Oleh: Anwar Ma'rufi (Santri An-Nawawi Berjan)
Setiap ilmu, konsep atau teori, termasuk wacana HAM, pasti merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa yang memiliki peradaban dan pandangan hidup (worldview). Menurut Hamid Fahmy Zarkasy dalam artikel "Menguak Nilai Di balik Hermeneutika", menuturkan bahwa pandangan hidup suatu masyarakat adalah cara pandang mereka terhadap alam dan kehidupan. Ada beberapa faktor penting dalam pandangan hidup manusia, dan yang terpenting adalah faktor kepercayaan terhadap Tuhan. Faktor ini penting karena memiliki implikasi konseptual. Masyarakat atau bangsa yang percaya pada wujud Tuhan akan memiliki pandangan hidup berbeda dari yang tidak percaya pada Tuhan.
Lanjutnya, implikasi negatifnya berarti bahwa masyarakat yang tidak percaya pada Tuhan, nilai moralitas adalah kesepakatan manusia (human convention), yang standarnya adalah kebiasaan, adat, norma atau sekadar kepantasan. Demikian pula realitas hanya fakta-fakta yang bersifat empiris yang dapat diindra atau dipahami oleh akal sebagai kebenaran. Kekuatan dibalik realitas empiris, bagi mereka, tidak riil dan tidak dapat dipahami dan dibuktikan kebenarannya meskipun sejatinya akal dapat memahaminya.
Pandangan hidup dalam Islam tidak hanya sebatas pandangan terhadap alam dan kehidupan nyata, tapi keseluruhan relitas wujud. Karena wujud Tuhan adalah wujud yang mutlak dan tertinggi sedangkan alam semesta seisinya adalah bagian dari wujud itu, maka konsep Tuhan sangat sentral dalam pandangan hidup Islam dan sudah tentu memiliki konsekuensi konseptualnya, papar Hamid.
Namun tidak semua masyarakat yang percaya pada Tuhan memiliki pandangan hidup yang sama. Sebab konsep dan pengertian Tuhan berbeda antara satu agama dengan agama lain. Konsep inilah yang sebenarnya membedakan karakteristik dan elemen pandangan hidup antara satu bangsa dengan bangsa lain. Elemen pandangan hidup Islam seperti yang diformulasikan al-Attas, misalnya, terdiri dari konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep penciptaan, konsep psikologi manusia, konsep ilmu, konsep agama, konsep kebebasan, konsep manusia termasuk konsep Hak Asasi Manusia (HAM).
Dari perspektif pandangan hidup (worldview) inilah HAM universal sebagai pijakan ijtihad oleh cendekiawan muslim dikaji. Untuk itu sebaiknya dilihat bagaimana milleu masyarakt dimana wacana HAM berkembang. Pada masa pembentukan wacana HAM, milleu masyarakat sekitar Eropa sedang berada pada zaman pencerahan yang berusaha lepas dari tradisi otoritas keagamaan dan membawa wacana humanisme untuk melindungi hak-hak manusia dari otoritas gereja dan penguasa. Untuk menelusuri lebih jauh maka perlu dijelaskan tentang konsep manusia sebagai pandangan hidup.
Dalam pandangan Barat, sebagaimana yang dipaparkan oleh Mohammad Muslih dalam artikelnya yang berjudul "Barat dan Islam: Peradaban Ilmu dan Seni", bahwa manusia adalah penentu dunia ini. Inilah pandangan humanisme, yang memang sejak masa renaissance menjadi wacana dominan pemikiran Barat. Sekalipun terdapat perbedaan perspektif mengenai aspek mana dari manusia yang paling berperan, pemikiran rasionalisme dan empirisme terlihat dengan jelas bahwa manusia adalah segala-galanya. Pendapat kedua paham ini diperjelas oleh Kant. Dengan teori "Copernican Revolution"nya, Kant berpendapat bahwa manusia sendiri dapat menciptakan manusia sendiri dapat menciptakan dunianya. Lebih jauh dari itu, Federic Nietzshe melihat bahwa manusia adalah "uberman" atau superman, manusia bermental tuan yang dapat bertindak bebas tanpa petunjuk Tuhan. Bahkan manusia setengah robot yang memiliki AI (artificial Intellegence) dan AL (Artificial Life), yang diprihatinkan oleh Lyotard.
Manusia demikian ini yang menentukan kebijakan untuk mengatasi batas gender bahkan sex, mengatasi panas bumi sebagai akibat kemajuan sain-teknologi yang kian tak terkendali, termasuk untuk mengatasi krisis kemanusiaan negaranya hingga hasil formulasinya diglobalkan ke seluruh penjuru dunia. Lyotard sendiri menyebutnya dengan "inhuman" (nirmanusia). Inilah posisi dan hakikat manusia model Barat.
Berbeda dengan pandangan Barat, khazanah pemikiran Islam melihat bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, yang sekalipun berdimensi jasmani tetapi juga makhluk berdimensi rohani yang dapat bertrandensi. Pemikiran tentang manusia dalam Islam selalu berujung pada kesimpulan bahwa manusia itu "sakral" yang dapat mencapai tingkat spiritualitas tinggi dengan iman dan takwanya.
Setelah melihat perbedaan pandangan hidup Barat dengan Islam, maka produk HAM Barat yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah hasil dari pandangan hidupnya terhadap Tuhan, manusia, dan alam. Dengan demikian, ketika wacana HAM universal dijadikan sebagai alat pendekatan untuk memahami Islam, maka akan terjadi perdebatan dan pertentangan yang tak kunjung usai.