Ahmad Adib Musthofa**
A. Pendahuluan
Pluralitas (kemajemukan) maknanya telah dikaburkan kaum liberal. Pluralitas adalah bentuk sikap dari pluralisme. Padahal pluralitas adalah sebuah keniscayaan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan, sehingga kehadirannya tidak dapat dihindari dan sudah menjadi sunnatullah. Pluralisme agama diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran keagamaan. Sehingga diharapkan seluruh pemeluk agama bersifat inklusif (terbuka) terhadap pemeluk agama lain, sebab Tanpa pandangan pluralis, kerukunan umat beragama tidak mungkin terjadi. Pluralisme bukan hanya menoleransi adanya keragaman agama, tetapi mengakui kebenaran masing-masing pemahaman serta menghilangkan klaim kebenaran dalam agamanya, setidaknya menurut logika para pengikutnya. Maka pluralisme dijadikan sebagai bentuk konkrit dalam menjalankan kerukunan berargama.
Dari definisi tersebut, kaum liberal menyamakan pluralisme dengan pluralitas, sehingga pluralisme pun dianggap sebagai sunnatullah. Padahal pluralitas adalah keragamaan sedangkan pluralisme adalah penyeragaman agama-agama.
"Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga."
Pluralisme Inilah yang akan menimbulkan relativisme agama dan nihilisme kebenaran agama. Paham ini menjadi tema penting dalam disiplin ilmu sosiologi, teologi dan filsafat keagamaan yang berkembang di Barat serta agenda penting globalisasi.
Pemahaman tentang pluralisme agama di Indonesia, merujuk pada dua aliran yang berkembang, yaitu pertama teology global (global theology) John Hick yang terpengaruhi oleh Wilfred Cantwell Smith dengan world theology. Dan kedua aliran kesatuan transenden agama-agama (Transendent Unity of Religions) yang digagas oleh Fritjhof Shuon yang terpengauh oleh Ananda Kentish Coomaraswamy dan Rene Guenon yang memiliki konsep serupa (philosophia perennis milik Coomaraswamy dan primodial tradition milik Guenon).
Kedua aliran pluralisme ini berkembang dan membangun konsep yang berbeda. Perbedaan konsep diantara dua aliran ini dipicu oleh latar belakang yang berbeda. Meskipun kedua aliran pluralisme tersebut sama-sama muncul dari dunia Barat. Barat yang trauma dengan agama, sebab jika berbicara tentang agama, yang muncul dipikiran orang Barat adalah kekerasan, ingkuisisi, siksaan, kekakuan, merasa benar sendiri dll. Selain itu, agama dianggap semakin tidak bisa menjawab tantangan kehidupan yang semakin rumit. Sehingga agama dan kepercayaan perlu di modernisasikan serta disesuaikan perkembangan zaman untuk menjawab perubahan-perubahan yang terjadi. Maka lahir pluralisme agama pada masa pencerahan (Enlightenment) di Eropa. Tepatnya pada abad 18 Masehi yang terdapat bangkitnya gerakan pemikiran modern.
Pluralisme lahir juga dari problem teology agama Kristen. Sebab agama di Barat (Kristen), masalah teologi didominasi oleh filosof. Sehingga teolog tidak memiliki otoritas. Dari masalah ini terlahir pemikiran yang hanya mengandalkan akal (filosof). Akal Barat modern tidak bisa menerima dengan teologi Kristen yang ada. Akhirnya para filosof berusaha mengakalkan teologi yang dimiliki Kristen. Dan dari sini masalah teologi di kuasai oleh para filosof. Kemudian lahir produk filsafat atheisme yang muncul pada masa pencerahan.
Cara berfikir filosof Barat terhadap teologi ini akhirnya mulai memasuki pemikiran agama Islam setelah perang dunia ke dua, yaitu mulai terbukannya kesempatan generasi muda muslim untuk mengenyam pendidikan di Universitas-universitas Barat sehingga bersentuhan langsung dengan cara berfikir dan budaya Barat.
Dari sarjana-sarjana alumni Barat yang belajar studi Agama ini pluralisme di pasarkan di Indonesia, dan kemudian masuk dalam wacana-wacana keagamaan. Kondisi Barat yang sudah merasuk dalam pikiran pelajar Indonesia baik dari cara berfikir ataupun berbudaya akhirnya diadopsi, modifikasi dan justifikasi kemudian diwacanakan di masyarakat dengan jalan pengkaburan makna pluralitas dengan pluralisme, akhirnya menimbulkan anggapan bahwa pluralisme adalah sunnatullah. Dari kondisi ini pemahaman pluralisme masuk kewilayah Indonesia.
Pluralisme agama dimunculkan (oleh kaum pluralis diharapkan) untuk menangani konflik antar umat beragama dan problem sosial masyarakat khususnya masalah kerukunan antar umat beragama. Siti Musdah Mulia, mengatakan bahwa persoalan terbesar yang dihadapi umat beragama adalah konflik agama, baik intern pemeluk agama maupun antar agama. Untuk mencegah timbulnya konflik tersebut diperlukan suatu dialog sehingga akan melahirkan komitmen toleransi dan pluralisme. Dari sikap pluralisme ini diperlukan suatu sikap hidup keagamaan yang relative atau nisbi sebagai jalan keluar dari kemelut perpecahan dan pertentangan agama. jika semua agama mengambil sikap seperti ini maka agama bukanlah sebagai factor pemecahbelah melainkan perekat yang akan menebar rahmat bagi manusia, sebab kebenaran agama tidak hanya satu melainkan banyak. Dengan cara berpikir seperti ini pemeluk-pemeluk agama akan mendapatkan kerukunan umat beragama dalam kemajemukan agama yang real. Selain umat beragama berani mengakui eksistensi dan hak agama lain dan selanjutnya bersedia aktif dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan berbagai agama menuju terciptanya suatu kerukunan dalam kemajemukan agama.
Padahal jika untuk kerukunan umat beragama terdapat toleransi antar umat beragama. Sedangkan pluralisme bukannya untuk merukunkan konflik umat beragama melainkan menghilangkan identitas agama. Sebab pluralisme akan mereduksi keistimewaan dari suatu agama menjadi tidak ada klaim kebenaran diantara agama, sebab kebenaran agama adalah banyak bukan satu.
Sedangkan paham pluralisme agama masuk ke Indonesia pada disaat cendekiawan Muslim membuka kran liberalisasi yang di usung oleh Nurcholish Madjid. Berawal dari sinilah pluralisme dijadikan tren kehidupan umat beragama. Dengan dalih mencegah dan meredam konflik antar umat beragama. Tetapi, pluralisme agama bukanlah sekedar toleransi antar umat beragama yang sering di suarakan oleh para pendukung pluralisme agama. Pluralisme agama adalah sebuah bentuk untuk menuntut kesamaan dan kesetaraan (equality) dalam segala hal antar agama. Sehingga jika diterapkan dalam agama, akan menghilangkan istilah iman-kufur, tauhid-musyrik dan lain sebagainya. Dari konsekuensi paham ini adalah perubahan ajaran pada tingkatan akidah.
Wacana pluralisme di tanah air tampak begitu ramai setelah MUI menerbitkan fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005. Dengan keluarnya fatwa tersebut, pendukung pluralisme agama di Indonesia dipukul dengan telak oleh fatwa MUI. Tetapi para pendukung pluralisme agama tidak berhenti begitu saja, ada kencenderungan mereka berubah kulit dengan istilah Abrahamic faith dan multikulturalisme. Tetapi tujuannya tetap sama dengan pluralisme atau kesetaraan.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa paham pluralisme agama bukan lahir dari kazanah keindonesiaan, walaupun Indonesia memiliki kebinnekaan. Kaum pluralisme mengklaim bahwa pluralisme agama adalah bentuk menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tetapi kenyataannya adalah memaksakan kehendaknya terhadap umat beragama. Dan dari tipologi pluralisme yang ada di Indonesia adalah Transendent Unity of Religions lebih dikenal. Baik aliran global teologi atau kesatuan agama-agama adalah memiliki berbasis relativisme, teosofis dan nihilisme. Oleh karena itu penulis ingin mengetahui pengaruh wacana pluralisme agama di Indonesia, sebab dari sebagian kalangan cendekiawan Indonesia mengatakan bahwa sejatinya pluralisme agama bukanlah menyamakan semua agama, tetapi bentuk toleransi atau pluralisme social terhadap umat beragama dan apakah benar bahwa pluralisme agama adalah demikian, akan kita buktikan pada tulisan selanjutnya.
B. Akar Pluralisme Agama di Barat
Pikiran bahwa semua agama pada hakekatnya sama telah masuk di Indonesia. Pikiran ini bukan hanya memasuki pada agama-agama tertentu tetapi sudah masuk kesemua agama. pikiran seperti ini berawal dari perubahan teologi yang dialami oleh masyarakat Barat (Kristen). Kemunculan ide ini juga dari konsekuensi gereja katolik yang memegang kuat doktrin “di luar gereja tidak ada keselamatan” (extra ecclesiam nulla salus) sehingga doktrin tesebut mengancam sekte Kristen. Kemunculan sekte Kristen juga berawal dari problem teologi, kemudian kepercayaan yang mereka yakini tidak dapat menjawab perubahan yang terjadi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Padahal perkembangan teknologi selalu terus berjalan, globalisasi pertukaran informasi begitu pesat, bahkan dunia menurut McLuhan (seorang ahli komunikasi Kanada) bagaikan kampung besar (global Village) . Jarak dan waktu antar wilayah bisa disingkat itulah globalisasi. Dari arus globalisasi ini akan muncul dua aliran yang sangat berpengaruh dalam kajian agama khususnya pluralisme. Dua lairan tersebut adalah teology global dan transcendent unity of religions. Kemunculan pluralisme agama dengan masa modernisasi di Barat adalah sama tuanya.
Kemunculan pemikiran pluralisme di Barat tepatnya pada masa pencerahan (Enlightenment) Eropa lebih tepatnya pada abad ke-18 masehi. Pemikiran ini terjadi pada saat Barat mengalami wacana pergolakan pemikiran superioritas akal dan pembebasan-pembebasan akal dari kungkungan doktrin agama (Kristen). dari pergolakan pemikiran inilah yang melahirkan liberalisme yang mengharapkan kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. Doktrin agama tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan harus tunduk terhadap doktrin agama. para ilmuwan mengalami penyiksaan (masuk ke institusi gereja yang sangat terkenal dengan kejahatannya dan kekejamannya dan biasa dikenal dengan insquisisi) dari gereja sebab apa yang mereka temukan bertentangan dengan dokrin kekristenan.
Pada masa pencerahan ini Barat mengalami masa industri dan masa bangkitnya ilmu pengetahuan. Pada masa-masa ini Barat disebut juga dengan masa translation (penterjamahan). Banyak buku-buku karya muslim yang diterjemahkan kembali ke bahasa latin. Buku-buku yang diterjemahkan khususnya ilmu pengetahuan. Sedangkan pada masa ini pula merupakan masa mayarakat Barat mulai meninggalkan ajaran agama yang mereka yakini. Dari sini awal sejarah modern dimulai. Mereka terinspirasi dari karya-karya muslim. Barat bangkit dari kejumudan akal, sehingga dari kejumudan inilah mereka bangkit dan berusaha menggunakan rasional akalnya. Akan tetapi nilai-nilai keislaman tidak terambil olah kalangan Barat. Sebelum zaman penterjemahan karya-karya umat islam, Barat dalam masa kegelapan. Barat menerjemahkan karya-karya umat Islam selama 5 abad, mulai dari abad 11 sampai abad ke 16.
Sebelum masa penggunaan rasionalitas akal, Barat menyebutkan dengan masa kegelapan (dark age). Dominasi gereja sebagai begitu kuat dalam kehidupan masyarakat Barat. Sebab gereja diakui sebagai wakil Tuhan dan dalam tindakannya selalu atas nama Tuhan jadi apapun yang mereka lakukan tidak dapat salah (infallible), Sehingga menghasilkan pembrontakan dan protes sebagian umat Kristen terhadap gereja. Gerakan-gerakan tersebutlah yang nantinya akan menghasilkan sekte-sekte di aliran Kristen. Salahsatu aliran Kristen yang protes terhadap gereja katolik adalah Kristen protestan yang dipelopori oleh Martin Luther.
Pembrontakan Kristen protestan terus berlangsung terhadap Kristen katolik. Sehingga Kristen Eropa terpecah menjadi dua bagian besar yaitu katolik dan protestan. Bertahun-tahun dua agama bersaing dan saling melakukan pembantaian sehingga menimbulkan trauma Barat terhadap ajaran agama, sehingga menimbulkan paham sekulerisme dalam politik, yakni memisahkan agama dengan politik. Agama adalah wilayah privat (pribadi) dan suci sedangkan politik adalah wilayah public dan kotor (provan).
Untuk menjawab problem teology Kristen, perpecahan sekte kristen serta Kristen dalam merespon globalisasi maka muncullah aliran pluralisme agama. Dua aliran yang berkembang tersebut tumbuh dari keadaan Barat. Mereka berusaha menyikapi perubahan yang terjadi, khususnya melalui jalur keagamaan. Dua aliran tersebut adalah teology global dan transcendent unity of religions. Pada aliran pertama global theology kepanjangan tangan dan pendukung gerakan globalisasi sedangkan transcendent unity of religions merupakan aliran pluralisme yang menentang terhadap arus globalisasi. Tetapi sebetulnya kedua aliran ini ujung-ujungnya sama saja yaitu merelatifkan kebenaran agama, semua agama adalah jalan kebenaran dan keselamatan dan tidak ada truts claim kebenaran dalam beragama.
a. Global Theology
Pendekatan yang dipakai oleh aliran global teologi terhadap agama adalah lebih bersifat sosiologis, cultural dan idiologis. Bersifat sosiologis dan cultural, maksudnya agama disesuaikan dengan perkembangan sosial, budaya masyarakat yang berkembang. Sedangkan pendekatan idiologis adalah ide yang menjadi bagian dari gerakan globalisasi. Maknanya munculnya ide tentang pluralisme agama di Barat adalah berasamaan dengan hadirnya modernisasi.
Kemunculan ide (global teologi) adalah untuk menjawab permasalah yang dialami oleh masyarakat Barat (Kristen) dan Arus globalisasi adalah salah satu yang melatar belakangi kehadiran ide ini. Pemikiran modernisasi di Barat ternyata tidak bisa menghilangkan peranan agama dalam kehidupan masyarakat. agama semakin menjadi tema penting dalam masyarakat modern. Sehingga tema agama menjadi pembahasan tersendiri.
Pengaruh globalisasi begitu kuat sehingga mampu mengubah kehidupan manusia. Arus globalisasi juga telah melunturkan sekat-sekat adat, nilai-nilai budaya, kultur bahkan jati diri yang dimiliki oleh suatu kelompok melebur bersama arus ini. Globalisasi merupakan sebuah fenomena. Kemunculannya erat dengan politik , teknologi , dan ekonomi .
Fenomena globalisasi ini mulai terjadi pada abad 19 dan harus disikapi dengan arif dan bijak. Menurut Malcom Walter, globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme adalah memasarkan idiologi Barat dan bahkan membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya, oleh karenanya menurut Walter, gerakan globalisasi ini telah membawa idiologi yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima idiologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat, seperi demokrasi, hak asasi manusia, feminisme, liberalisme dan sekulerisme.
Namun, kemunculan globalisasi membawa dampak negatif bagi agama yaitu kemunculan wacana teologi radikal. Agama bagi umatnya berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman dalam menjalani realita kehidupan bukan hanya masalah hubungan sosial antar makhluk tetapi juga meyakini ketuhanan. Tetapi di era globalisasi, fungsi diatas dibalik menjadi agama yang seharusnya mengikuti konteks kehidupan. Dengan mengikuti konteks kehidupan maka agama dapat bermanfaat bagi manusia. Sebab jika agama melawan globalisasi (konteks kehidupan) berarti agama tidak bisa memberikan manfaat bagi pemeluknya. Oleh karena itu, jika konteks kehidupan berubah maka nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama juga berubah dengan semangat perubahan zaman. Teori seperi ini sebetulnya ingin menancapkan teologi baru yang bernama pluralisme agama.
Benih-benih pluralisme agama sudah tampak dari tulisan teolog protestan Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834). John Hick banyak terpengaruh terhadap pemikiran mereka. Menurut penilaian Schleiermacher bahwa agama adalah urusan privat dan esensinya terletak pada jiwa dan diri manusia dalam interaksinya dengan yang mutlak (sense of absolute dependence) , bukan pada institusi tertentu. Dari ungkapan Schleiermacher ini agama bukanlah sesuatu yang institusional, dan yang terpenting adalah esensi agama terdapat pada jiwa dan interaksi jiwa manusia pada yang mutlak.
Ide pluralisme John Hick adalah representasi dari penemuan Copernicus tentang ilmu pengetahuan yaitu matahari sebagai sentral kehidupan. Dalam teori heliosentris Copernicus, bahwa planet dan galaksi mengitari matahari, maka John Hick mengganti dengan Tuhan sebagai pusat agama-agama dan menganjurkan untuk merevolusi teologi agama-agama. setelah terjadinya revolusi ini maka tidak ada agama yang paling benar tetapi semuanya menuju ke yang mutlak yaitu yang Real absolut.
Selain kesatuan Tuhan sebagai pusat peredaran agama-agama, Hick juga beranggapan bahwa spiritual keagamaan manusia tidaklah berhenti dan tetap pada dogma keagamaan, agama bagi Hick adalah himpunan tradisi yang membentuk suatu keimanan dan senantiasa baru dan berganti-ganti menyesuaikan dengan perubahan zaman dan perkembangan akal. Sedangkan perkembangan globalisasi terus melintas diantara kultur-kultur yang ada, sehingga tidak dimungkinkan adanya agama universal. Tetapi untuk tidak menghilangkan agama-agama yang ada paling tidak adalah teologi global (theology global). dengan demikian jelas bahwa John Hick membawa ide pluralisme agama dasar utamanya adalah globalisasi
Selain globalisasi sebagai transformasi teologi agama-agama. Hick juga memiliki istilah fortuity of birth (ketidaksengajaan kelahiran) instilah ini juga untuk mendukung teori pluralismenya. Menurut anggapan Hick, manusia tidak memiliki pilihan dimana dan kapan akan lahir. Jika seorang lahir dilingkungan Islam dipastikan bayi tersebut akan beragama Islam, jika pada lingkungan Kristen maka dia akan Kristen dan lain sebagainya. Padahal dalam pandangan Islam bahwa keimanan manusia merupakan fitrah yang telah diberikan oleh Allah (perjanjian Primodial sebelum terlahir dibumi). Kemudian seorang bisa menjadi muslim, kristen atau yahudi karena pemahaman agama yang masuk pada dirinya.
Berangkat dari asumsi manusia beragama karena lingkungan, maka Hick berpendapat "Teologi agama apapun yang kridebel, haruslah bener-bener mempertimbangkan factor lingkungan". Dari sini Hick ingin mengatakan bahwa dengan pluralisme teologi maka umat manusia tidak akan saling mempermasalahkan agama atau menyalahkan kelahirannya dilingkungan yang berbeda . Sebab semua situasi pada hakekatnya sama, baik dilingkungan Kristen, Yahudi, Islam atau yang lainnya. Inilah sebetulnya yang ingin dibangun oleh Hick melalui the transformation from religion-centredness to God-centredness. Mentransformasikan agama-agama yang ada menuju Tuhan yang Real dan absolut. Sebab Hick beranggapan pada saat sekarang manusia dalam beragama hanya sebatas sampai kepada yang Real relative. Dan maksud dari transformation religion-centredness adalah sama dengan konsepnya W. C. Smith, yaitu agama hanyalah sebagai komulatif tradisi yang tidak layak untuk mengakomodasi fenomena keagamaan yang selalu berubah-ubah, maka istilah agama harus ditinggalkan dan diganti menjadi iman dan kumpulan tradisi-tradisi. Dengan kata lain, bahwa pintu keselamatan bukanlah tunggal tetapi terdapat pada tiap tradisi dalam merespon Realitas ketuhanan yang mutlak dan absolut
Hick beranggapan juga bahwa Tuhan yang Real dan absolute dalam Islam adalah Al-Haq, kemudian dalam tradisi Hindu adanya Nirguna Brahman dan Saguna Brahman, dalam Yahudi Kabbala ada sebutan En Soph (Tuhan yang mutlak), dalam Kristen ada sebutan Godhead. Nama-nama tersebut dimaknai oleh sebagai Tuhan yang Real absolut atau Real an Sich atau the noumenal Real. Sedangkan Yahweh, Trinitas, Allah, Krisna, Wisnu, Syiwa dan yang lainnya itu menurut Hick adalah Tuhan Real relative atau the phenomenal Real. Dan kesalahan manusia pada saat sekarang hanya memahami Tuhan pada tingkat Tuhan yang phenomenal real, sehingga keselamatan hanya terdapat pada agamanya masing-masing.
Tetapi jika manusia bisa memahami pada tingkat Tuhan yang Real absolut atau Real an Sich atau the noumenal Real maka keselamatan terdapat pada setiap agama. Jika Tuhan yang selama ini adalah Tuhan Real relative maka siapakah yang memberikan larangan dan perintah, kemudian di tingkat Tuhan real relative perintah dan larangan tidak jelas, bagaimana manusia akan mencapai pada tingkat pemahaman Tuhan real absolute, dan inilah bentuk ketidak jelasan teori teologi global.
Kemudian Hick juga mengkritik, Agama yang masih berkeyakinan pada tingkat Tuhan Real relative atau the phenomenal Real berarti masih pada tingkatan teologi Ptolemaik . Agama yang yang masih berkeyakinan bahwa agama sebagai pusat keimanan. Dengan revolusi Copernicus berarti Tuhanlah yang menjadi pusat agama-agama. hal ini dijelaskan bahwa revolusi Copernican telah merubah dogma bahwa bumi adalah pusat dari alam tetapi mataharilh yang sesungguhnya yang berada pada pusat dari semua planet termasuk bumi kita yang bergerak mengelilinginnya.
Sebetulnya teori pluralisme teologi yang di tawarkan oleh John Hick adalah untuk menjawab fenomena problem teologi yang terjadi pada agama Kristen. Dalam agama Kristen terdapat Kristen katolik dengan doktrin diluar gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus), dalam protestan terdapat doktrin diluar Kristen tidak ada keselamatan (no salvation outside Christianity), dan juga terdapat Kristen ortodoks. Semua sekte yang terdapat Kristen mengkalim bahwa agama yang mereka yakini adalah yang paling benar, dan untuk mendamaikan diantara mereka dilahirkanlah ide tersebut yaitu pluralisme teologi. disetiap agama terdapat kebenaran, dan disetiap agama hanya menuju kepada Tuhan Real an sich yang absolute. Tetapi ide tersebut ditawarkan kepada masyarakat global sehingga agama tidak perlu memiliki batas-batas tertentu, sebab fenomena global tidak memiliki batas kultur atau batas geografis, maka pemahaman terhadap teologi agama harus dirubah, bukan pada praktek ritual ibadahnya, sebab ritual ibadah warisan dari orang-orang terdahulu dalam mengapresiasikan ibadah kepada Tuhan yang absolute. Inilah bentuk pluralisme teologi yang ditawarkan John Hick. Ajaran agama digiring pada posisi budaya dan tradisi bukan dari aturan Tuhan.
b. Transendent Unity of Religions
Aliran pluralisme yang kedua adalah transcendent unity of religion (kesatuan transcendent agama-agama). Kemunculannya berbeda dengan aliran yang pertama (global teologi). Aliran transcendent unity of religion muncul untuk menolak modernisasi atau globalisasi. Sebab menurut pemikiran modern, agama dianggap bisa berubah disesuaikan dengan sosial, lingkungan, budaya serta mengikuti perkembangan zaman. Padahal dalam Islam terdapat doktrin yang tetap (eklusif) berkenaan dengan teologi dan metafisika dan bisa berubah (inklusif) berkenaan dengan moral dan etika.
Kajian pendekatan yang dilakukan aliran ini berbeda dengan global teologi. Jika global teologi pendekatanya melalui sosiologis tapi pada transcendent unity of religion lebih kepada filosofis dan teologis. Aliran ini lebih mengedepankan kepada mempertahankan tradisi. Jika pada aliran global teologi tidak percaya bahwa Tuhan berbicara (berfirman) kepada manusia, tapi aliran transcendent unity of religion mempercayai bahwa Tuhan berbicara (berfirman) kepada manusia. Sehingga aliran ini juga mengakui kesakralan wahyu.
Pendekatan yang digunakan oleh aliran ini adalah melalui tradisi tradisional yang terdapat pada agama-agama. Salah satu konsep tradisi tradisional yang ada di agama-agama adalah konsep Sophia perrenis jika di agama Hindu disebut dengan Sanata Dharma, dalam agama Islam disebut dengan al-hikmah al-khalidah. Kajian dalam konsep tersebut adalah tentang hakekat esoteris esensi yang wujud dan hakekat-hakekat eksoterik yang beragam dari manifestasi yang transcendent.
Gagasan tentang transcendent unity of religion diusung oleh Frithjof Schuon. Gagasan ini berawal dari keyakinan Schuon tentang pengetahuan. Bagi dirinya bahwa intelek adalah pusat manusia yang berada dalam hati. (The "heart" means the Intellect and by extension the individual essence, the fundamental tendency, of man; in both senses it is the center of the human being) jadi kualifikasi antara intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral. Sebab jika tidak, maka intelektual tidak akan berfungsi tanpa spiritual. Hubungan diantara intelektual dan spiritual adalah saling keterkaitan dan tidak bisa saling dipisahkan hidup dalam kebenaran.
Menurut Schuon dimensi esoteris dan eksoteris yang berada dalam agama dapat diketahui melalui intelektual. Menurut teorinya adalah secara psikologis ego manusia terkait dengan badan (body), otak (brain) dan hati (heart). Jika badan diasosiasikan dengan eksistensi fisik, otak dengan fikiran (mind), maka hati (heart) dikaitkan dengan intelek. Jika dikaitkan dengan realitas, maka intelek dapat diasosiasikan dengan esensi Tuhan (yang satu) dan langit (alam yang menjadi model "archetype" dasar), sedang pikiran dan badan dibawah kendali yang berasal dari intelek.
Jadi kedudukan intelektual lebih tinggi dari pada rasio. Intelektual berdasarkan cahaya ketuhanan yang terhubung pada hubungan manusia dengan Tuhan kemudian teraplikasikan pada kehidupan manusia sebab intelektual adalah inkarnasi Tuhan pada manusia. Sedangkan ratio (akal) bekerja berdasarkan data-data. Ratio adalah media untuk menunjukkan jalan kepada orang buta, sedangkan intelek dapat menggunakan rasio untuk mendukung aktualisasinya. Intelek manusia terkadang bersifat ketuhanan dan pada sisi lain bersifat kemanusiaan. Hakekatnya hati merupakan pusat kehidupan manusia, dan manusia dapat memahami kebenaran melalui intuisi. Dari intuisi inilah manusia dapat mengetahui antara yang absolut dan yang relative, sedangkan Schuon berpendapat bahwa agama-agama bertemu pada level esoteris, esensi yang transcendent dan absolute.
Pemikiran Schuon diatas cenderung membenarkan semua agama. Pembenaran yang tak berdasarkan wahyu, tetapi pembenaran berdasarkan intelek. Sedangkan intelek bagi Schuon adalah inkarnasi Tuhan pada manusia. Jadi manusia dapat menempatkan benar dan salah berdasarkan intelek manusia. Padahal di dalam Islam benar dan salah selain dapat dilakukan oleh rasio tetapi berdasarkan wahyu.
Jika dalam beragama yang terpenting adalah mengakui esensi Tuhan di wilayah esoteris, maka setanpun percaya bahwa Tuhan adalah sebagai pencipta tapi setan tetap dikutuk oleh Allah, sebab tidak mau mengakui dan melaksanakan rububiyah Allah.
Jika agama-agama bertemu pada titik esoteris, sebagai konsekuen logisnya adalah agama-agama terbentuk dari yang absolute yang transcendent yaitu pada level esoteris. Agama-agama yang ada adalah bentuk dari manivestasi yang absolute sedangkan keberagaman adalah bentuk dari eksoterik atau hakekat yang relegius yang berasal dari manivestasi esotorik. Pada tingkat esotoris keabsolutan Tuhan. Dan apa yang dimanivestasikan Tuhan yang absolute tidak ada keabsolutan, yang ada hanyalah relative yang absolute.
C. Pengaruh Wacana Pluralisme Agama di Indonesia
Pengaruh globalisasasi memberikan pola baru pada agama-agama, dari globalisasi muncul dua aliran yang salah satunya ingin merubah doktrin agama sesuai perubahan zaman (menerima globalisasi) dan satu aliran lagi ingin mempertahankan agama pada posisinya (menolak globalisasi), tetapi kedua-duanya mengorbankan akidah (teologi) dari masing-masing agama. kedua pola tersebut terbentuk pada gagasan pluralisme agama. Kemudian wacana Pluralisme agama yang bergulir di Indonesia tidak lepas dari peranan para cendikiawan dan sarjanawan. Wacana pluralisme ini telah merubah realitas keberagaman agama-agama serta mempengaruhi teologi yang ada pada tiap agama-agama untuk dirubah. Contoh kasus adalah ungkapan Azyumardi Azra mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan bahwa Islam itu terdiri dari berbagai macam bentuk dan Islam itu bukan satu tetapi Islam adalah banyak macam dan alirannya.
Wacana pluralisme mengagetkan umat Islam dan umat agama lainnya. Padahal dari sejak kelahirannya bangsa ini (Indonesia) telah hidup bersama dengan keanekaragaman dengan semboyan Bhinneka Tunggal Eka saling bertoleransi antar umat beragama. Akan tetapi menurut kaum pluralis toleransi belum memberikan bukti nyata sehingga banyak pertikaian antar umat beragama disebabkan klaim kebenaran. Padahal kemunculan konflik antar umat beragama yang terjadi adalah disebabkan unsur sosial, politik dan ekonomi bukan masalah agama.
Alih-alih ingin mencari solusi pertikaian yang terjadi, kaum pluralis membawa wacana pluralisme agama dengan janji serta solusi yang bisa membawa kemaslahatan, tetapi ternyata kaum pluralis bukan membawa solusi penyelesaian pertikaian melainkan membawa paham pembenaran terhadap semua agama, dengan cara merubah teologi-teologi yang sudah ada. Penganut pluralis beranggapan bahwa teologi yang konvensional sudah tidak layak untuk diterapkan kembali di zaman yang telah terus berubah (globalisasi), baik batas-batas kultur, geografis, suku, budaya, agama dan lain sebagainya, maka agama-agama pun juga harus terbebas dari batas-batas yang memberikan sekat perbedaan antar agama dan antar umat baragama, dengan harapan tidak adanya saling klaim bahwa agamanya adalah paling benar. Disinilah tujuan utama dari pluralisme agama, yaitu; memberikan keragu-raguan terhadap umat beragama terhadap agama yang dipeluknya dengan tidak boleh mengklaim bahwa agamanya paling benar.
Wacana pluralisme agama telah ada dari sejak abad 18. jika dirunut kesejarahannya wacana ini muncul dari para filosof Barat yang memandang tentang ajaran agama. kemudian wacana ini sampai ke Indonesia melalui para sarjanawan dan cendekiawan yang belajar di Barat atau yang setuju dengan ide-ide Barat. Para sarjanawan Barat memandang agama sebagai objek kajian keilmuan, serta dalam penelitiannya pun harus seobjektif mungkin. Mereka mempelajari beberapa agama berdasarkan metode pendekatan sosiologis dan histories bukan secara normatif. Mereka balajar agama bukan untuk diamalkan tetapi, mereka belajar agama hanya sebagai kajian penelitian. Sehingga, agama Islam yang telah sempurna dianggap tidak/belum sempurna, seiring dengan perubahan zaman yang selalu berubah-ubah, sehingga Islam yang telah sempurna dan yang bersifat universal pun dianggap sebagai agama yang menyejarah dan harus bergabung dengan agama-agama lain untuk mencapai kesempurnaannya. Padahal didalam Islam terdapat yang pokok (usul) yang tak dapat dirubah sampai kapan pun, tetapi yang furu` bisa berubah-ubah sesuai dengan aturan-aturan yang mengaturnya.
Kemudian, wacana pluralisme agama tampak begitu ramai dibicarakan dimedia massa, workshop, kajian-kajian. Wacana ini juga mendapat tanggapan serius oleh MUI, sehingga MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005 mengeluarkan fatwa keharaman paham pluralisme agama. Fatwa haram pluralisme dikeluarkan MUI agar pemikiran ini tidak semakin mewabah pada umat. Sebab pluralisme agama mengajak kepada umat beragama untuk ragu terhadap agama-agama yang diyakininya. Keragu-raguan tersebut ditimbulkan karena pluralisme agama menanamkan paham relatifisme. Dari anggapan relatifitas tafsiran terhadap agama maka akan menghasilkan sesuatu yang lebih bahaya lagi, yaitu; aliran nihilisme kebenaran agama.
Dengan pluralisme agama, umat beragama digiring pada wilayah pemikiran yang meragukan, yaitu; menerima semua kebenaran agama, sebab semua agama sama derajatnya yaitu sama-sama benar. Menurut kaum pluralis, manusia adalah makluk relatif. Maka, tafsiran kebenaran agama yang dicapai bersifat relatif, tidak mutlak. Oleh karena itu tak seorangpun dapat memutlakkan pendapatnya dan mengklaim bahwa pendapatnya adalah kebenaran.
Pendapat hasil pemikiran/tafsiran manusia relatif diatas dijawab oleh Wan Mohd Nor Wan Daud. Menurut beliau, pendapat seperti itu adalah keliru, sepintas tampak logis dan indah. Padahal Allah menganugrahi akal manusia untuk berpikir, dan untuk sampai pada derajat keyakinan yang tentu saja pada level manusia, bukan pada level Tuhan. Dengan akal dan keyakinan itulah kita paham mana yang haq dan mana yang bathil. Sedangkan menurut Adian Husaini, manusia diperintahkan menyakini kebenaran yang mutlak, pada tataran manusia, bukan pada tataran Tuhan. Sebab itu tidak mungkin. Apakah kebenaran dengan K besar atau k kecil, yang terpenting adalah bahwa akal manusia bisa mencapai tahap kepastian dan keyakinan (`ilm).
Selain pluralisme mengajak kepada relatifisme, pluralisme bisa mengajak kepada nihilisme. Jika pada relatifisme semua agama adalah benar semua, maka nihilisme akan menafikan semua kebenaran agama atau bisa jadi tidak ada kebenaran dalam agama. Inilah sebenarnya pengaruh pluralisme, yaitu ingin menyingkirkan ajaran agama dari kehidupan masyarakat dengan menanamkan keragu-raguan. Sebab agama dianggap menjadi penghalang proses globalisasi dan demokrasi.
Wacana pluralisme agama di Indonesia tidak lepas dari peran cendekiawan muslim Indonesia yaitu Prof. Dr. Nurcholish Madjid, lewat idenya Islam inklusif, Islam dan Islam pluralis. Ide teologi Nurcholish Madjid Kemudian diikuti dan dimodifikasi oleh Budhy Munawar-Rachman menjadi teologi eksklusif, inklusif dan paralelis. Sikap Inklusif artinya agama-agama lain adalah bentuk implicit agama kita, artinya agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan pengikutnya sedangkan pluralis adalah agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama. Ide Islam inklusif yang dimiliki Nurcholish Madjid adalah mengikuti teologi yang dimiliki oleh Kristen. Inklusif Kristen muncul sejak berakhirnya Konsili Vatikan II (1962-1965), Katolik Roma melakukan perubahan konsep teologinya, dari (extra ecclesiam nulla salus) menjadi teologi inklusif.
Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap haormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang.
Masih dalam dokumen konsili Vatikan II tentang nostra aetate (pernyataan gereja dengan agama-agama lain) tentang agama Islam.
Gereja juga menghargai Umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepda Umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan allah juga yang ersifat rahasia, seperti dahulu Abraham – iman Islam dengan suka rela mengacu kepadanya – telah menyertakan diri kepada Allah.
Teologi inklusif Kristen ini kemudian dimodifikasi oleh Nurcholish Madjid menjadi teologi Islam inklusif, kemudian dipaparkan Nurcholish Madjid saat pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 21 Okober 1992. Beliau memberikan judul pidatonya "Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang". Dalam pidatonya tersebut beliau menggagas tentang Islam sebagai agama yang hanîf dan inklusif serta melancarkan kritik keras terhadap gejala fundamentalisme dan radikalisme agama. Untuk mendukung gagasan ide inklusifnya, Nurcholish Madjid mendefinisikan ulang makna Islam. Islam dalam pandangannya bukan hanya sebutan khusus bagi suatu agama, tetapi sebutan yang bisa dipakai semua agama. Agama yang pasrah terhadap Tuhan adalah bentuk dari Islam. Melalui gagasan tersebut, beliau memberikan sebuah definisi baru atas Islam. Dari definisi Islam yang beliau miliki maka agama apapun adalah bentuk dari Islam. Padahal Rasulullah telah mendefiniskan Islam itu adalah suatu agama yang nama agamanya diberikan langsung dari Allah dan Islam bukan nama khayalan manusia.
Pendefinisian ulang makna Islam oleh Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban;
Karena prinsip-prinsip itu maka semua agama yang benar pada hakekatnya adalah "al-islam", yakni, semuanya mengajarkan sikap pasrah kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Kitab Suci berulang kali kita dapati penegasan bahwa agama para nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad s.a.w. adalah semuannya al-islam karena inti semuannya adalah ajaran tentang sikap pasrah kepada Tuhan. Atas dasar inilah maka agama yang dibawa oleh nabi Muhammad disebut agama Islam, karena ia secara sadar dan dengan penuh deliberasi mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, sehingga agama Nabi Muhammad merupakan al-islam par excellence, namun bukan satu-satunya, dan tidak unik dalam arti berdiri sendiri, melainkan tampil dalam rangkaian dengan agama-agama al-islam yang lain, yang telah tampil terdahulu.
Dari pendefinisian ini, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa semua agama adalah sama. Kesamaan yang dimaksud oleh Nurcholish adalah pasrah terhadap Tuhan. Jadi agama apapun dengan menyembah Tuhan apapun jika mereka pasrah, maka agama tersebut dapat disebut Islam. Disini Nurcholish Madjid dalam memaknai Islam menggunakan pemikiran tekstualis, padahal pemikiran tektualis menjadi musuh beliau. Jika makna Islam adalah kepasrahan, bagaimana Nurcholish Madjid akan memaknai hadis nabi tentang rukun Islam, Padahal dalam hadis tersebut sangat jelas makna Islam adalah nama suatu agama.
Dari pendapat Nurcholish Madjid diatas, beliau terlihat keberatan bahwa Islam sebagai nama dari sebuah agama sehingga harus didefinisikan ulang. Padahal istilah Islam bukan dari sahabat atau ulama, melainkan pemberian langsung oleh Allah melalui wahyu. Selain keberatan terhadap istilah Islam sebagai Agama Nurcholish Madjid juga Islam itu juga bermacam-macam dan Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad adalah Islam par excellence (terbaik). Padahal sejak nabi Adam As sampai nabi Muhammad Islam itu adalah satu yaitu menyembah dan pasrah kepada Allah. Islam adalah agama tauhid walaupun syariat yang diberikan Allah berbeda. Jika pada zaman sebelum nabi Muhammad para nabi diutus hanya kepada kaumnya tetapi pada saat nabi Muhammad, dakwah nabi lebih universal dan inilah kesempurnaan Islam.
Membaca gagasan ide Nurcholish Madjid tentang pendefinisian ulang Islam telah menyesatkan. Ide tersebut tidak berdasarkan Al-Quran atau As-Sunnah dan sangat jelasa beliau hanya mengandalkan akalnya. Dan ide tersebut untuk mendukung pluralisme agama. Gagasan penyamaan semua agama (bahwa segala agama yang tunduk terhadap Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Islam) merupakan penanaman kerelativitasan agama. dan ini berarti semua agama adalah relative sebab manusia adalah sifatnya relative, maka kebenaran agama adalah relatif. Selain Nurcholish Madjid, banyak para cendekiawan yang beranggapan bahwa pluralisme sangat diperlukan dalam mejaga keharmonisan antar agama dan antar umat beragama. Diantara para cendekiawan yang perlunya umat beragama sadar terhadap pluralisme agama adalah:
1. Prof Dr Dawam Rahardjo, "kebenaran tidak bisa dimonopoli oleh satu pihak, melainkan tersebar di banyak tempat. Setiap orang dan kelompok memiliki hak atas klaim kebenaran. Kebenaran tidak tunggal, tetapi banyak.
2. Dr. Alwi Shihab, "Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keAgamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengertian lain, eksklusivisme keAgamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab al Quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya."
Pengaruh yang lain adalah munculnya beberapa aliran-aliran sesat yang tumbuh subur di Indonesia. Seperti Ahmadiyah, Lia Eden, bahkan mereka meminta kepada pemerintah untuk dapat diakui tumbuh di negeri ini. Agar dapat di terima di masyarakat Indonesia. mereka (aliran-aliran sesat dan kaum pluralis) berusaha untuk mencabut undang-undang No. 1 Tahun 1965 tentang Larangan Penodaan Agama. Dengan alasan tidak sesuai dengan UUD 1945 dan falsafah bangsa Indonesia (Pancasila). Tetapi Mahkamah Konstitusi menolaknya.
D. Tipologi Pluralisme Agama Di Indonesia
Tipologi pluralisme di Indonesia adalah bentuknya modifikasi. Beberapa mengambil sebagian aliran global teologi dan sebagian mengambil dari Transendent Unity of Religions. Dan kedua aliran tersebut bertujuan sama, yaitu; keberadaan agama-agama sama derajatnya. Tetapi aliran yang diminati oleh kaum pluralis Indonesia adalah aliran transendent unity of religions. Sebab wacana agama Indonesia banyak dilatar belakangi oleh konflik sosial dari pada konflik teologi.
1. Pluralisme Basis Relativisme
Kebenaran dogma menjadi salah satu perbincangan dalam masalah pluralisme agama. Truth claim terhadap dogma agama yang dipeluk para penganut agama-agama seakan mengusik kaum pluralis, sehingga kaum pluralis menganjurkan kepada pemeluk agama untuk menganut paham ini. Tetapi kaum pluralis sendiri memaknai pluralisme masih dalam perdebatan.
Pluralisme yang ada di Indonesia memiliki beberapa tipe, pada satu sisi mengandung nilai-nilai toleransi, pada sisi yang lain mengandung nilai relativisme bahkan, sampai pada tingkat nihilisme. Doktrin relativisme beramula dari Protagoras sorang sofis yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things). Doktrin relativisme hanya mengandalkan akal manusia maknanya agama hanyalah tradisi. Agama tidak layak dijadikan patokan/standarisasi nilai-nilai kebenaran yang absolute. Kaum relativis berkeyakinan yang absolute hanya Tuhan, jadi kebenaran agama hasil tafsiran manusia adalah relative dan tidak absolut.
Agama (Tuhan) memiliki keabsolutan kebenaran dan dan jika agama memasuki akal manusia, maka wahyu tersebut akan menjadi pemikiran keagamaan, maka pemikiran tersebut (representasi manusia tentang agama) adalah relatif sebab manusia sifatnya relatif.
"Disamping itu, ternyata kita juga menyaksikan bagaimana penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian upaya mempersamakan dan mempersatukan dibawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontradiktif. Pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sehari-hari."
Padahal dalam agama Islam keabsolutan itu bisa sampai tingkat manusia, sebab manusia di bekali wahyu, akal, rasul atau khabar shadiq. Dan akidah adalah bagian dari khabar shadiq yang diriwayatkan rasulullah kepada sahabat-sahabatnya dan turun kepada ulama-ulama. Bisa kita bayangkan jika di dunia ini semua relatif, maka hadis nabi yang menganjurkan untuk mencegah kemungkaran tidak akan berlaku lagi, sebab semua relatif, baik dan buruk standarnya akal manusia.
Pluralisme berkaitan erat dengan relativisme kebenaran, sedangkan relativisme memandang, bahwa semua keyakinan keagamaan, idiologi, dan pemikiran filosofis, sama-sama mengandung kebenaran dan memiliki posisi yang sederajat. Jadi tidak ada kebenaran yang mutlak yang dapat ditemukan dalam suatu agama karena memiliki kapasitas yang sama.
Pluralis-relativisme adalah gagasan yang menekankan, bahwa perbedaan dan kemajemukan adalah prinsip yang tertinggi. Pemahaman pluralisme mengharuskan manusia menghormati semua bentuk keanekaragaman dan perbedaan, dengan menerima hal tersebut adalah bentuk dari menerima realitas yang sebenarnya. Dalam sikap seorang pluralis bukan hanya berhenti pada pluralitas, tetapi menurut Nurcholish Madjid dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban menyatakan bahwa sikap menerima pluralitas dengan sikap menerima pluralisme.
"….kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam Kitab Suci disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai-(Q., 49:13), maka pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu system nilai yang memandang secara positif-opimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan itu...."
Maka dalam konteks ini Nurcholish Madjid mengajak umat Islam menerapkan prinsip kenisbian kedalam. Prinsip untuk melepas klaim kemutlakan kebenaran, sehingga persaudaraan dapat dibangun antar umat manusia. Melalui semangat persaudaraan diharapkan dapat mengubah perbedaan-perbedaan sehingga dapat menjadi sumber positif dalam berlomba-lomba menuju kebaikan. Kemudian, melalui persaudaraan sikap saling menghormati akan tumbuh sehingga menghargai perbedaan antar umat dalam kehidupan masyarakat akan terwujud, sebab perbedaan antar umat beragama adalah hanya terletak pada ritual keagamaan dalam mengekspresikan patuh dan tunduk kepada Allah Yang Maha Pencipta.
Hal ini juga sesuai dengan pernyataan dari Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, menyatakan, ”sekali pemahaman akan wahyu memasuki akal manusia, siapa pun manusia itu, ia akan memasuki wilayah kenisbian. Tidak boleh diklaim sebagai suatu kebenaran. Akal manusia tidak akan sampai mengetahui hakekat kebenaran. Sehingga, konsekwensinya juga tidak bisa mengetahui hakekat kebatilan. Akhirnya tidak boleh mengatakan bahwa apa yang diyakini oleh seseorang benar atau batil. Begitu juga keyakinan Ahmadiyah tidak bisa dikatakan sesat atau batil.
Menurut Syamsul Hidayat Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, pernyataan Ahmad Syafii Maarif akan sangat menyiksa manusia dan menjadikan kekacauan kehidupan manusia, sebab tidak ada kejelasan antara benar dan salah, ma`ruf dan mungkar, tauhid dan syirik, kesesatan dan petunjuk. Padahal banyak ayat-ayat al-Quran dan al-Sunnah yang menjelasankan tentang kriteria al-Haq dan al-Bathil, tauhid dan syirik, baik dan buruk. Kemudian Syamsul Hidayat mengatakan Kesadaran akan relativitas akal, justru agar akal tunduk kepada mutlak kebenaran wahyu yang disajikan secara jelas oleh Al-Quran dan Sunnah kepada akal manusia. Artinya relativitas akal tetap disertai dengan kapasitas untuk mencapai kebenaran dan kebatilan secara pasti, serta tunduk kepada ketentuan wahyu. Jika umat Islam sudah tidak lagi percaya kepada kriteria tauhid, syirik, atau umat agama yang lain tidak percaya terhadap baik, buruk, benar salah, petunjuk dan kesesatan dan lain sebagainya yang disebutkan dalam al-Quran dan al-Sunnah atau dalam agama selain Islam di kitabnya masing-masing yang dianggap menjadi panduan ajaran agama, padahal dua kitab al-Quran dan al-Sunnah sebagai pedoman umat Islam, kemudian tidak dianggap benar, kalau begitu apalagi yang bisa dijadikan pedoman?
Kaum pluralis yakin bahwa agama-agama adalah bentuk jalan menuju Tuhan. Menurut Budhy Munawar Rachman, jalan menuju Tuhan itu adalah satu, tetapi jalurnya banyak, atau jalur menuju keselamatan adalah memang banyak dan Tuhan memanivestasikan dalam bentuk yang beraneka ragam dan bukan hanya pada satu jalan. Beliau juga mengutip ayat al Quran surat Al-Hujurat [49]:10. menurut beliau ayat ini menerangkan tentang perintah Allah untuk saling kompromi, saling take and give, dan tak ada yang boleh mengklaim sebagai yang paling benar. Pluralisme, masih menurut Budhy Munawar Rachman, tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam tetapi pluralisme harus disikapi dengan teologia religionum (teologi agama-agama) dengan tujuan memasuki dialog antaragama. Kemudian Budhy Munawar Rachman dalam bukunya Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman menjelaskan, bahwa pendekatan terhadap agama-agama adalah melalui tiga jalur yaitu dengan sikap eksklusif, inklusif dan paralelis.
Argumentasi pluralisme memakai Al-Hujurat [49]:10 untuk persatuan persaudaraan lintas agama adalah penafsiran yang penuh hawa nafsu. Padahal dalam Ali `imran ayat 19 sangat jelas, bahwa jalan menuju Allah hanyalah Islam. Bagi yang tidak melaksanakan keislaman berarti kafir. Islam secara teologis bersifat eksklusif sedangkan dalam bermuamalat, bersosialisasi dengan masyarakat adalah inklusif. Tidak ada larangan untuk menjalin hubungan dengan masyarakat selama tidak merugikan. Sebab nabi juga bersosialisasi dengan masyarakat non muslim.
Makna pluralis dan pluralisme kaum pluralis selalu meyamakan. Senada pengkaburan tersebut Alwi Shihab juga berpendapat, Berbicara pluralisme artinya bukan satu, tetapi plural, banyak. Dan banyak itu artinya berbeda, karena tidak ada yang sama. Maka kita harus bisa menghargai pendapat orang lain, kemudian juga beliau berpendapat bahwa pluralisme itu respect terhadap pendapat orang lain dan tidak memaksakan kehendak kelompok yang berbeda dengan kita tapi yang seharusnya adalah saling interaksi dengan baik saling menghormati khususnya idiologi agar terciptanya afinitas (daya gabung/hubungan erat) akan tetapi kalimat ini sangat kontradiksi dengan kalimat berikutnya. Alwi Shihab diakhir tulisannya menulis. "....nilai-nilai pluralisme dalam Islam itu sangat kental, maka kita harus mengembangkan nilai-nili pluralisme ini untuk menghormati pendapat orang lain dan tidak memaksakan pendapat kita...." sebetulnya pada kalimat "maka kita harus mengembangkan nilai-nilai pluralisme" adalah merupakan kalimat untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Kemudian juga Alwi Shihab juga menulis "Mari kita kembangkan budaya ini, dan saya kira dari dulu dan akan berlanjut terus, bahwa salah satu nilai penting dalam NU adalah inklusifisme" kalimat ini sebenarnya bentuk kalimat yang tidak toleran terhadap orang-orang yang mempertahankan eksklusifisme, padahal dalam Islam tidak terdapat istilah tersebut. Teology Islam adalah eksklusif sekaligus inklusif dalam kehidupan sosial.
2. Pluralisme Berbasis Nihilisme
Tipe pluralisme basis nihilisme adalah bahwa jika semua agama adalah sama benar maka logika terbaliknya adalah tidak ada kebenaran dalam semua agama. Sehingga Ludwig Feuerbach menunjukkan esensi agama terletak pada manusia sehingga Feuerbach memaknai agama hanyalah gambaran akan keinginan manusia yang tak terbatas, yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri dan tidak lebih dari proyeksi hakikat manusia.
Agama itu hanya merupakan perwujudan cita- cita: “Ilusi religius yang terdiri dari suatu objek bersifat imanen pada pikiran kita menjadi lahiriah, mewujudkannya, mempersonifikasikannya. ”Atribut- atribut Ilahi merupakan perwujudan dari predikat- predikat manusiawi, yang tidak sesuai dengan individu manusia sebagai individu, Allah yang kekal, itulah akal budi manusia dengan coraknya yang bersifat mutlak yang sekali lagi merupakan hasil proyeksi manusia. Agama merupakan kesadaran yang tidak terhingga.
Jadi Tuhan tidak lebih daripada manusia: dengan kata lain, ia adalah proyeksi luar dari hakikat batin manusia sendiri. Bisa juga dikatakan bahwa Tuhan ada dalam tiap manusia, dan manusia adalah bentuk luar dari Tuhan. Tuhan bukan lagi Zat Yang Mahakuasa tapi merupakan akal kolektif manusia. Sarana komunikasi Tuhan bukan memlalui wahyu melainkan dalam bahasa nasional. Manusia tidak butuh dengan Tuhan (Zat Yang Mahakuasa) sebab manusia dapat menyelesaikan masalah dunia tanpa dengan Tuhan. Jika demikian berarti manusia tidak butuh agama, sebab manusia adalah proyeksi atau gambaran Tuhan itu sendiri. Jika manusia adalah Tuhan apa fungsi agama bagi manusia? Sehingga demikian manusia tidak butuh agama. Dan agama-agama yang ada hanyalah aturan-aturan yang tidak bermakna.
Selain Feuerbach dengan ateisme antropologisnya maka Karl Marx dengan ateisme sosio-politis bahwa agama itu candu bagi masyarakat (religion is the opium of the people). Pendapat Marx ini adalah menerangkan bahwa dengan adanya agama maka struktur masyarakat tidak sehat. Agama menurut Marx adalah hanya khayalan membuat manusia terlena. Agama bagaikan eskapisme untuk keluar dari dunia nyata ke dunia khayalan. Agama singkatnya adalah sesuatu yang tidak riil.
Pada tipe ini menyatakan bahwa, kebenaran sejatinya tidak ada, sebab dari pemahaman tentang kebenaran adalah sama benarnya. Karena kebenaran sama benarnya atau bisa jadi semua kebenaran adalah sama salahnya, itu berarti kebenaran itu tidak ada. Selain itu juga kaum pluralis menganggap bahwa toleransi jika tidak dibarengi dengan sikap pluralisme itu bukanlah sikap toleransi sejati. Seorang pluralis sejati memaknai pluralisme dengan kesamaan dan kesetaraan dalam segala hal, termasuk beragama. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Kaum pluralis juga beranggapan bahwa umat beragama jika tidak mengaplikasikan pluralisme dalam keagamaanya berarti toleran atau intoleran terhadap pemeluk agama yang lain.
Kaum pluralis juga berusaha untuk menghilangkan otoritatif teolog, ulama dan lain sebagainya, sebab mereka beranggapan akal kolektif manusia yang berhak untuk memaknai sesuatu. Hal ini sesuai dengan pendapat Musdah Mulia disaat di wawancarai oleh Najwa Shihab di Metro TV 21 April 2010. Menurut Musdah Mulia bahwa yang berhak menafsirkan dan mendefinisikan agama adalah elemen masyarakat dan kesepakatan bersama, kemudian juga Musdah beranggapan bahwa Islam harus sesuai dengan Pacasila, UUD 1945, Prinsip NKRI dan prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika sebab Islam berada di Indonesia. Dari ungkapan beliau ini jelas bahwa nilai-nilai agama direduksi menjadi nilai kebangsaan, nilai-nilai agama diganti dengan kesepakatan bersama.
3. Pluralisme Basis Theosofis
Theosofis merupakan organisasi aliran kebatinan, wadah studi, dan pemahaman mengenai kebijaksanaan Ilahi yang tersirat di alam raya ini. Menurut Artawijaya yang menulis Gerakan Theosofi di Indonesia, bahwa antara Freemasonry dan theosofi adalah satu tujuan dan hanya beda nama. Inti ajaran dari theosofi adalah agama apapun selama menjunjung tinggi kemanusiaan dan menebarkan kebajikan adalah pada hakekatnya sama. Tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kebenaran. Inilah ajaran teosofi dalam memandang agama.
Bahkan dalam lambang theosofi terdapat motto organisasi yang berbunyi, "There is no Relegion Higher Than Truth", atau dalam bahasa sangsekerta, "Satyan Nasti Paroh Darma" yang berarti "Tidak ada agama yang lebih tinggi daripada Kebenaran" dari motto organisasi ini bermakna masing-masing agama tidak bisa mengklaim bahwa agamanyalah yang mutlak benar (absolute truth claims). Karena menurut mereka kebenaran tidak berbentuk tunggal dan kebenaran terdapat dalam agama-agama selama menjalankan kebaikan dan kebenaran. Dan inilah yang menjadi dasar para penggiat pluralisme agama di Indonesia. menurut kaum theosof bahwa setiap kehidupan dan makhluk di alam ini ada zat Tuhan yang menyatu serta alam dan seisinya bukanlah diciptkan melaikan terpancar dari zat Tuhan. Jadi dari tiap individu manusia memiliki zat Tuhan yang bersemayam dalam hati dan jantung manusia.
Gerakan theosofi yang dirumuskan Dr. Anie Besant salah satunya adalah Membentuk suatu inti persaudaraan universal kemanusiaan, tanpa membeda-bedakan ras (bangsa), kepercayaan, jenis kelamin, kasta atau warna kulit. Kata-kata ini seakan indah tetapi memiliki tujuan yang berbeda. Padahal dalam Islam persaudaraan berdasarkan keimanan, dan ditegaskan kembali dalam QS Al-Mujadalah: 22.
Diantara sarjana Muslim Indonesia yang terpengaruh dengan ide-ide Theosofi adalah Komarudin Hidayat. Disalah satu karyanya beliau menulis:
"Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkus yang berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalahpahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul ke permukaan. Pada tahap ini, agama muncul dengan ragam wajah dan ragam bahasa sementara kita cenderung melihat perbedaannya ketimbang persamaanya."
Jika dicermati kalimat diatas, bahwa Komaruddin Hidayat meyakini bahwa kebenaran dapat ditemukan pada setiap agama. Keberagaman agama-agama hanyalah bentuk bungkus, kulit luar dan tradisi yang berbeda dari tiap agama-agama, akan tetapi isi ajaran agama adalah sama. Kemudian masih dalam buku yang sama, Komaruddin mengatakan, "secara empiris adalah suatu kemustahilan jika kita mengidealisasikan munculnya kebenaran tunggal yang tampil dengan format dan bungkus tunggal, lalu di tangkap oleh manusia dengan pemahaman serta keyakinan yang seragam dan tunggal pula." Di sinilah Komaruddin menyangsikan akan adanya sebuak kebenaran dalam bentuk tunggal. Keberagaman tersebut merupakan kebenaran. Dan kebenaran terdapat pada tiap-tiap sesuatu yang tidak tunggal. Dan ini berarti beliau meragukan kebenaran agama Islam dan kesempurnaan ajaran.
Selain Komaruddin Hidayat adalah Zuhairi Misrawi Intelektual Muda NU dan Ketua Moderate Muslim Society. Dalam tulisannya di Kompas mengatakan:
Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.
Disini Zuhairi Misrawi mengajak untuk sadar terhadap perbedaan dan keragaman merupakan fitrah manusia. Disinilah kerancuannya, yaitu Zuhairi sendiri tidak sadar bahwa, yang menjadi fitrah adalah pluralitas bukan pluralisme. Disinilah terjadi pengkaburan makna antara pluralisme dan pluralitas. Kemudian Zuhairi juga menulis.
Fatwa keagamaan berupa penyesatan dan pengharaman terhadap kelompok minoritas dalam intra-agama sepanjang tahun 2009 juga menjadi tantangan serius. Fatwa tersebut dapat digunakan untuk melakukan tindakan hukum yang dapat dianggap sebagai diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kelompok minoritas. Fatwa tersebut kerap kali dijadikan sebagai landasan untuk melarang kegiatan dan memejahijaukan mereka dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama. Di samping itu, kelompok minoritas harus mendapatkan perlakukan tidak manusiawi oleh sekelompok masyarakat yang tidak beridentitas, baik penyerangan maupun pengusiran.
Disini tampak jelas bahwa Zuhairi menolak fatwa MUI terhadap Ahmadiyah, Lia Eden atau aliran-aliran sesat yang lainnya, bahkan Zuhairi mendukung keberadaannya. Sebab pemikiran Zuhairi lahir dari keyakinannya bahwa tidak ada truth claim. Masing-masing orang bebas mengekpresikan keyakinannya dalam beragama. Setiap individu memiliki pendapat akan kebenaran. Hal ini searah dengan ajaran theosofi yang mengajarkan bahwa manusia sejati adalah kebenaran dan kebenaran menurut theosofi tidak dapat dimonopoli. Setiap orang mempunyai kebenaran dan kenyataan sendiri.
4. Pluralisme Bukan Toleransi
Jika pluralisme ini dianggap sebagai cara bertoleransi terhadap penganut agama lain, maka Diana L. Eck membantah pendapat tersebut dalam tulisannya What is Pluralisme," Nieman Reports God in the Newsroom Issue" bahwa pluralisme tidak hanya bermakna toleransi, tetapi merupakan pencarian secara aktif guna memahami aneka perbedaan (the encounter of commitments) alias mengharapkan kesamaan dalam agama-agama. Hal ini juga senada dengan Syafi`i Anwar Direktur International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) mengatakan bahwa "Pluralisme itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Selain itu, yang terpenting, bukan sekadar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi manusia," selain itu juga masih menurut Syafi`i Anwar, Konsep pluralisme yang tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada penghormatan (respect) kepada yang lain (the others),
Dalam konsep Islam mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, tetapi tidak sampai pada tingkat pembenaran terhadap teologinya. Islam tetap mengakui kesalahan teologi agama yang lain bahkan sampai tingkat mengoreksi, tetapi Islam juga tidak memaksakan mereka untuk untuk masuk Islam. Islam juga membiarkan agama selain Islam untuk melaksanakan ritual agamanya, selama tidak mengganggu agama Islam. Ini berarti Islam tidak mentolerir persamaan agama (lakum dinukum wa liyadin).
Daftar pustaka
Al Qurtuby, Sumanto., Lubang Hitam Agama, (Yogyakarta: Rumah Kata, 2005).
Arif, Syamsyuddin., Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008)
Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010)
Aslan, Adnan., Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, (terj) Munir, ( Bandung: Alifya, 2004)
Baso, Ahmad dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Kerjasama Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005)
Beyer, Peter, Religion and Globalization (London: Sage Publications, 1994)
Biyanto., Pluralisme Keagamaan dalam perdebatan Pandangan Kaum Muda Muhamadiyah, (Malang: UMMPRESS, 2009)
Budiman, Arief., dalam Dialog Kritik dan Identitas Agama, Seri Dian I/Tahun I (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993)
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural. (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Cholil, Suhadi (ed), Resonansi Dialog Agama dan Budaya, (Yogyakarta: CRCS (Centre for Religious & Cross-cultural Studies) 2008)
Dokumen Konsili Vatikan II (terj) R. Hardawiryana, SJ, (Jakarta: Obor 1993),
Ghazali, Abd Ghazali., Argumen Pluralisme Agama, (Depok: KataKita, 2009)
Hick, John dan Bebblethwaite, Brian (eds.), Christianity and Other Religions (Glasgow: Fount Paperbacks, 1980)
Hick, John., Dialogues in The Philosophy of Religion, (Palgrave Macmillan, 2001)
Hick, John., God and the Universe of Faiths, (Oxford: Oneworld, [1973] 1993)
Hick, John., God Has Many Name (terjemahan) Amin Ma`ruf dan Elga Sarapung, (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2006)
Hick, John., God Has Many Names, (Philadelphia, The Westminster Press, 1980),
Hick, John., Philosophy of religion, (Prentice Hall, 1990) hal.117,
Hidayat, Komaruddin dan Nafis, Muhamad Wahyu., Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, ( Jakarta: Gramedia, 2003)
Husaini, Adian dan Hidayat, Nuaim., Islam Liberal Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabanya, (Jakarta: Gema Insani, 2002)
Husaini, Adian., Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani, 2006)
Husaini, Adian., Pluralisme Agama Parasit Bagi Agama-Agama, (Jakarta: Media Da`wah, 2006)
Husaini, Adian., Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta: Gema Insani , 2005)
Husaini, Adian., Liberalisasi Islam di Indonesia, makalah disampaikan dalam acara Rakorda Majelis Ulama se-Jawa dan Lampung di Serang-Banten 11 Agustus 2009
Ikhsan, Muh., Pengaruh Globalisasi Terhadap Krisis Identitas Muslim, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2006)
Islmail, Faisal., Sekulerisasi Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid, (Yogyakarta: Pessantren Nawasea, 2008)
Lagenhausen, Muhammad., (terj) Arif Muladi, Satu Agama atau Banyak agama, (Jakarta: Lentera, 2002)
Madjid, Nurcholish Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995)
Madjid, Nurcholish., Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000)
Madjid, Nurcholish., Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992) cet. Ke-IV tahun 2000
Mulkhan, Abdul Munir., Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002)
Mulkhan, Abdul Munir., Satu Tuhan Beribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007)
Munawar-Rahman, Budhy., Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004)
Naim, Ngainun dan Sauqi, Ahmad., Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008)
Nasr, Sayyed Hosen., Knowledge and the Sacred, (Albany: State University of New York Press, 1981)
Nasr, Sayyed Hossein., Knowledge and The Sacred, (Albany: State University of New York, 1989)
Philip J. Adler, World Civilizations, (Belmont: Wasworth, 2000)
Qodir, Zuly., Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (Edisi Revisi) 2007)
Qodir, Zuly., Muhamadiyah dan Pluralisme Agama," dalam Pluralisme dan Liberalisme: Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah, (ed.) Imron Nasri (Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005)
Rasyid, Daud., Pembaharuan Islam & Orientalisme dalam Sorotan, (Bandung: Syaamil, 2006)
Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahuddin Ahmad, (terj) Rudy Alam, 5 Tantangan Abadi Terhadap Agama dan Jawaban Islam Terhadapnya, (Bandung: Mizan, 2008)
Schoun, Frithjof., Spiritual Perpectives and Human Facts: A New Translation with Selected Letters (Indiana: World Wisdom , 2007)
Schuon, Frithjof James S. Cutsinger, Gnosis: Divine wisdom: A New Translation With Selected Letters, (Indiana: World Wisdom, 2006), hal., 76-80
Shihab, Alwi., Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997)
Soedarmo, R., Kamus istilah teologi, Gunung Mulia, 1994
Subkhan, Imam., Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, (Yogyakarta: Kanisius, 2007)
Sunardi, St. Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993).
Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005)
Thoha, Anis Malik., Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis., (Jakarta: Perspektif 2005),
Ujan, Andre Ata, dkk., Mutlikulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan, ( Jakarta: Indeks, 2009)
Wahid, Abdurrahman., Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: Lkis, 1999)
Waters, Malkom, Globalization, (London: Routledge, 1995)
Zarkasyi, Hamid Fahmy., Paham Pluralisme Agama, Makalah disampaikan pada Acara Training Da'i tetang Aqidah dan Pemikiran Islam, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, di Cilegon Banten, pada Ahad, tanggal 27 Mei 2007.
Zarkasyi, Hamid Fahmy., Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo, Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007)
http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/18/konsep-proyeksi-sang-filsuf-ateis-ludwig-feuerbach/
http://islamlib.com/id/artikel/membedah-pluralisme-cak-nur/
http://no-liberal.blogspot.com/
http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php
http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php
http://ponpes-almukhtar.blogspot.com
http://www.arrahmah.com/index.php/blog/read/1376/liberalisasi-islam-di-indonesia
http://www.asiafoundation.org/Location/indonesia.html
http://www.duniaesai.com/filsafat/fil11.html http://www.gaulislam.com/jangan-memberhalakan-multikulturalisme
http://www.sabda.org/biokristi/schleiermacher
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/26/op01.html
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/26/opi01.html
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/syafii-anwar/berita/01.shtml
www.frithjof-schuon.com
www.hidayatullah.com
www.islamlib.com
http://cetak.kompas.com
Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat Vol. V No. 1 Juli-Desember 2008
Islamia Jurnal Pemikiran Islam Republika 14 Januari 2010
Majalah Pemikiran dan Peradaban Islamia, tahun I NO.4/Januari-Maret 2005
Majalah Pemikiran dan Peradaban Islamia, Tahun I Nomor 3, terbit Septembar-Oktober 2004
Koran Kompas, 2002
Koran KOMPAS, 2001