Senin, 19 Juli 2010

Bahaya SIPILIS Terhadap Keutuhan Suatu Negara

Oleh: A. Abdulloh Khuseini
(Alumni PKU III ISID, utusan PM. Darunnajah Cipining Bogor)

Pendahuluan

Pada era sekarang ini, tata kehidupan sosial kemanusiaan sudah tidak bisa begitu saja lepas dari pengaruh SIPILIS (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme) di mana ide-ide pemikiran itu adalah di cetuskan oleh peradaban Barat. Kalau kita cermati lingkungan di sekitar kita, dalam kehidupan sehari-hari mulai dari cara berbicara, dalam berpakaian, cara berpikir, dan atau bahkan cara dalam menghibur diri sendiri pun sudah banyak yang menggunakan standar kesenangan ala Barat.

Cara berpikir ala Barat (Moderen), secara usia masih tergolong sangat muda (sekitar 2 abad) bila di bandingkan dengan paham tradisional telah mencapai (sekitar 12 abad), akan tetapi paham tersebut kini tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Satu hal yang sangat disayangkan adalah, tidak semua orang paham dengan apa inti dari peradaban Barat yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena memang Barat menjanjikan kehidupan yang di pandang lebih fleksibel dan lebih rasional, akan tetapi di balik itu terkandung paham-paham yang justru mengarah kepada kehancuran manusia. Memandang permasalahan ini, Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas (seorang pemikir yang dikenal cukup baik oleh dunia pemikiran Barat maupun Islam) sebagaimana di kutip oleh Adian Husaini dalam bukunya Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal mengatakan bahwa problem terbesar yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan secular Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia.

Kalau kita tengok sejarahnya kenapa Barat lebih memilih hidup dengan jalan Sekular-Liberal, kita akan tahu dan mengerti bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menjadi latar belakang mengapa Barat memilih jalan hidup Sekular dan Liberal. Pertama, karena adanya trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama Kristen di zaman pertengahan dengan segala bentuk inquisisinya yang sangat tidak manusiawi. Akan tetapi ketika melakukan berbagai bentuk kekejaman itu, Gereja bertindak sebagai wakil Tuhan, dan mengatasnamakan Tuhan. Kedua, problem teks Bible yang berkaitan dengan otentisitas teks Bible dan makna yang terkandung di dalamnya. Ketiga, problema teologis Kristen. Ketiga problema itu terkait satu dengan lainnya, sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang pada ujungnya melahirkan sikap berpikir sekular-liberal dalam sejarah tradisi pemikiran Barat Modern.

SIPILIS Menghancurkan Kekuasaan Turki Utsmani

“Air susu dibalas dengan air tuba” itulah kira-kira satu ungkapan peribahasa yang tepat untuk menggambarkan sosok Yahudi yang membalas kebaikan Turki Utsmani selama ratusan tahun dengan munculnya gerakan Zionis Yahudi pada abad ke-19. Selama lebih dari 500 tahun, Ustmani menjadi “surga” bagi pengungsi Yahudi yang diusir dan dibantai oleh Kaum Kristen Eropa.

Pada era kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II (1876-1909), Sultan masih menjadikan Turki Utsmani sebagai wilayah aman bagi Yahudi, di saat mereka menjadi korban pembantaian dan penganiaan di wilayah Kristen Eropa. Ketika mereka sudah merasa sudah merasa memiliki cukup banyak penduduk Yahudi di wilayah Turki Utsmani, mereka menginginkan kemerdekaan dengan meminta tanah Palestina untuk di jadikan sebagai Negara Yahudi. Keinginan Yahudi untuk mendapatkan wilayah Palestina di Tolak oleh Sultan Abdul Hamid II, hal ini mendorong Gerakan Zionis untuk berusaha menumbangkan Sultan.

Usaha Gerakan Zionis untuk menjatuhkan Sultan ketika itu sukses dilaksanakan, dengan menggunakan jargon-jargon “liberation”, “freedom”, dan sebagainya, mereka berhasil menyusun pencopotan Sultan. Ironisnya, di tengah-tengah kerasnya Sulan Abdul Hamid II menolak permintaan Zionis, Yahudi yang datang ke Palestina justru semakin bertambah dan kebijakan Sulan ketika itu sudah tidak efektif lagi karena kekuasaan Turki telah berada di tangan Committee and Union Progress (CUP) – suatu organisasi yang di bentuk oleh Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement).

Setelah Sultan Abdul Hamid II berhasil di turunkan dari kekuasaannya, Revolusi Turki Muda bersama dengan CUP dan sejumlah kelompok politik, berjuang untuk mengakhiri apa yang mereka sebut sebagai Abdulhamid’s despotism dan mendirikan satu rezim konstitusional, dengan tujuan untuk menyelamatkan imperium Utsmani dari keruntuhan. Ideology penting dari kelompok Turki Muda adalah positivism, materialism, dan nationalism. Abdullah Cevdet, seorang pendiri CUP mengatakan: “Hanya ada satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karenanya, kita harus meminjam dari peradaban Barat baik mawarnya maupun durinya.”

Fenomena gerakan Zionis di Turki Utsmani ini menunjukkan, kekuatan imperium yang telah bertahan selama 600 tahun bisa digulung dari dalam oleh kelompok Turki Muda yang berkolaborasi dengan kekuatan Zionis dan Barat yang mengusung ideology liberalisme. Proses ini memakan waktu yang panjang. Kelemahan internal Turki Utsmani juga menjadi faktor kondusif merebaknya gagasan Westernisasi di Turki Utsmani, khususnya di kalangan elit politik dan intelektualnya. Sejarah kemudian menyaksikan nasib tragis sebuah kekuatan besar runtuh dan takluk terhadap kemauan Barat dn Zionis Yahudi.

SIPILIS Masuk ke Indonesia

Dalam sejarah pemikiran, paham SIPILIS sudah masuk ke Indonesia semenjak masih dalam jajahan Belanda, akan tetapi secara organisasi, paham ini baru muncul pada tahun 1970-an. Pada waktu kementerian Agama Republik Indonesia dipimpin oleh A. Mukti Ali yang dilanjutkan oleh Munawir Syadzali, para dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) diarahkan belajar Islam ke Barat.

Pada tahun yang sama, Nurcholis Madjid (ketika itu menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI)), secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam. Dalam makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikirian Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Nurcholish Madjid menyatakan:
“…pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini…” untuk itu, menurut Nurcholish, ada tiga proses yang harus dilakukan dan saling kait-mengait: 1. Sekularisasi, 2. Kebebasan intelektual, 3. Gagasan mengenai kemajuan dan sikap terbuka.”

Dengan mengadopsi gagasan Harvey Cox, melalui bukunya “The Secular City”, Nurcholish ketika itu mulai membuka pintu masuk arus sekularisasi dan liberalisasi dalam Islam, maka tidak aneh jika dengan adanya statement dari Nurcholish Madjid tersebut, kemudian banyak pihak yang kemudian memanfaatkan semangat pemikiran untuk kemudian menggulirkan pemikiran liberalism di Indonesia.

Dari seluruh proses di atas, kini sudah mulai menuai hasilnya, banyak dari kalangan pemikir Islam yang pola pemikirannya sudah terbaratkan, bahkan yang lebih membuat kita menggelengkan kepala, telah lahir pula para calon cendekiawan muda lulusan IAIN yang telah terang-terangan menghujat keotentikan al-Qur’an, ada pula yang ingin mendekonstruksi syari’ah, dan masih banyak lagi buah hasil karya para calon cendekiawan muda yang pola pemikirannya telah terbaratkan.

Program SIPILIS

Usaha sekularisasi di Indonesia sudah ada sebelum kemerdekaan, hal ini tampak pada sikap Soekarno pada tahun 1930-an yang menulis sebuah artikel yang intinya mendukung proyek sekularisasi yang dikerjakan oleh Mustafa Kemal Attaturk tahun 1924, akan tetapi pemikiran Soekarno ketika itu mendapat tantangan dari M. Natsir (DDII) dan A. Hasan (Persis) yang dimuat dalam Majalah “Panji Islam.”

Sekularisme merupakan paham menduniawikan hal yang terkait dengan agama, wacana yang digulirkan adalah: (1) menghalangi campur tangan Tuhan (Agama) dalam persoalan duniawi, (2) aspek kehidupan, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya tidak perlu didasarkan pada agama, (3) ormas, parpol, maupun Negara tidak perlu berbasis agama, (4) Negara tidak usah mengurus agama, karena agama urusan pribadi.
Pluralism ialah paham yang mengakui dan menghendaki keanekaragaman agama, keagamaan, dan keberagaman dalam beragama, wacanya adalah: (1) semua agama sama-sama benar, Islam tidak boleh mengklaim sebagai satu-satunya agama yang benar atau agama yang paling benar, (2) penganut agama apapun masuk surga, (3) semua agama dan penganutnya harus diperlakukan sama, (4) hak-hak penganut agama apapun harus dibela.

Liberalism merupakan paham kebebasan beragama, menganut agama, atau bahkan tidak beragama. Wacana yang dikembangkan adalah: (1) menghalalkan semua budaya walaupun membentur nash, (2) bebas berfikir dan berijtihad walaupun dalam soal aqidah dan nash qath’i, (3) agama harus tidak terikat dengan wahyu, (4) wahyu tidak berhenti, akal adalah wahyu. Nash harus digiring kepada budaya, yaitu harus disesuaikan dengan akal.

Dengan semu paham tersebut di atas, maka program liberalisasi yang dijalankan adalah: (1) liberalisasi aqidah Islam, hal ini dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Semua agama adalah merupakan jalan yang sama-sama menuju pada Tuhan yang sama, mereka menganggap bahwa agama merupakan jalan yang berbeda-beda, akan tetapi pada hakekatnya Tuhan yang mereka sembah adalah sama. Kaum Pluralis menjadikan paham relativisme akal dan relativisme iman sebagai dasar pijakannya. (2) liberalisasi al-Qur’an, dalam hal ini mereka mengangkat wacana seputar “dekonstruksi Kitab Suci.” Salah satu program sekularisasi adalah adanya upaya desakralisasi al-Qur’an, mereka menganggap bahwa al-Qur’an bukanlah kitab suci, posisi al-Qur’an sebagai hasil budaya manusia yang tidak terlepas dari unsure sejarah. (3) liberalisasi syari’at Islam, Dr. Greg Barton mengatakan bahwa salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia adalah “kontekstualisasi ijtihad.” Hukum yang sudah qath’iy dan pasti, dibongkar dan dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman.

Penutup

Sebagai Negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, bahkan berupakan Negara yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia, sudah seharusnya tersadar dari iming-iming SIPILIS yang memiliki dampak yang sangat buruk bagi keutuhan suatu Negara. Sudah seharusnya kita belajar dari Turki Utsmani yang begitu kokoh tapi kemudian ia diruntuhkan dari dalam oleh kekuatan Turki Muda yang berkolaborasi dengan SIPILIS.
Di tengah-tengah gencarnya Barat menyebarkan paham mereka, semoga umat Islam segera bangkit untuk menangkal segala wacana SIPILIS yang terus berkembang di tengah masyarakat.

Pengunjung