Selasa, 20 Juli 2010

Tradisi Rihlah Ilmiah

Oleh: Lilik Mursito
(Alumni PKU III ISID utusan Ma'had 'Aly An-Nur)

Tradisi warisan

Ilmu memiliki kedudukan yang sangat urgen dalam islam. Terbukti dalam firman Allah Ta'ala yang artinya, " Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19). Terinspirasi dari ayat yang mulia ini, Imam Al-Bukhari memberi judul salah satu bab dalam bukunya“Shahihul Bukhari" dengan “Al-’Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali”, Ilmu itu sebelum berkata dan beramal. Dan masih banyak bukti-bukti yang lain.

Sehubungan dengan begitu urgennya ilmu, ada satu tradisi keilmuan dalam islam yang telah turun temurun diwarisi, yaitu rihlah ilmiyah. Kata Rihlah berasal dari akar kata rahila- yarhilu- rohlan- rahiilan- tarhaalan- rihlatan yang berarti meninggalkan atau berpindah dari suatu tempat. Ibnu mandzur berkata Ia adalah kata benda dari kata kerja irtahala yang berarti berpindah dari suatu tempat ketempat lain. Sedangkan kata ilmiyah berasal dari akar kata ‘alima- ya’lamu yang berarti mengetahui, dan ia adalah bentuk mashdar shina’iyy.

Secara umum, praktik rihlah ini telah diaplikasikan secara luas oleh para salaf yang hidup pada masa Islam klasik. Rihlah itu sendiri pernah dilakukan para shahabat dalam mencari kebenaran, sebagaimana yang termaktub dalam riwayat yang menerangkan tentang keislaman Salam Al Farisi dan Abu Dzar Radhiyallahu 'Anhuma.

Teladan dalam rihlah ilmiyah

Guna melihat dinamika intelektual dalam dunia islam, dan lebih spesifik lagi yang berkaitan dengan rihlah ilmiyah, berikut kami sebutkan beberapa kisah perjalanan para pendahulu kita dalam menuntut ilmu. Sehingga tidak sedikit diantara mereka ada yang berhasil menelurkan karya-karya ilmiyah yang sangat menakjubkan.

Diriwayatkan dari Katsir bin Qois, dia berkata, "ketika aku duduk bersama Abu Darda di masjid Damaskus, ada seorang laki-laki yang mendatanginya lalu berkata, "Wahai Abu darda, aku berasal dari kota Rasul Saw karena telah sampai padaku bahwa ada satu hadits yang anda katakan berasal dari Rasulullah Saw, kemudian Abu Darda berkata, "apakah kedatanganmu ada tujuan lain? Untuk berdagang misalnya? Ataukah hanya untuk hadits ini?, laki-laki itu menjawab, "iya (aku datang karena hadits ini)", lalu Abu Darda berkata, "aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, "barang siapa yang menapaki perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mempermudah jalannya menuju Jannah,....".

Imam Bukhori berkata, "Jabir bin Abdulah menempuh perjalanan selama 1 bulan untuk menemui Abdulah bin Unais hanya karena satu hadits saja", begitu juga halnya dengan Abu Ayub Al Anshori yang bersafar dari Madinah ke Mesir guna meriwayatkan hadits dari Uqbah bin Nafi', sesampainya disana beliau turun dari hewan tunggangannya, namun belum sempat beliau istirahat kemudian mendengarkan hadits dari Uqbah, lalu menaiki kembali tunggangannya dan kembali ke Madinah".

Al- Bukhari

Beliau adalah Abu ‘Abdillah Isma’il bin Ibrahim al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi, lahir di Bukhara pada hari Jumat bulan Sya'ban tahun 194 H. Sejak kecil beliau telah mulai belajar, Muhammad bin Hatim menceritakan bahwa Bukhari pernah berkata,"aku mendapat ilham menghafal hadis sedangkan aku masih belajar di kuttab, lalu ditanya kepadanya berapa usiamu ketika itu? Bukhari menjawab sepuluh tahun atau mungkin juga kurang dari sepuluh tahun". Pada umur 16 tahun beliau hafal kitab karya bin al-Mubarak dan Waki’ dan dapat memahami ucapan-ucapan mazhab ra’yi.

Al-Bukhari mulai mendengar hadis dari Muhammad bin Salam dan Muhammad bin Yusuf al-Baikandidyyin dan selainnya. Selanjutnya ia meneruskan pendidikannya di Mekkah sambil menunaikan ibadah Haji dan mendengar hadis dari al- Humaidi dan selainnya. Kemudian ia pergi ke Madinah dan mendengar hadis dari ‘Abd al-‘Aziz al-Awiisi, Mutharrif bin ‘Abdillah dan selainnya. Selain di dua kota Haram (Makkah dan Madinah), Bukhari melanjutkan perlajanan ilmiahnya untuk mencari para ahli hadis di berbagai negeri seperti di Khurasan, Syam, Mesir dan beberapa kota di Iraq, beliau juga berulangkali mendatangkan Baghdad dan membaur dengan penduduk yang ada di sana sehingga mereka mengenal dengan kemuliaan dan keahliannya dalam ilmu Riwayah dan dirayah.

Dan masih banyak gurunya yang lain sehingga terkumpul seribu delapan puluh hadis, namun yang ditulis itu dijamin bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman baik dari perkataan maupun perbuatan. Diantara karya beliau adalah Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir dan lainnya.

Imam syafi'i.

Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Usman bin Syafi’i, salah seorang ulama fiqh mazhab. Kisah keilmuannya dimulai di Kuttab, disana beliau telah menghafal al Quran pada usia 7 tahun. Lalu beliau pergi dari Makkah ke dusun dan belajar Hadis serta berbagai ilmu bahasa. Di Mekkah beliau berguru kepada Sufyan bin ‘Uyyainah, Muslim bin Khalid az-Zanji, Ibnu Juraij, Atha` dan lain-lain. Pada usia 13 tahun beliau pergi ke Madinah belajar kepada Imam Malik bin Anas, dan sebelum kedatangannya kepada Imam Malik beliau telah hafal al Muwatha`.

Selanjutnya beliau pergi ke Yaman dan kembali pulang ke Makkah. Kemudian ke Iraq dan tinggal di beberapa kota yang ada di sana. Disana beliau berguru dengan sahabat Abu Hanifah, sehingga beliau menguasai ilmu dari ahli hadits dan ahli ra`yi. Pada tahun 95 H beliau pergi ke baghdad dan menetap disana selama 2 tahun. Lalu beliau kembali dan tinggal beberapa bulan di Makkah sebelum pergi ke Mesir untuk menuntut ilmu. Di Mesir itulah kitab al Umm ditulis, dan beliau meninggal disana pada tahun 204 H. Diantara karya beliau adalah "al Umm", "ar Risalah", "al Hujjah" dan masih banyak yang lainnya.

Asy Syairazi.

Beliau adalah Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al Fairuzabadi Asy Syairazi Abu Ishaq. Dilahirkan di Fairuzabad, lalu berpindah ke Syairaz dan belajar disana. Selanjutnya beliau melawat ke Bashrah dan Baghdad pada tahun 410 H, dan menyempurnakan keilmuannya disana. Beliau unggul dalam ilmu syariah islamiyah dan menjadi rujukan para murid serta menjadi mufti terkenal di zamannya. Beliau mahir berargumentasi dalam berdebat dan meneliti. Beliau hidup dengan penuh kesahajaan dan mengajar di Madrasah Nidhamiyah yang didirikan oleh menteri kerajaan untuk beliau. Sebelum wafat di baghdad beliau telah meninggalkan banyak karya, diantara adalah "At Tanbih Fil Fiqh", "At Tabshirah fi ushulis syafi'iyah", "al Mulakhas fil jadl", "Allam'u Fi Ushulil Fiqh" kemudian mensyarahnya, dan lain sebagainya.

Itulah diantara teladan dari para ulama pendahulu kita, bahkan telah dilakukan sebelum Rasulullah lahir. Sebagaimana termaktub dalam kisah rihlah ilmiyah Nabi Musa kepada Nabi Khidir. Mereka begitu gigih dalam menuntut ilmu, walaupun harus pergi dan bahkan meninggal diluar tempat asalnya. Satu upaya yang membutuhkan kesabaran dan semangat yang tinggi.

Urgensi rihlah ilmiyah

Setelah kita mengetahui salah satu tradisi warisan dalam aktivitas intelektual islam yaitu rihlah ilmiyah. Kemudian teladan praktis dari para pendahulu, sehingga mampu menelorkan karya-karya yang menakjubkan. Maka perlu disadari betul perihal urgensinya dalam ranah intelektual islam ini.

Ada beberapa poin yang dapat kita ambil dari tradisi ilmiyah ini. Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa rihlah ‘ilmiyyah dan bertemu secara langsung dengan guru dapat menambah kesempurnaan ilmu. Lebih lanjut beliau katakan, dengan melakukan rihlah ilmiyah terlebih lagi langsung bertatap muka dengan guru, hal ini memiliki pengaruh yang sangat besar. Karena akan lebih memperkokoh pemahaman serta merasuk dalam hati, tanpa menegasikan metode-metode lain yang dapat dilakukan dalam menuntut ilmu. Dan dengan metode ini pula seorang penuntut ilmu dapat memperoleh istilah-istilah baru serta variasi metode pengajaran dari guru-guru yang ditemuinya.

Khatib al Baghdadi menyebutkan beberapa faedah rihlah ’ilmiyah, diantaranya adalah:
1.Memperoleh ilmu dan lebih memantapkannya.
2.Dapat menerapkannya secara praktis, sehingga menjadi seorang yang 'alim dan juga 'amil.
3.Menyebarkan apa yang telah mereka ketahui sebelumnya.
4.Memperluas wawasan, yaitu ketika bergaul dengan orang lain dalam perjalanannya, sehingga mendapatkan sesuatu yang jarang ditemukan.

Dan akhirnya tanpa menegasikan sumber ilmu yang ada disekitar kita, serta atsar Abu Darda` yang menyebutkan bahwa dalam safar ada secuil adzab , perlu kiranya disadarkan kembali urgensi tradisi ini. Dan tentunya tetap menjaga niat dalam melakukannya.

Pengunjung