalah bacaan atau qiraat, bukan i'rab/gramatikal..

Arti ini diperkuat oleh Johan Feck, seorang orientalis Jerman yang melakukan pengkajian sejarah semantik dari kata " la ha na" dan berbagai bentuk kata jadiannya dalam buku al-'Arabiyah-nya. Menurutnya kata "la ha na" dalam bahasa Arab jahiliyah dan awal era Islam memiliki sejumlah arti, yaitu kecenderungan, pandai, fasih, lagu, simbol dan isyarat, misteri, dan cara penuturan. Kata "lahn" ini tidak mutlak diartikan sebagai kesalahan i'rab/gramatikal. Johan menyimpulkan bahwa kata ini diartikan sebagai kesalahan i'rab pada waktu belakangan. Tepatnya, di akhir abad pertama dan di awal abad kedua hijriyah. Jadi bantahan Ulil salah sasaran dan gugur dengan sendirinya.

Sebagai penutup, sekali lagi penulis tegaskan bahwa al-Quran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan ke Nabi Muhammad SAW dengan perantara Malaikat Jibril a.s. secara berangsur-angsur dalam bentuk ayat-ayat dan surat-surat selama fase kerasulan (kurang lebih 23 tahun), dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir mutlak, sebagai bukti kemukjizatan kebenaran risalah Islam. Mushaf Utsmani adalah satu-satunya Mushaf Al-Quran yang telah disepakati seluruh kaum Muslim, sejak awal, hingga kini, dan sampai akhir zaman. Para sahabat, termasuk Ali r.a. pun semua menyepakati otoritas Mushaf Utsmani. Sayyidina Ali sendiri menyatakan: ”Seandainya Utsman belum melakukannya, maka aku yang melakukannya.”

Wallahu a'lam bisshawab

Pengunjung