Oleh: Anwar Ma'rufi
Beberapa tahun ini, dengan memboncengi isu HAM dan kebebasan, di antara para pegiat HAM, adalah Direktur LBH Jakarta, Asfinawati, yang membela mati-matian kepada Ahmadiyah yang dinilai telah menistakan dan menodai agama Islam. Walaupun Indonesia bukan Negara Islam hanya mayoritas muslim, namun sejak lama para pendiri Negara paham betul akan hal ini, maka untuk menghormati Agama Islam dicantumkanlah dalam KUHP pasal-pasal yang memuat tentang penodaan agama. UU No 1/PNPS/1965 yang sebelumnya merupakan Penpres No 1/1965 yang juga ditetapkan untuk menjaga agama-agama yang diakui di Indonesia. Tapi dengan dalih HAM pasal-pasal tersebut dibuatnya menjadi pasal karet yang tidak bisa menvonis terhadap tindakan penodaan agama Islam.
Dalam situs faithfreedom.org, pengusiran Nasr Hamid Abu Zayd dari Mesir dan pemaksaan cerai atas istrinya yang muslimah karena dianggap telah murtad yang disebabkan oleh pemikiran ekstrimnya, dinilai sebagai pelanggaran HAM, dengan mimic wajah yang dramatis, pendukung tegaknya kebebasan dan HAM berujar, "Islam kan lahir 700 tahun setelah Kristen, jadi masih perlu banyak belajarlah.” Pernyataan semacam ini sama saja ingin mengatakan bahwa Islam adalah agama yang belum matang, oleh karena itu evolusi Islam atau hukum Syariah adalah suatu keniscayaan.
HAM dan kebebasan juga selalu mengintervensi kebebasan melaksanakan keyakinannya. Tanggal 14 September 2009, di Aceh sudah disahkan dan diberlakukan Qanun Jinayat dan Hukum Acara Jinayat. Qanun ini menjadi pengganti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun berdasarkan HAM juga, Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Ifdhal Kasim, mengatakan Qanun Jinayah yang memuat hukum rajam, yang baru disahkan di Aceh, melanggar semangat perlindungan Hak Azasi Manusia. “Hukum rajam itu juga menurunkan martabat manusia dan menyiksa,” ujarnya kepada Tempo, Selasa (15/09) di Banda Aceh. Menurutnya, hukum rajam jelas melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia. Rajam juga melanggar Konvensi Internasional Anti Penyiksaan yang telah dirativikasi pada 1998. “Kalau ada hukuman yang sejenisnya tetapi menyiksa, itu juga melanggar,” cetusnya. Hukuman rajam juga bertentangan dengan semangat konstitusi amandemen kedua Hak Asasi Manusia tentang jaminan perlindungan hak azasi termasuk tidak boleh dilakukannya hukuman yang kejam.
Atas nama kebebasan dan HAM juga sekelompok mahasiswa Fakultas Syariah di IAIN Walosongo Semarang menyatakan dukungannya terhadap legalisasi perkawinan homoseksual dan lesbian di Indonesia. Tahun 2004, mereka menerbitkan sebuah Jurnal dengan judul sampul yang sangat provokatif : Indahnya Kawin Sesama Jenis. "Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan," tulis pengantar redaksi Jurnal ini. Jurnal Perempuan edisi Maret 2008 juga menurunkan edisi khusus tentang seksualitas lesbian. Seorang profesor yang juga dosen di UIN Jakarta ditampilkan wawancaranya dengan judul: ”Allah hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia”.
Pada 11 November 2009, di satu kampus Islam di Surabaya, digelar satu seminar bertajuk “Nikah Yes, Gay Yes!” Seminar dihadiri ratusan mahasiswa. Seorang pembicara disitu mengungkapkan, bahwa kaum Luth diazab bukan karena kasus homoseks, tetapi karena menghilangkan eksistensi Nabi Luth. Menurut Ustadz Adian Husaini, Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Pusat, pendapat semacam ini juga lazim dikemukakan kaum homoseks di lingkungan Kristen. Tapi, pendapat semacam ini pun telah banyak menuai kecaman keras dari para tokoh Kristen.
Dasar mereka dalam memperjuangkan HAM dan kebebasan selalu mengacu pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III). Menurut mereka DUHAM adalah kitab suci yang harus diimani dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semua undang-undang harus mengacu pada DUHAM, termasuk syariat Islam. Pemberlakuan Syariat Islam harus sesuai dengan semangat HAM dan kebebasan. Ayat-ayat al-Quran dan Hadits digorok sedemikian rupa agar sesuai dengan Maqashid HAM, semua produk ijtihad para mujtahid harus selaras dengan semangat maqashid ini.
Upaya menjadikan HAM sebagai Maqashid Syariah, menggantikan konsepnya Imam as-Syatibi, telah dilakukan dengan sangat serius dengan dukungan dana yang tidak sedikit. Orang-orang ini menyebut dirinya sebagai Islam Liberal. Mereka berkesimpulan, secara alamiah Syariat Islam harus melakukan evolusi agar sesuai dengan zaman dan bentuk-bentuk ketentuan publik modern. Sebutlah Abdulahi Ahmed An Na'im, pemikir Islam kontemporer asal Sudan, secara halus agar tidak melukai hati umat Islam, dan berusaha menjaga eksistensi syariah Islam, upaya mendekonstruksi syariat Islam dilakukan dengan cara teknik nasikh-mansukh terbalik dari ulama klasik yang dinilainya telah usang. An Na'im berusaha keluar dari framework ijtihad ulama klasik. Menurutnya teknik ini adalah solusi merumuskan Syariah modern.
Sebagai bahan pikir, kiranya perlu mengetahui bagaimana proses pembentukan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pembentukan DUHAM harus diteliti kenapa bisa terwujud dan dari mana asal muasalnya, kemudian dianalisa secara kritis agar dapt diketahui sampai akar sumber pembentukan dan basis ideologinya. Karena dapat dimungkinkan, pembentukan DUHAM ini sarat dengan trauma sejarah pencetusnya yang kemudian dijadikan sebagai misi pemberlakuan ideologinya. Maka dari itu dalam memahami HAM, sebaiknya disikapi dengan hati-hati secara arif dan proporsional. Bentuk kehati-hatian bukan berarti menolaknya secara membabi buta atau menerimanya secara taken for granted.
HAM adalah sebagian kecil dari Maqashid Syariah yang diusung oleh Imam as-Syatibi. Walaupun demikian, secara filosofis, tujuan HAM dengan maqashid syariah berbeda sama sekali. Pembentukan HAM banyak disebabkan oleh adanya kekerasan dan penganiayaan secara membabi buta terhadap manusia yang lemah dan dipandang salah, hal ini dapat dicermati pada konsiderasi DUHAM dan sejarah pembentukannya. Adapun Maqashid Syariah, khususnya khifdzu an-nafs (pelestarian jiwa), dilihat secara pembentukannya tidak sama dengan tujuan HAM, maqashid syariah adalah tujuan Syari' (yang membuat hukum), Dia-lah Allah swt. yang menetapkannya agar kehidupan manusia dapat berjalan sebagaimana mestinya. Yaitu menarik mashlahah (jalb al-mashalih) dan menolak kerusakan (dar al-mafasid). Bukan hanya manusia saja yang Syari' perhatikan dan menjadikan tujuan hukum syariat-Nya, secara berurut, Maqashid Syariah selalu tertuju pada khifdzu ad-dien (pelestarian pada agama), khifdzu an-nafs (pelestarian jiwa), khifdzu al-'aql (pelestarian akal), khifdzu an-nasl (pelestarian keturunan atau nasab), dan yang terakhir adalah khifdzu al-maal (penjagaan harta).
Setelah menimbang ulang konsep HAM yang dijadikan dasar pijakan ijtihad kaum Islam Liberal maka dengan kesadaran yang jernih kiranya dapat menjadi masukan bagi pegiat HAM untuk membacanya dengan sadar akan HAM yang sarat misi, filosofi, dan ideologis. Yang pada akhirnya, memahami Islam dengan komperehensif akan menimbulkan rasa bangga berislam. Pembacaan yang bijak mengenai Islam adalah dengan Islamic Worldview bukan dengan Western Worldview.