Oleh: Anwar Ma'rufi
Pendidikan merupakan agenda penting agama Islam. Bukti literatur yang membicarakan tema ini sangat banyak dijumpai dalam Al-Qur'an dan Hadis. Dengan pendidikan, diharapkan manusia mampu menemukan dirinya, dari mana ia berasal, untuk apa ia ada, dan akan ke mana tujuan hidupnya, sehingga ia lebih beradab, baik dalam berpikir, besikap dan berperilaku. Diharapkan juga akan lahir individu-indidivu berkualitas yang meliputi kehidupan spiritual dan material. Dalam hal ini, orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam, didefinisikan oleh al-Attas sebagai orang yang baik atau beradab.
Beliau menulis, "Orang baik adalah orang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Allah Yang Hak; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakat; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab. (Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Mizan, 2002)
Muara akhir dari proses pendidikan adalah memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini akan digapai bersamaan dengan ridla Allah. Tujuan pendidikan ini bagi umat Islam tidak dapat diimpor atau diekspor dari atau ke suatu masyarakat religius lainnya. Ia adalah "pakaian" yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakainya, berdasarkan identitas, pandangan hidup (worldview) serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat Islam tersebut.
Berbeda dengan Barat yang sekular, bertahun-tahun para ahli pikir, telah sibuk membincangkan tentang tujuan pendidikan dan kebahagiaan. Dalam pandangan mereka, tujuan pendidikan diarahkan untuk kebahagiaan yang bersifat materi dan kejayaan. Ia adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Menurut pandangan ini, kebahagiaan dinilai dari materi dan kejayaan, tujuan yang sangat pragmatis dan ekonomis. (Adian Husaini, Ilmu dan Kebahagiaan, insistnet.com)
Refleksi pendidikan Islam
Cukup membanggakan memang, pendidikan agama, dalam hal ini agama Islam di Indonesia, menunjukkan kemajuan yang sangat berarti. Tumbuhnya institusi pendidikan Islam mulai dari TK Islam dan TPA/TPQ (PAUD) sampai Perguruan Tinggi Islam, baik Negri maupun Swasta, yang tersebar diberbagai pelosok Indonesia menunjukkan cukup besarnya kesadaran umat Islam akan pentingnya pendidikan yang memuat nilai-nilai agama Islam.
Namun kemajuan kuantitas tidak menjamin kualitas. Institusi Pendidikan Islam, yang diharapkan akan melahirkan pendekar-pendekar Islam, nyatanya tidak sedikit malah memproduksi generasi yang kehilangan arah. Di sisi lain harus diakui memang, banyak anak didik yang menjadikan Institusi Pendidikan Islam, mulai dari Pondok Pesantren hingga Perguruan Tinggi Islam, sebagai alternatuf terakhir setelah tidak diterima diberbagai Sekolah Umum atau Jurusan lain. Sebenarnya bukan hanya itu saja, nilai pragmatisme juga cukup kental mewarnai Pendidikan Agama di Indonesia. Dan kini cendekiawan muslim memang banyak yang tengah terjangkit krisis orientasi dan kebingungan (confusion) intelektual. Entah mereka yang konsentrasi pada bidang sains atau ilmu agama.
Krisis orientasi mengarahkan sistem pendidikan untuk melahirkan individu-individu pragmatis dan ekonomis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Akibatnya banyak kalangan Muslim yang memiliki pendidikan tinggi, namun sejatinya, mereka belum menjadi individu-individu yang terpelajar dan baik, seperti yang dikonsepsikan oleh al-Attas. Mereka masih merasakan kehampaan dan belum merasa bahagia. Masih saja ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis.
Selain itu, krisis atau kebingungan (confusion) intelektual juga banyak melanda cendekiawan muslim. Mereka sering memuji habis Karl Mark, Derrida dan kawan-kawan tapi merendahkan al-Asy'ari, al-Ghazali, al-Syafi'i dan lain-lain. Mereka juga ada yang sangat mengelu-elukan orientalis semisal Noldeke, Arthur Jeffery, R. Paret, dan kawan-kawan, tapi mengkritik Usman r.a., ibn Mujahid, dan ulama lainnya. Ada wanita muslimah berjilbab, tapi memprotes kenapa Allah begitu maskulin. Ada pula yang meragukan al-Qur'an sehingga menggugat otensitas wahyu Allah. Dan tidak aneh seseorang yang sering shalat tahajud sampai kening menghitam tapi pikirannya marxis.
Tujuan pragmatisme dan lahirnya pribadi dualisme ini adalah imbas dari paradigma sistem pendidikan Barat yang sekular. Tujuan pragmatis merupakan salah satu hasil pandangan hidup Barat terhadap arti sebuah kebahagiaan, yang menitikberatkan pada materi dan kejayaan. Pribadi dualisme adalah produk dari pegeseran Studi Islam di sebagian institusi Pendidikan Islam, dari cara yang dianggap "klasik" menjadi cara modern yang berbasiskan pada paradigma keilmuan sekular liberal dan worldview Barat.
Worldview Asas Pendidikan
Di masa silam, Islam telah mencetak generasi-generasi terbaik. Mereka menguasai dengan baik ilmu-ilmu keagamaan dan sains. Sebagai contoh, al-Biruni (di Barat dikenal dengan sebutan Aliboron), seorang ulama asal Uzbekistan yang menguasai bidang fisika, antropologi, psikologi, astronomi, kimia, sejarah, geografi, geodesi, geologi, matematika, farmasi, filosofi dan agama. Ada lagi, Ibn Hazm, Ibn Rushd, Ibn Khaldun, Ibn Sina, Imam Ghozali, dan lain sebagainya. Bagi mereka, tidak ada pemisahan antara agama dan sains. Fenomena-fenomena alam adalah sebuah kewajaran bagi manusia dalam usahanya memahami kebesaran Allah swt. Mereka adalah pribadi-pribadi terbaik yang senantiasa melakukan aktifitas keilmuan berdasarkan worldview Islam.
Pengertian worldview Islam sendiri didefinisikan oleh al-Mauwdudi dengan istilah Islam Nazariyat (Islamic Vision), yang berarti pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. S. M. Naquib al-Attas mendefinisikan worldview Islam sebagai pandangan Islam tentang realitias dan kebenaran yang nampak oleh mata hati dan yang menjelaskan hakikat wujud. Lanjut al-Attas, pandangan hidup Islam ini memiliki beberapa elemen khasnya, yakni konsep tentang hakikat Tuhan, tentang wahyu (al-Qur'an), tentang penciptaan, tentang hakikat kejiwaan manusia, tentang ilmu, tentang agama, tentang kebebasan, tentang nilai, tentang kebajikan dan kebahagiaan.
Untuk sekarang ini, adanya pergeseran orientasi pendidikan Islam dan krisis intelektual muslim, ternyata disebabkan oleh adanya perbedaan dalam memahami hakikat, peranan dan tujuan hidup manusia di dunia, agama dan Tuhan, yang ternyata sangat berkaitan dengan serentetan pertanyaan mengenai hakikat ilmu pengetahuan dan realitas mutlak, dan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu merupakan worldview Islam. Perbedaan pemahaman ini juga merupakan imbas dari pandangan hidup (worldview) Barat yang sekular.
Dengan Islamic worldview, umat islam mampu melahirkan generasi-generasi tangguh nun beradab. Sekalipun sebagian dari mereka masih saja hidup dalam kesusahan dan kemiskinan, mereka tidak menjadikan itu semua sebagai sebuah hambatan untuk kecemerlangan. Tujuan pragmatis untuk kekayaan dan kejayaan tidak terlintas dalam benak mereka. Karena mereka mengerti betul tujuan dari pendidikan dan ilmu pengetahuan itu sendiri serta arti sebuah kebahagiaan. Dengan pemahamannya tersebut, tidak menjadi suatu persoalan apakah nantinya akan hidup miskin atau kaya bergelimang harta, disanjung atau dicaci, mendapat gelar ataupun tidak.
Selanjutnya, kebingungan (confusion) intelektual yang melanda generasi muslim saat ini merupakan kebingungan memahami struktur metafisik dasar Islam. Jika ia tidak mempercayai kekuasaan Tuhan dan keikutsertaan-Nya dalam sejarah manusia, maka ia akan mempermasalahkan otensitas al-Qur'an, dan berujung adanya wanita muslimah berjilbab yang memprotes kenapa Tuhan begitu maskulin. Selain itu gempuran globalisasi ikut andil dalam menghilangkan sekat-sekat metodolgi khas antar peradaban. Sehingga umat Islam tidak mampu lagi membedakan mana epistemologi yang lahir dari worldview Islam dan mana yang bukan.
Sebagai seorang muslim, harus tetap optimis bahwa generasi-generasi terbaik dan tangguh akan dapat lahir kembali dari rahim Islam, ketika ia mampu memahami dan mengamalkan pandangan hidup Islam dalam segala kegiatan. Sehingga tidak ada lagi generasi muslim yang dengan latah merendahkan ulama pendahulunya, kyai yang melegalkan maksiat, santri yang menghujat al-Qur'an, wanita muslimah berjilbab yang mendukung seni berbalut porno, dan lain sebagainya. Dengan Islamic worldview, peradaban Islam akan kembali jaya dan bersinar di muka bumi ini. Wallahu al-Haadi ilaa as-Shawwab