Senin, 29 Maret 2010

KALA HIRSCH MENAFSIRKAN AL-QURAN

Nama lengkapnya Eric D. Hirsch, lahir pada tanggal 22 Maret 1928, seorang pengkritik sastra berbangsa Amerika. Bersama-sama dengan Schleiermacher (1768-1834), Emilio Betti (1890-1968), Hans-Georg Gadamer (1900-), dan lain-lain, Hirsch urun rembug dalam membahas hermeneutic pada tataran filsafat. Bukunya yang terkenal adalah Hermeneutics of Hirsch. Tentunya bukan Hirsch sebagai seorang filosof yang dimaksud dalam artikel serba terbatas ini. Adalah pengaruh pemikirannya terhadap pola pikir Muslim kontemporer yang digunakan dalam menafsirkan Al-Quran.

Menurut Hirsch, "penafsiran adalah pernyataan tentang niat pengarang." Menafsirkan sebuah teks berarti berupaya untuk mengetahui maksud atau keinginan pengarang. Penulis boleh jadi menulis dengan redaksi memerintah, tapi dalam pandangan Hirsch, belum tentu maksudnya adalah perintah itu sendiri melainkan bisa berarti sebuah larangan. Dan ketika melarang sesuatu bisa jadi itu adalah sebuah perintah.

Kata Hirsch sebagaimana yang juga dikutip oleh Adnin Armas, makna sebuah teks dan signifikansinya (apa yang diinginkan oleh pengarang) bagi para penafsir, satu sama lain bisa saja berbeda, baik karena kualitas penafsir atau disebabkan periode sejarahnya yang berbeda atau karena hal lain. Sekalipun hasil tafsirannya membawa pada signifikasi yang berbeda, makna adalah tetap dalam arti yang dimaksudkan oleh pengarang, tidak lain.

Ketika pola pikir Hirsch digunakan untuk menafsirkan Al-Quran maka seorang mufasir akan berusaha untuk mengetahui maksud dan kehendak Allah swt. Bagaimanapun redaksi yang ada dalam Al-Quran, ketika Hirsch menafsirkan, dalam teks itulah terdapat maksud-maksud Allah swt.. Walaupun dalam redaksinya bernada membolehkan bisa jadi maksudnya adalah melarang. Pemahaman seperti inilah yang dinamakan dangan sesuatu yang tidak terkatakan (al-maskut 'anhu).

Banyak pemikir Islam kontemporer yang memakai gayanya Hirsch dalam menafsirkan Al-Quran. Sebutlah Nasr Khamid Abu Zayd, sebagaimana yang pernah dikutip oleh Henri Shalahudin, anggota peneliti INSIST Jakarta, dalam artikelnya yang pernah diampaikan dalam acara Pelatihan Pemikiran Islam di Muhammadiyah Krakatau Steel Cilegon pada tanggal 2 September 2007, ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang berkenaan dengan harta waris. Abu Zayd berpendapat bahwa sebelum kedatangan Islam di Jazirah Arab pada abad ke 7M, wanita tidak mendapatkan harta waris sedikitpun, karena sistem peraturan masyarakat menganut system patriakal. Anak laki-laki tertua mewarisi semua harta peninggalan. Kemudian Islam merubah peraturan ini, seperti yang termaktub dalam al-Quran: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…(QS. Al-Nisa':11)

Menurut Abu Zayd, ayat di atas menekankan terjadinya perubahan dalam hukum masyarakat, yaitu wanita mempunyai hak bagian dalam harta warisan. Substansi arahnya adalah prinsip keadilan (justice). Namun sebenarnya, menurut Abu Zayd, bila dicermati secara mendalam, ayat di atas justru menekankan pembatasan terhadap hak-hak kaum laki-laki (limiting the rights of men). Sebab menurutnya lagi, ayat di atas, penyebutannya jelas mendahulukan kata li al-dzakari (bagi laki-laki), dan tidak sebaliknya, li al-untsayaini mitslu hazhzhil al-dzakari (bagian dua orang perempuan sama dengan bagian seorang anak lelaki). Penyebutan laki-laki yang mendahului perempuan tersebut, berarti bahwa al-Quran menyibukan dirinya dengan pembatasan bagian harta waris untuk laki-laki. Sebab dalam tradisi jahiliyah, kaum laki-laki mewarisi semua harta peninggalan, tanpa batas. Maka Abu Zayd menyimpulkan, sebenarnya al-Quran -secara perlahan dan pasti- cenderung mengarah pada kesamaan antara wanita dan laki-laki, khususnya pada kesamaan bagian harta peninggalan, al-maskut 'anhu.

Sentuhan halus Hirsch juga mengenai pola pikir kalangan liberal, sebagai apologi dalam mengharamkan poligami, mereka biasanya menggunakan pendekatan al-manhaj al-tadrij dan memakai teori ramuan Hirsch, al-maskut 'anhu, untuk memberikan kesimpulan akhir. Pendekatan al-manhaj al-tadrij dimulai dengan pemahaman Hadits Rasulullah SAW berkenaan dengan seseorang dari Tsaqif yang baru masuk Islam, sedangkan dirinya memiliki 10 orang istri, kemudian Rasulullah bersabda: "Pertahankanlah empat istrimu, dan ceraikanlah selebihnya." Hadits ini dinilai sebagai tahap awal pengharaman poligami dengan pembatasan jumlah istri.
Pemahaman tahap kedua pada surat An Nisa' ayat 3 tentang pembolehan poligami dengan rambu-rambu bersikap adil. Allah SWT. Berfiman: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja." Kemudian pemahaman tahap berikutnya bahwa manusia tidak mungkin bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya dengan dasar surat An-Nisa ayat 129: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlakuk adil di antara istri-istri (mu), walau kamu sangat ingin berbuat demikian." Karena tidak ada ayat satu pun yang secara jelas melarang poligami, maka dengan teori racikannya Hirsch, al-maskut 'anhu, disimpulkan bahwa poligami haram.

Pemikiran Hirsch juga sudah mengacaukan konsep nasikh dan mansukh. Pemikir dari sudan -tepatnya dari Amerika, karena Na'im sekarang berdomisili di Amerika Serikat- konsep nasakh terbalik yang diusung oleh Abdullah Ahmad an-Na'im sangat melawan arus mainstream pemikiran yang sudah mapan yaitu tentang ayat-ayat makkiyah yang sudah di-mansukh oleh ayat-ayat madaniyah.(Nirwan Syafrin, Jurnal Tsaqofah, Vol. 4, No. 2). Na'im menggunakan sebuah pendekatan yang pada awalnya dibangun dan dikembangkan oleh gurunya Mahmud Muhammad Taha dalam bukunya risalah tsaniyah, esensi pendekatan ini sebenarnya Allah SWT menghendaki pemberlakuannya ayat-ayat makkiyah, namun karena belum siapnya masyarakat pada waktu itu, maka muncullah peristiwa hijrah dan turunlah ayat-ayat madaniyah yang dinilainya sebagai strategi untuk memberlakukan ayat-ayat makkiyah. Menurutnya strategi itu telah tercapai dan sekarang adalah saatnya untuk menghidupkan kembali ayat-ayat makkiyah dan meninggalkan ayat-ayat madaniyah. Karena makkiyah lebih pas untuk diterapkan pada zaman sekarang ini, makkiyah lebih toleran dan universal, lebih mengedepankan kebebasan, persamaan hak, dan tanpa diskriminasi gender dan kepercayaan. Sedangkan madaniyah adalah ayat-ayat yang dipakai ulama klasik dalam merumuskan tata Negara Islam yang sangat beraura diskriminatif, karenanya ayat tersebut harus ditinggalkan diganti dengan Makkiyah. Model pembacaan untuk mengetahui maksud Allah SWT. ini amat dekat dengan teori al-maskut 'anhu.
Andaikan metodologi nasakh terbalik ini dipraktikan, maka banyak hukum-hukum Islam yang sudah tidak layak dipraktikan. Ini karena hukum-hukum seperti shalat, zakat, haji, perkawinan, riba dan lain-lain yang hampir keseluruhannya terkandung dalam ayat-ayat madaniyah. Jika Naim konsisten dengan metodologinya maka bentuk-bentuk ibadah tadi sudah tidak relevan lagi pada zaman yang dikira serba modern ini.

Dengan menyimak metode yang digunakan di atas, akan mudah dipahami bahwa sebenarnya teori al-maskut 'anhu lebih menekankan pada aspek-aspek metafisika, yaitu meneliti Maksud dan Niat Tuhan yang "belum sempat" diwahyukan kepada Nabi SAW. Mengomentari teori al-maskut 'anhu, Henri Shalahudin menyimpulkan, tentunya teori ini sangat tidak ilmiah. Sebab teori ini menggambarkan seolah-olah Abu Zayd atau yang lainnya lebih mengerti "maksud Tuhan" yang belum sempat diwahyukan-Nya. Persis seperti pendapatnya Hirsch.
Itulah hermeneutik ala E. D. Hirsch yang berbeda dengan teori hermeneutiknya Schleiermacher, Emilio Betti, dan Hans-Georg Gadamer ataupun yang lainnya. Satu sama lain saling berbeda. Jika hermeneutika-hermeneutika itu ingin diterapkan untuk mengkaji al-Quran maka hermeneutika mana yang ingin diambil. Hermeneutika itu berbeda dengan tafsir atau pun ta'wil dalam tradisi Islam. Hermeneutika tidak sesuai untuk mengkajian al-Qur'an, baik dalam arti teologis atau filosofis.

Sebagai sebuah renungan, Islam adalah sumber peradaban, ini adalah Islamic worldview (pandangan hidup umat Islam) yang berasaskan wahyu, Hadits, akal, pengalaman, dan intuisi serta menggunakan pendekatan tawhidi dalam memandang segala sesuatu. Berbeda dengan peradaban Islam, Barat menekankan rasio dan spekulasi filosofis yang dikotomik dan serba relative dengan menempatkan agama sebagai salah satu elemen dari peradaban Barat, bukan sebagai sumber utama. Dengan kenyataan adanya perbedaan worldview ini, alangkah naïf dan tidak bijaksana, sebagai pemikir muslim dalam memandang Islam dengan kaca mata Barat.

Pengunjung