Minggu, 15 April 2012

Kritik Terhadap Bangunan Wacana Lesbian Kaum Feminis

Oleh: Mudzakkir Khalil `Ali Al-Matramy


A. Prolog
Pada akhir-akhir ini perdebatan mengenai lesbian telah masuk dalam wacana pemikiran aktifis feminisme dan kesetaraan gender. Banyak kalangan pemikir mengeluarkan argumentasinya mengenai lesbian. Ada yang berpandangan bahwa lesbian sebagai sebuah upaya solutif terhadap meledaknya pertumbuhan penduduk dunia. Ada juga yang berpandangan bahwa di antara penyebab seseorang menjadi lesbian adalah solusi atas ketidak-keseimbangan hidup. Tetapi ada pula yang melihat lesbian justru sebagai sebuah manifestasi dari semangat pertikaian antar pria dan wanita yang dibangun oleh gerakan feminisme. Bahkan ada yang menganggap lesbian sebagai sebuah keharusan bagi perempuan untuk melawan penindasan laki-laki terhadap dirinya. Yang lainnya lagi malah memandang lesbian sebagai upaya pembebasan perempuan dari dominasi laki-laki, baik secara internal maupun eksternal.

Persoalannya, jika lesbian dianggap sebagai solusi terhadap membanjirnya pertumbuhan penduduk dunia maka, pertanyaannya adalah, "Dunia yang mana?" Sebab kebutuhan masing-masing negara berbeda-beda. Sebagai contoh misalnya, Korea Selatan pada akhir-akhir ini justru mengeluhkan tentang kurangnya jumlah kelahiran bayi mereka. Bahkan, saat ini prioritas negara tersebut adalah terfokus pada agenda peningkatan jumlah angka kelahiran bayi. Negara ini juga sedang kebingungan menghadapi jumlah orang lanjut usia yang makin meningkat. Persoalan serius lainnya adalah, jika lesbian dianggap sebagai sebuah upaya melawan penindasan dan dominasi laki-laki terhadap para perempuan kemudian meninggalkan institusi perkawinan maka, pada prinsipnya perempuan berusaha lari dari masalah menuju masalah yang lebih besar lainnya. Artinya, ia akan kehilangan begitu banyak kesempatan untuk meraih kebahagiaannya. Sebagai contoh, dalam Islam perempuan dimuliakan apapun statusnya. Dalam soal nafkah saja, apapun posisinya perempuan selalu menjadi pihak yang diuntungkan. Nafkah perempuan yang sudah menikah , ketika hamil , melahirkan , menyusui , dan setelah dicerai ada pada suaminya. Bahkan ketika ditinggal mati sekali pun, ia berhak mendapatkan harta warisan dari harta peninggalan suaminya.
Dalam makalah ini penulis hendak membahas mengenai bangunan wacana lesbian kaum feminis, dan kritik terhadap bangunan wacana tersebut. Hal ini dimaksudkan dalam rangka mencapai pemahaman yang utuh. Serta berusaha menunjukkan letak problem wacana kaum feminis soal ide gerakan lesbiannya.

B. Bangunan wacana lesbian kaum feminis
Di antara gerakan-gerakan feminisme, ada feminisme radikal. Feminisme ini berkembang pesat di AS pada tahun 1960 dan 1970-an. Secara umum, gerakan ini bertujuan sama dengan gerakan feminisme lainnya. Hanya saja, feminisme ini memiliki pandangan berbeda dalam aspek biologis (nature). Aliran ini dirintis oleh Charlotte Perkins Gilman, Emma Goldman dan Margaret Sanger. Dalam pandangan mereka, perempuan harus melakukan kontrol radikal terhadap tubuh dan kehidupan mereka.
Artikulasi dari kontrol terhadap tubuh tersebut mengharuskan mereka menempuh kehidupan sebagai pribadi wanita homo, lesbian. Bangunan argumentasi primodialnya, yang juga melahirkan feminisme lesbian adalah bahwa, laki-laki adalah rival. Selain itu, alasan sekunder yang sering muncul dari para pendukung gerakan lesbianisme adalah alasan demografis.
Pelaku lesbian pada dasarnya terpola menjadi dua macam. Yang pertama lesbian non idiologis dan kedua adalah lesbian idiologis. Adanya lesbian non idiologis terjadi akibat beragam faktor, dan bukan bawaan. Sementara yang beraliran idiologis ini memang sengaja diciptakan dan dipropagandakan. Bentuk kedua inilah yang sengaja dibentuk oleh feminisme radikal. Bahkan, terlampau radikalnya, gerakan tersebut telah melahirkan gerakan feminisme lesbian. Selain itu, gerakan lesbianismenya juga mendapat dukungan dari kelompok feminisme lainnya.
Sebagai sebuah aliran yang muncul di dunia Barat, gerakan-gerakan feminisme tentu tidak bisa terlepas dari konteks sosio-historis kultural Barat yang liberal-kapitalistik dan cenderung eksploitatif. Selain itu, feminisme juga tidak mampu menghindar dari watak sekularisme dimana ia lahir. Dengan demikian, dapat dipastikan aliran-aliran feminisme tidak melibatkan nilai-nilai ketuhanan dalam mengatur pola relasi hubungan antar pria dan wanita. Framework feminisme cenderung individualistik dan emosional. Memisahkan antara peran wanita di satu sisi dan pria pada sisi yang lain. Dan sebagai akibat dari kapitalisme Barat, gerakan tersebut menggunakan materi sebagai standar segala sesuatu, sehingga pada era kapitalismelah feminisme berkembang. Sebab, menurut Illich, penindasan terhadap perempuan mencapai tarap yang sangat parah pada zaman industrialisasi. Yaitu era berlakunya paham kapitalisme. Sebagaimana dikutip Muslikhati, Cristopher Lasch berpandangan bahwa para feminis tidak menyesalkan menghilangnya keluarga. Tetapi sebaliknya, seperti halnya para penganut setia evolusionis, mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat diinginkan. Bahkan mereka memproklamasikan 'kematian keluarga'.
Homoseksualitas atau seksualitas sejenis gay dan lesbian lebih merupakan kelainan seks. Wimpie Pangkahila, menyatakan bahwa, diantara penyebab homoseksual adalah faktor psikodinamik, adanya gangguan perkembangan psiseksual pada masa anak-anak, sosiokultural dan faktor lingkungan. Selain itu, Dadang Hawari menambahkan, prilaku tersebut juga diakibatkan oleh problem psikologis. Sebagai akibat interaksi bebas dan hilangnya pembatas moral antar lawan jenis. Menurutnya, prilaku seks menular di atas juga merupakan akibat dari trauma masa lalu.

1. Prinsip konflik
Salah satu alasan terpenting yang mendasari munculnya gerakan wacana lesbianisme adalah adanya prinsip konflik. Prinsip ini dibangun oleh kaum feminis radikal yang cenderung membenci laki-laki, baik sebagai individu maupun kolektif. Mereka mengajak para wanita untuk mandiri tanpa keterlibatan seorang pria. Serta mendorong mereka agar tidak melakukan hubungan seksual dengan laki-laki. Bagi mereka, alat kelamin pria yang tegak berdiri yang dimasukkan ke dalam lubang vagina wanita adalah bentuk betapa mereka tidak bisa keluar dari sindrom inferioritas terhadap laki-laki. Bahkan, posisi perempuan di bawah laki-laki di ranjang adalah artikulasi dari sifat inferioritas tersebut.
Menurut Muhammad Imarah, feminisme Barat telah membentuk organisasi perempuan di Amerika yang bernama 'gerakan pemotongan alat kelamin laki-laki' sebagai manifestasi kebencian tersebut. Dalam pandangan mereka, pria telah mati. Antipati kaum feminis radikal terhadap pria mengharuskan mereka memisahkan diri dari budaya maskulin dan membentuk komunitas budaya tersendiri yang disebut dengan "sisterhood'. Bagi mereka, sistem patriarki harus dihancurkan.
Dalam pandangan Freud, konflik antara laki-laki dan perempuan bukan terletak pada persoalan psikologis, tetapi lebih merupakan masalah perbedaan biologis. Sementara biologi adalah masalah taqdir yang tak dapat diubah. Bagi Freud, pertikaian antar pria dan wanita bermula pada kecemburuan alat kelamin. Perempuan merasa dirinya ada sesuatu yang kurang bila dibanding dengan laki-laki. Laki-laki memiliki alat kelamin menonjol (penis) sedang perempuan tidak (vagina).
Seperti diungkap Ratna Megawangi, perbedaan biologis ini terkait erat dengan peran kehamilan dan keibuan, yang mau tidak mau, harus diperankan oleh wanita. Hal ini hanya dapat diwujudkan dalam institusi keluarga. Yaitu ketika seorang wanita menikah dengan pria maka dengan sendirinya perbedaan peran biologis ini akan memunculkan peran-peran gender yang berkaitan erat dengan problem biologis.
Selain Freud, Firestone juga menegaskan hal serupa. Menurutnya, awal penindasan kaum perempuan terletak pada perbedaan jenis kelamin. Sebagai contoh adalah adanya fungsi reproduktif dan biologis yang menyebabkan tertindasnya kaum perempuan, akibat dihantui perasaan merasa kotor dan merasa sakit saat mengandung dan melahirkan.
Dengan dasar ini, para feminis radikal sering menyerang keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dipandang sebagai alat hegemonisme pria untuk menindas wanita. Sehingga tugas utama para feminis radikal adalah menolak institusi keluarga. Tidak hanya pada tataran teori, tapi juga praktek. Bahkan mereka membatasi para anggotanya hidup dalam lembaga perkawinan.
Para feminis radikal menyadari bahwa kwalitas feminin adalah bersifat alamiah (natural), dan tak mungkin dihilangkan. Maka meninggalkan institusi perkawinan dianggap cara yang lebih efektif. Apabila lembaga perkawinan tidak dapat dihindarkan, maka untuk mengurangi beban biologis wanita, perlu diciptakan teknologi. Sebagai contoh adalah pengadaan alat kontrasepsi, dan bayi tabung.
Dengan demikian, para wanita tidak perlu lagi mengalami proses kehamilan. Kata Firestone;
"Kalau hal itu masih dianggap tabu; kalau keputusan untuk tidak memiliki anak masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak absah, maka sejatinya kaum perempuan masih dipaksa menjalani peran kewanitaan mereka."

Ti-Grace Atkinson, sebagaimana dikutip Ratna Megawangi mencoba menghilangkan keinginan wanita masuk pada lembaga perkawinan dengan cara menganalisis fenomena cinta antara pria dan wanita. Menurutnya, cinta antara pria dan wanita adalah penyakit, penindas dan pengekang (baca: tidak bebas). Sementara Elsa Gildow, sebagaimana dikutip Muslikhati memunculkan teori bahwa dengan menjadi lesbian wanita secara internal dan eksternal telah terbebas dari dominasi pria. Bahkan Martha Shelley (1970) mengatakan bahwa model wanita mandiri adalah lesbian.
Di Amerika saja, 60% gerakan organisasi perempuan menganut lesbianisme. Charlotte Bunch, sebagaimana dikutip Ahdiati mengatakan;
"Para lesbian harus menjadi feminis dan berjuang melawan penindasan perempuan, sebagaimana para feminis harus menjadi lesbian jika mereka ingin mengakhiri supremasi laki-laki."

Adrienne Rich, sebagaimana paparan Adam Fatel berpendapat bahwa struktural pokok yang mengabadikan hegemoni kaum laki-laki terhadap perempuan adalah adanya tuntutan untuk berprilaku heteroseksual. Para feminis radikal menganggap hubungan heteroseksual sebagai faktor utama terjadinya penindasan terhadap wanita. Selain menyerukan lesbianisme , feminisme radikal juga mengkampanyekan hidup melajang dan bahkan menjanda.

2. Argumentasi demografis
Selain berdasar pada prinsip konflik yang dibangun oleh kaum feminis radikal untuk menjustifikasi gerakan lesbiannya, argumentasi demografis juga dimunculkan oleh para pendukung legalisasi lesbianisme tersebut. Menurut presiden bank dunia, Robert Mc Namara, isu besar yang bakal dihadapi Dunia pada tahun-tahun mendatang adalah masalah perkembangan penduduk. Julian Huxley, setelah melakukan perjalanan keliling dunia pada tahun 1952 menulis satu esai tentang populasi penduduk dunia. Esai yang terbit di Scientific American pada bulan Maret tahun 1956 tersebut diberi judul "World Population." Dalam pandangan Huxley, persoalan kependudukan merupakan masalah zaman kita. Sementara Frederick Osborn berpendapat, pertumbuhan penduduk berkaitan erat dengan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup individu atau standar kehidupan masyarakat.
Persoalan di atas telah mengundang partisipasi dan kepedulian masyarakat dunia. Di antaranya, banyak konferensi- konferensi dan forum-forum diskusi diselenggarakan. Baik pada level nasional maupun internasional. Sebagai contoh, perserikatan bangsa-bangsa (PBB) pada 5-13 September 1994 mengadakan konferensi internasional tentang kependudukan dan pembangunan di Kairo. Acara yang diselenggarakan setiap sepuluh tahun sekali tersebut merupakan kelanjutan dari konferensi-konferensi sebelumnya yang diadakan di Mexico City pada tahun 1984, di Beograd Bucharest tahun 1974 dan pertama kali di selenggarakan di Roma pada tahun 1954. Dewan kependudukan pada tahun 1955 membentuk forum diskusi 'Panitia Ad Hoc' bersama mereka yang peduli terhadap solusi pertumbuhan penduduk dunia. Forum tersebut terdiri dari berbagai para ahli. Di antaranya ahli demografi, fisikawan, sosiolog Katolik Roma, ahli genetika sekaligus ahli kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
Dari persoalan jumlah penduduk tersebut, beragam solusi yang kemudian ditawarkan untuk mengurangi kepadatannya. Mantan menteri pertahanan AS, yang juga menjabat sebagai presiden bank dunia, Robert Mc Namara menyebutkan dua cara yang dapat ditempuh. Yaitu dengan menurunkan tingkat kelahiran dengan cepat, atau meningkatkan jumlah angka kematian.
Selain Frederick Osborn, Colin Spencer juga sempat menyinggung bahwa, dengan adanya kelebihan jumlah penduduk, maka dengan sendirinya dapat menyebabkan keterbatasan pada sumber daya. Dengan demikian, lanjut Spencer, mungkin para penguasa harus mendorong praktek homoseksual. Kalangan lain yang berupaya memberikan jalan keluar berpandangan bahwa, homo (baca: lesbian) dapat dijadikan sebagai sebuah upaya solutif terhadap meledaknya pertumbuhan penduduk dunia.
Bahkan, Hatib Abdul Kadir mengusulkan pengesahan hubungan homoseksualitas di berbagai belahan bumi sebagai strategi penekanan jumlah penduduk yang semakin tinggi akibat seksualitas yang prokreatif. Sebab, menurutnya, sudah bukan waktunya lagi mengutuk kaum homoseks dengan menggunakan ayat-ayat Tuhan. Karena, lanjutnya, Tuhan pun ikut campur tangan mengizinkan lahirnya bayi-bayi homoseksual sebagai reaksi keras karena manusia sudah terlalu banyak dan tidak bisa mengatur bumi dengan baik. Ada juga yang berpandangan bahwa, di antara penyebab seseorang menjadi lesbian adalah solusi atas ketidak-keseimbangan hidup. Selebihnya, bagi Frederick Osborn, menurunkan tingkat kelahiran bisa ditempuh dengan penahanan hasrat menikah.
Jadi, jika kaum feminis radikal membangun gerakan lesbianisme untuk mengakhiri supremasi dan hegemoni laki-laki terhadap perempuan maka, pihak yang menganggap kemiskinan sebagai konsekwensi dari kepadatan jumlah penduduk dunia menyerukan lesbianisme sebagai salah satu solusinya.

C. Lesbian dalam pandangan kaum feminis dan gerakan kesetaraan gender di Indonesia
Sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya, bahwa salah satu alasan legalisasi kaum feminis terhadap lesbianisme adalah sebagai solusi atas kemiskinan yang diakibatkan oleh kepadatan jumlah penduduk dunia. Beragam justifikasi yang kemudian dipaparkan untuk mendukung lesbian tersebut. Ada yang menganggap bahwa tidak ada larangan secara eksplisit untuk homo dan lesbian dalam al-Qur'an. Ada juga yang menyatakan bahwa tidak ada idiom untuk gay dan lesbian dalam literatur Islam klasik. Bahkan, cara lain yang ditempuh untuk menghalalkan lesbian tersebut adalah dengan menganggap bahwa dalam ayat al-Qur'an, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, tapi juga bisa homo dan lesbian serta alasan lainnya.
Dalam hal ini, Siti Musdah Mulia mengatakan, "Sepanjang bacaan saya terhadap kisah nabi Luth yang dikisahkan dalam al-Qur'an (Al- A'raf 80-84 dan Hud 77-82) ini, tidak ada larangan secara eksplisit baik untuk homo maupun lesbian."
Selain Musdah, Sumanto al-Qurtuby justru meragukan kisah kaum nabi Luth tersebut. Sumanto mengatakan, "Saya sendiri belum tahu secara pasti apakah kisah Luth itu historis atau fiktif, "history" atau hanya sekedar story" saja."
Mohamad Guntur Romli melakukan perbandingan antara berita al-Qur'an mengenai keterlibatan para malaikat dalam perang badar dengan kisah nabi Luth dalam al-Qur'an. Dengan perbandingan tersebut Guntur Romli terlihat lebih berani dibanding Musdah dan Sumanto. Ia mengatakan, "Kalau saja al-Qur’an berani “mengarang” laporannya tentang peristiwa yang disaksikan sendiri oleh Muhammad & pengikutnya, bagaimana dengan kisah-kisah yang tidak pernah disaksikan oleh Muhammad?"
Alasan lain yang dikemukakan oleh Musdah Mulia untuk membenarkan praktek lesbian adalah dengan menganggap bahwa berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero. Musdah mengatakan, "Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat al-Qur'an soal hidup berpasangan (Ar- Rum, 21; Az- Zariyat 49 dan Yasin 36) di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial)." Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian.” paparnya.
Selain Musdah, menurut Sumanto al-Qurtuby, tidak ada ideom gay dan lesbian dalam teks-teks keislaman klasik. Sumanto mengatakan, "Tetapi uniknya, meskipun terminologi homo-seksual sudah dikenal sejak ratusan tahun silam sebelum Muhammad ditahbiskan menjadi “Nabi” bagi umat Islam, sepanjang yang saya ketahui, tidak ada padanan istilah atau ideom untuk gay dan lesbian dalam teks-teks keislaman klasik.”
Justifikasi-justifikasi kaum feminis dan gerakan kesetaraan gender di atas sepenuhnya bermuara pada titik poin bahwa; lesbian adalah fitrah, seksual yang normal, dan akan mulia di sisi Alloh jika ia bertaqwa, karena merupakan fenomena rahmat tuhan.

D. Kritik terhadap bangunan wacana lesbian kaum feminis
Ada dua bangunan argumentasi yang dibangun kaum feminis untuk mengesahkan lesbianisme. Yang pertama adalah prinsip konflik yang sengaja dipropagandakan oleh kaum feminis radikal atau feminis lesbian. Sedangkan yang kedua adalah prinsip demografis yang dipropagandakan oleh kaum feminis secara umum dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap fenomena meledaknya pertumbuhan penduduk dunia; yang menurut anggapan mereka, ledakan penduduk tersebut berdampak pada kesejahteraan (baca: kemiskinan) masyarakat di dunia.
Pada awalnya, prinsip konflik lahir dari teori gender. Yang terkadang diidentikkan dengan teori Mark. Teori ini bertitik tolak dari asumsi bahwa dalam susunan suatu masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Teori konflik ini kemudian dipertajam oleh Dahrendorf dan Randall Collins yang dikenal sebagai pendukung teori konflik modern. Menurut mereka, konflik tidak hanya terjadi karena faktor perjuangan kelas, tetapi juga dapat diakibatkan oleh beberapa macam faktor dan sisi. Di antaranya adalah bahwa suami dan istri, laki-laki dan perempuan dapat berpotensi menimbulkan konflik.
Konflik tersebut kemudian mengkristal dengan muncul dan meluasnya gerakan feminisme radikal di AS sekitar tahun 1960 dan 1970-an. Selain itu, kaum feminis radikal juga menggunakan propaganda berkaitan dengan hubungan antar pria dan wanita. Ratna Megawangi mengatakan, "Propaganda yang sering dilakukan adalah memberikan informasi kepada para perempuan bahwa ada gaya hidup alternatif lain, selain kehidupan perkawinan konvensional antara pria dan wanita."
Terkait dengan upaya kaum feminis radikal untuk mandiri tanpa keterlibatan seorang pria adalah upaya utopis. Masalahnya, keberadaan kaum pria tetap diperlukan dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, secara natural di dalam alam semesta ini selalu tercipta entitas yang berpasang-pasangan. Selebihnya, lembaga perkawinan sudah ada sejak manusia diciptakan pertama kali.
Sedangkan upaya kaum feminis radikal untuk menciptakan teknologi untuk mengurangi beban biologis wanita, seperti kloning misalnya; telah ditentang oleh hampir seluruh tokoh masyarakat dari kalangan agama dan bahkan presiden AS, Clinton pun telah melarang percobaan teknologi kloning manusia. Selebihnya, Wilmut, salah satu ilmuwan yang berkecimpung dalam teknologi kloning Dolly berkata; "Bahwa adalah sangat menyedihkan jika manusia mulai menggunakan teknologi ini pada dirinya." Dengan demikian teori feminisme radikal ini problem untuk bisa diterapkan.
Di samping itu, untuk problem demografis, kemiskinan bukan akibat dari persoalan kepadatan jumlah penduduk. Melainkan terletak pada ketidakadilan distribusi yang diterapkan oleh sistem ekonomi kapitalisme Barat, yang hanya berputar di antara negara-negara maju. Selebihnya, ada konspirasi terselubung yang ingin dibangun oleh negara-negara Barat, khususnya negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Di mana, negara-negara berkembang mayoritas berpenduduk muslim. Wulandari mencatat, negara-negara Barat sengaja membiarkan terjadinya ketimpangan pendistribusian kekayaan dunia sebagai bentuk sistem ekonomi kapitalisme dan jiwa imperialis Barat.
Yahya Abdurrahman mengungkapkan, pada faktanya, kekayaan dunia terkonsentrasi di negara-negara Barat, seperti AS, Kanada, dan Eropa Barat, yang menguasai 80% kekayaan dunia. Pada saat yang sama, Barat menghadapi ancaman kerentaan dan kehancuran masyarakat. Sedang pada sisi lain, ada ancaman kependudukan dari negara dunia ketiga yang mayoritas berpenduduk muslim. Pernyataan ini seakan diamini oleh Wulandari. Ia menyebutkan, salah satu motif di balik upaya pengendalian jumlah angka kelahiran ialah adanya kekhawatiran terhadap ancaman imigran dari negara-negara berkembang yang membanjiri negara Barat, yang lambat laun akan membanjiri struktur masyarakat negara maju.
Menurut Asri, meski menurut perkiraan PBB jumlah penduduk dunia dalam dekade-dekade mendatang akan meningkat sampai lebih sembilan miliar orang, di Eropa angka kelahiran akan menurun. Negara-negara lain yang mengalami hal serupa adalah Spanyol, Italia, Jerman, dan Korea Selatan. Akibatnya, angka kelahiran di negara-negara Barat turun drastis. Bahkan sebagian negara Barat mulai khawatir kekurangan penduduk karena warga mereka kebanyakan berusia tua dan jumlah bayi yang lahir sangat sedikit.
Terkait problem demografis dunia, tidak semua negara menyambut baik kampanye homoseksualitas (baca: lesbianisme) sebagai salah satu cara penekanan jumlah kepadatan penduduk. Sebagai contoh, pada konferensi internasional kependudukan dan pembangunan di Kairo 5-13 September tahun 1994 silam, terdapat tidak kurang dari sepuluh negara menunjukan penolakan atas sebagian aksi tersebut. Termasuk bahkan, sejumlah negara yang menentangnya tidak hadir.
Di samping itu, salah satu terjemahan kitab Al Qanun Fi Ath-Thibb karya Ibnu Sina yang membuang bab tentang pencegahan kehamilan adalah terjemahan dalam bahasa Ibrani (Yahudi). Artinya, negara Yahudi menolak upaya-upaya pengurangan jumlah penduduk. Bahkan, Ester Mariani berpendapat bahwa, secara umum penekanan pada kemampuan reproduksi perempuan merupakan ciri-ciri sejarah awal Israel. Pendekatan historis kritis dalam studi biblika menyingkapkan adanya hubungan antara kepentingan politik dan demografi Israel selama periode pembentukan nasionalitas (pembentukan Israel sebagai suatu nation / bangsa) di Kanaan dan penekanan mereka pada kemampuan reproduksi perempuan.
Palestina memiliki sikap yang sama, kekurangan jumlah penduduk menyebabkan mereka melakukan 'jihad demografis'. Sehingga, berdasar hasil riset sejumlah lembaga asing menunjukkan bahwa, angka kelahiran bayi laki-laki tergolong paling tinggi di dunia adalah Palestina. Selebihnya, Korea Selatan pada akhir-akhir ini justru mengeluhkan tentang kurangnya jumlah kelahiran bayi mereka. Bahkan, saat ini prioritas negara tersebut adalah terfokus pada agenda peningkatkan jumlah angka kelahiran bayi. Negara ini juga sedang kebingungan menghadapi jumlah orang lanjut usia yang makin meningkat.

E. Kritik atas pandangan kaum feminis dan gerakan kesetaraan gender di Indonesia mengenai lesbian
Dalam pandangan Islam nikah adalah ibadah. Berbeda dengan Islam, kaum feminis dan gerakan isu kesetaraan gender justru memandang pernikahan bukan sebagai ibadah. Dalam hal ini, Abdul Moqsith Ghazali mengatakan, "Sesungguhnya pernikahan itu bagian dari (penyaluran) syahwat dan bukan bagian dari upaya pendekatan diri kepada Tuhan...pernikahan bukanlah ibadah.” Selain Moqsith, Mohammad Monib & Ahmad Nurcholis mengatakan, "Pernikahan bukanlah ibadah dalam arti kewajiban, melainkan hubungan sosial kemanusiaan semata."
Jika kita cermati, keyakinan-keyakinan semacam inilah yang melatar-belakangi pandangan Siti Musdah Mulia yang menegaskan bahwa tidak ada larangan secara eksplisit dalam al-Qur'an untuk homo dan lesbian. Padahal, jika saja kaum feminis memandang pernikahan itu sebagai ibadah (tapi mereka justru memandangnya sebagai mu'amalah), maka statement yang seharusnya adalah; tidak ada perintah (bukan larangan, karena nikah adalah ibadah) secara eksplisit baik untuk homo maupun lesbian. Selain itu, dalam pandangan Musdah Mulia, di antara prinsip pernikahan adalah pluralisme (al-ta'addudiyyah).
Selebihnya, Musdah terjebak dalam memahami kata az-zauj (yang berarti pasangan) dalam al-Qur'an. Kata tersebut berlaku secara umum bagi setiap yang disebut berpasangan, dan tidak digunakan untuk jenis kelamin tertentu. Tidak ada dalam al-Qur'an lafaz az-zauj berbentuk muannats (az-zaujah). Karena, sekali lagi, lapazd tersebut berlaku secara umum dan tidak menunjuk jenis kelamin tertentu. Namun kemudian dalam literatur kitab-kitab fiqih lapazd tersebut ada yang berbentuk mudzakkar (az-zauj) dan bentuk muannats (az-zaujah), dengan tujuan untuk mempermudah identifikasi antara suami (az-zauj) dan istri (az-zaujah).
Meragukan atau menganggap peristiwa yang menimpa kaum nabi Luth yang diberitakan oleh al-Qur'an sebagai sebuah karangan adalah cara lain yang ditempuh Sumanto al-Qurtuby dan Mohamad Guntur Romli dalam upaya melegalisasi praktek asmara sesama jenis (baca; homo dan lesbian). Padahal imformasi al-Qur'an tersebut adalah peristiwa nyata. Hal ini didukung oleh al-Qur'an sendiri dan hasil seleksi para ahli sejarah dan ilmu verifikasi sanad dan matan seperti Ibnu Katsir dan Salim bin 'Ied al-Hilaly. Termasuk juga secara arkeologis dapat dibuktikan.
Selebihnya, dalam kajian literatur Islam klasik dan modern; kata al-liwath adalah suatu istilah untuk gay dan as-sihhaq untuk menunjuk istilah lesbian. Para ulama, baik klasik maupun modern, telah bersepakat mengharamkan praktek gay dan lesbian. Keharaman gay telah ditegaskan oleh Allah swt. melalui firman-Nya, yang artinya;
"Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas."
Rasulullah saw. bersabda;
لعن الله من عمل عمل قوم لوط, لعن الله من عمل عمل قوم لوط, لعن الله من عمل عمل قوم لوط, {رواه التّرمذي وأحمد والبيهقي}
"Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth."

Terkait masalah lesbian, Al-Alusi ketika menafsirkan ayat 15 surat An-Nisa' mengutip pendapat Muslim dan Mujahid, bahwa yang dimaksud dengan fahisyah pada ayat tersebut adalah lesbian. Sedangkan makna fahisyah pada ayat 16 nya adalah homo (baca: gay). Rasulullah saw. bersabda;
لا ينظر الرجل إلى عورة الرجل, ولا المرأة إلى عورة المرأة, ولا يفضي الرجل إلى الرجل في ثوب واحد, ولا يفضي المرأة إلى المرأة في الثوب الواحد. رواه أحمد ومسلم وأبو داوود والتّرمذي.
"Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lainnya, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lainnya. Serta janganlah seorang laki-laki masuk ke laki-laki lainnya pada satu sarung. Begitu juga seorang wanita janganlah masuk ke wanita lainnya dalam satu sarung."

1. Konsepsi Islam mengenai pola relasi antar pria dan wanita
Secara umum, Islam sangat menghormati wanita. Apapun kedudukan dan fungsinya. Baik sebagai ibu, saudari, isteri, anak perempuan, budak perempuan, wanita muslimah secara umum, wanita non muslim, dan wanita yang ada hubungan kekerabatannya dengan pria secara umum.
Prinsip persaudaraan dalam Islam yang berlaku secara umum, termasuk antara pria dan wanita, mengharuskan mereka membangun kerjasama. Tidak ada permusuhan antara keduanya. Hubungan keduanya terpola dalam bentuk mitra , bukan rival. Hubungan kemitraan ini terkonstruk dalam berbagai bentuk dan bersifat saling melengkapi. Di antara mereka ada perbedaan, dan ada pula persamaan. Misalnya, dari sisi asal usul penciptaan keduanya sama. Namun, secara biologis tidak ada perbedaan pendapat bahwa kedua jenis tersebut berbeda. Pengaruh perbedaan biologis terhadap prilaku, relasi, dan fungsi kedua gender tersebut diatur secara proporsional dalam Islam.
Islam telah mengatur peran dan fungsi pria dan wanita, yang terkadang berbeda dan terkadang juga sama. Adapun pola relasi tersebut, setidaknya dapat dipetakan menjadi:
Pertama, secara umum, wanita dan pria sama-sama terkena beban hukum (taklif) tanpa membedakannya dari jenis kelamin gender. Beban taklif ini, sebagaimana disebutkan dalam buku-buku ushul fiqih, terkait dengan hukum wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah. Aktifitas manusia, baik sebagai laki-laki atau perempuan tidak terlepas dari salah satu beban hukum yang lima tersebut.
Di sektor keagamaan ini, yang berbentuk taklif hukum, Allah swt. telah menetapkan kesederajatan etis terhadap pria dan wanita. Misalnya, kewajiban untuk sama-sama saling tolong menolong, mengajak berbuat baik, mencegah dari berbuat kemunkaran, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mentaati Allah dan rasul-Nya.
Namun, dalam kapasitasnya sebagai laki-laki dan perempuan, Allah swt. membedakan sekaligus mengkhususkan antara satu dengan yang lainnya. Baik hal itu terkait dengan status pewajiban, pemanduban, pengharaman, pemakruhan, dan pemubahannya. Dalam hal ini, Yahya al-Hajuri secara khusus mencatat dan mengumpulkan tidak kurang dari delapan puluh macam pembedaan wanita dan pria pada aspek taklif hukumnya. Misalnya, perintah hijab (Qs al-Ahzab [33]: 59), taat pada suami, meminpin keluarga rumah tangga suami dan anak, menjalankan tugas rumah tangga, dan menyusui anak diperuntukkan secara khusus bagi para wanita. Sedangkan perintah memberi nafkah, mahar (Qs An-Nisa' [04]: 4), dan lain sebagainya adalah khusus diberikan untuk laki-laki.
Menurut al-Faruqi, pembedaan peranan antara laki-laki dan perempuan bukan manifestasi diskriminatif atau segregasi. Sebab kedua peran tersebut sama-sama tunduk pada norma agama dan etika. Yang membutuhkan kecerdasan, bakat, energi dan usaha sungguh-sungguh dari keduanya. Islam mengukur kwalitas manusia bukan berdasar pada peran gender, akan tetapi sejauh mana ketaqwaannya pada Allah ta'ala (Qs al-Hujarat [49]: 13). Bahkan, aktifitas laki-laki bisa saja dikerjakan oleh perempuan jika ada alasan-alasan yang dapat dibenarkan syari'ah.
Kedua, berkaitan dengan wilayah domestik, pria asing (ajnabi) dan wanita bukan mahram (baca: ajnabiyah) secara umum terpisah. Pertemuan keduanya dimungkinkan jika ada keperluan, dan itupun harus didampingi mahram (HR. Bukhari). Atau bertemu secara beramai-ramai (HR. Bukhari dan Muslim). Baik wanitanya berjumlah satu orang maupun laki-lakinya seorang diri (HR. Muslim). Pertemuan tersebut juga memiliki sejumlah etika (baca: syarat). Diantaranya adalah keharusan adanya izin jika memasuki rumah (Qs An-Nur [24]: 27), menutup aurat (Qs al-Ahzab [33]: 53), tidak boleh berbicara dengan suara yang menimbulkan syahwat laki-laki (Qs al-Ahzab [33]: 32), dan menjaga pandangan (Qs An-Nur [24]: 30-31).
Ketiga, di wilayah publik laki-laki dan perempuan pada dasarnya terpisah. Pertemuan dua jenis kelamin tersebut diperbolehkan sejauh mana ia mendatangkan mashlahah syar'iyyah bagi keduanya. Seperti dalam hal belajar mengajar, mu'amalah, pesta perkawinan, dan lain sebagainya.
Sementara itu, Islam mengatur bahwa, yang utama bagi wanita adalah bekerja di dalam rumah. Namun ada sejumlah alasan yang membolehkan wanita untuk bekerja di luar. Diantaranya adalah kalau pihak penanggung nafkah, orang tua bagi wanita yang belum menikah, dan suami bagi yang sudah menikah, dalam keadaan udzur dan tidak mampu lagi memberikan nafkah kepadanya.
Di samping itu, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi wanita yang bekerja di luar rumah. Seperti, menutup aurat (Qs al-Ahzab [33]: 59), aman dari fitnah, ada izin dari wali, adanya kebutuhan untuk bekerja, atau publik membutuhkannya karena ketiadaan orang laki-laki, tidak melalaikan tugas inti di rumah, jenis pekerjaannya sesuai dengan fitrah dan karakter wanita, jauh dari jangkauan laki-laki, tegas dalam berbicara (Qs al-Ahzab [33]: 32), bersikap wajar saat berjalan dan bergerak (Qs An-Nur [24]: 31), menjauhi wangi-wangian, dan pekerjaannya halal (Qs al-Baqarah [02]: 172).
Di Barat, motif wanita kerja di luar rumah pada kalangan mereka jauh berbeda dengan yang ada dalam Islam. Maisar menguraikan beberapa motif tersebut. Seperti, tradisi mereka menghendaki wanita yang harus menyiapkan seluruh biaya perkawinan, sang ayah berlepas tanggungjawab secara materi terhadap wanita mulai usia delapan belas tahun, dan wanita dihargai hanya sebatas sebagai orientasi seks semata, yang dapat dibawa kemana-mana. Quraish Shihab menulis, patung-patung telanjang yang terlihat dewasa ini di Eropa adalah bukti dan sisa pandangan itu.

2. Seksualitas dan reproduksi dalam pandangan Islam
Prinsip dasar yang diisyaratkan oleh al Qur'an ialah adanya naluri saling tarik-menarik antara laki-laki dan perempuan (Qs Ali Imran [03]: 14). Argumen yang diketengahkan Islam adalah, jika hak atas pemenuhan naluri tersebut dihalang-halangi maka, akan muncul beragam fitnah. Dengan alasan ini pula, Islam tidak mengenal konsep rahbaniyyah. Rahbaniyyah yang berarti tidak bersuami atau beristeri dan mengurung diri dalam biara adalah kebiasaan kaum Nashara.
Dalam ajaran Islam, pernikahan merupakan gerbang menuju hubungan seksual yang sah. Menurut Imam al-Ghazali, sebagaimana dikutip Abdul Halim Abu Syuqqah, diantara salah satu faedah dari pernikahan adalah mengendurkan syahwat. Artinya, pernikahan setidaknya mampu menurunkan dan melepaskan gejolak syahwat, menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Bahkan pernikahan diharapkan dapat membentengi diri dari godaan setan. Baik bagi laki-laki maupun perempuan. Rasulullah saw. bersabda;
"Barangsiapa yang melakukan pernikahan, maka ia telah menjaga separo dari agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia takut kepada Allah pada separo yang lainnya."

Pernikahan tidak hanya sebatas legalisasi hubungan seksual antar pria dan wanita. Tetapi lebih dari itu, Islam memandang bahwa aktifitas hubungan biologis tersebut disamping memiliki kenikmatan, juga sekaligus mempunyai nilai. Kenikmatan tersebut dilukiskan dalam al Qur'an sebagai salah satu kenikmatan dunia yang bersifat langgeng sampai akhirat. Allah swt. berfirman, yang artinya;
"Sesunguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). Mereka dan isteri-isterinya berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan." (Qs Yasin [36]: 55-56)

Hubungan biologis tersebut juga memiliki nilai berharga. Dengan alasan inilah Allah swt. mengikatnya dalam bingkai hak yang sama-sama harus ditunaikan. Baik oleh suami maupun isteri. Rasulullah saw. bersabda;
"Tiada seorang lelaki pun yang mengajak isterinya ke ranjangnya, lantas si isteri enggan memenuhinya, melainkan yang di langit marah kepadanya hingga suami tersebut merelakannya." (HR. Muslim)

Dalam hadits lainnya ditegaskan;
"Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atasmu, jiwamu memiliki hak atasmu, demikian pula isterimu juga punya hak atasmu. Karena itu, berikanlah kepada masing-masing yang berhak akan haknya." (HR. Bukhari)

Sebagai sebuah kebutuhan, pemenuhan terhadapnya berkategori wajib. Walaupun salah satu dari keduanya, baik isteri atau suami tidak menghendakinya. Kecuali jika ada alasan yang dapat ditoleransi oleh syari'ah Islam. Karena Islam memandang pemenuhan terhadap hak-hak individu-individu tersebut sebagai sebuah aktifitas yang mendatangkan pahala di sisi Allah swt.
Dengan alasan ini pula, ajaran Islam mempermudah jalur-jalur hubungan biologis antara kedua pasangan di atas. Karena seksualitas terjadi hanya pada diri laki-laki dan perempuan. Bahkan dalam bentuk pernikahan poligini sekalipun. Memang dalam pernikahan ini kaum pria dapat melakukan hubungan intim lebih banyak, tapi dengan poligini, wanita yang lebih banyak jumlahnya dapat masuk dalam lembaga perkawinan.
Jalan kemudahan dalam hubungan suami isteri tersebut dapat dilihat dalam berbagai bentuk. Seperti, boleh bersenang-senang meskipun disertai adanya usaha untuk menghindari kehamilan, bersenang-senang dengan isteri yang sedang haid tanpa mencampurinya, memperpendek masa berkabung terhadap selain suami , mempersingkat waktu berpergian, diperkenankannya talak bagi laki-laki dan khulu' bagi perempuan, menyegerakan perkawinan bagi wanita yang ditalak setelah habis masa iddahnya , dan lain sebagainya.
Selain mempermudah jalur-jalur hubungan suami isteri, Islam juga meletakkan seperangkat etika dan adab-adabnya. Diantara tatakrama seksualitas tersebut adalah, menjauhi hubungan biologis secara total pada waktu sedang berpuasa, i'tikaf, ihram, haid, tidak mencampuri isteri di duburnya, merahasiakannya, dan cemburu terhadap kehormatan.
Kemudian, selain sebagai sebuah kenikmatan, seksualitas juga memiliki kaitan erat dengan reproduksi. Berdasar pada urgensinya seksualitas dan reproduksi inilah, Islam meletakkan rambu-rambu khusus di dalamnya. Bahkan rambu-rambu tersebut mulai dari masalah pemilihan seorang ayah terhadap calon ibu bagi anak keturunan, atau terhadap siapa sperma (nuthfah)nya akan ditumpahkan. Rasulullah saw. bersabda;
"Pilihlah (wanita/isteri) yang baik untuk menumpahkan nuthfahmu, kawinlah dengan yang sekufu' (sepadan), dan kawinkanlah (putri-putrimu) dengan mereka." (HR. Ibnu Majah)

Keseriusan dalam masalah ini juga menjadi perhatian khusus dari Rasulullah saw. Hal ini dapat pula dilihat dari bagaimana beliau sangat menganjurkan umatnya berprilaku tulus dan luhur dalam memilih calon pasangan yang hendak dinikahi. Nabi saw. bersabda;
"Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang beragama (bagus cara beragamanya), niscaya engkau akan beruntung." (HR. Bukhari dan Muslim)

Terkait dengan hubungan seksualitas dan reproduksi, Colin Spencer menyatakan;
"Tidak ada satu negara pun yang berani berbicara tentang keharusan untuk memisahkan antara seksualitas dengan reproduksi, dan mengajarkan kepada anak-anak bahwa tidak hanya kontrasepsi yang dibutuhkan tetapi juga praktek aborsi yang ada, dan bahwa nafsu seksual adalah sumber kesenangan. Tidak ada satu negara pun yang berani mengajukan pendapat untuk mengajarkan kepada anak-anak kita bahwa homoseksualitas merupakan cara hidup yang dimungkinkan adanya."

Sebagaimana kutipan Dyayadi, Ratna Megawangi memandang bahwa secara alami dan universal dalam suatu keluarga, yang mengandung, melahirkan dan menyusui itu adalah perempuan. Sehingga muncul ikatan kuat antara ibu dan anak dan hal ini membuat naluri wanita condong kepada pengasuhan. Gerakan feminisme tidak percaya akan adanya naluri tersebut. Bahkan mereka menganggapnya bukan sebagai sunatullah, melainkan sebagai sebuah sistem yang terkondisikan oleh sistem patriarki yang bisa dirubah. Bahkan mereka memproklamasikan 'kematian keluarga'.
Amina Wadud, dalam penolakannya terhadap poligini dengan alasan bahwa isteri tidak dapat memberikan anak, Amina justru mengusulkan perolehan anak dengan cara adopsi. Artinya, Wadud menerima dan mengakui adanya naluri terhadap rasa ingin memiliki dan mengasuh anak tersebut.
Allah swt. menciptaan pria dan wanita sebagai mitra yang akan mengelola dan meminpin alam semesta beserta isinya. Pemberian mandat kepeminpinan tersebut secara khusus diberikan kepada Adam. Meminpin (khalifah), berarti ada yang dipimpin. Dalam tafsir Ibn Katsir diterangkan, sebelum diciptakannya Adam sudah ada prediksi dari para malaikat bahwa, Adam akan berkembang biak untuk merealisasikan tugas kepemimpinannya.
Pengembangbiakan manusia tidak terlepas dari peran kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Ada yang berperan sebagai suami dan yang lainnya sebagai isteri. Banyak ayat al Qur'an yang menjelaskan bahwa segala sesuatu diciptakan secara berpasang-pasangan. Termasuk dalam hal ini adalah pria dan wanita. Dari entitas yang berpasangan, tentunya dalam ikatan pernikahan itulah diharapkan lahir seorang anak yang akan melestarikan kehidupan manusia secara berkelanjutan.
Hamil dan melahirkan adalah fitrah universal kaum wanita yang ditolak oleh gerakan feminisme radikal. Lalu mengusulkan lesbianisme sebagai jalan keluarnya. Namun, jika lesbian dianggap sebagai sebuah upaya melawan penindasan dan dominasi laki-laki terhadap para perempuan, kemudian meninggalkan institusi perkawinan maka, pada prinsipnya perempuan terperangkap masalah menuju masalah lainnya yang lebih besar. Dengan demikian, mereka akan kehilangan begitu banyak kesempatan untuk memperoleh kebahagiaannya.
Sebagai contoh, dalam ajaran Islam perempuan selalu dimuliakan apapun derajat dan statusnya. Dalam soal nafkah saja, apapun posisinya, wanita sering menjadi pihak yang diuntungkan. Nafkah bagi mereka yang sudah menikah , ketika sedang hamil, melahirkan, saat menyusui (Qs Ath-Talaq [65]: 6), dan setelah dicerai ada pada suaminya. Bahkan ketika ditinggal mati sekali pun, ia berhak mendapatkan harta warisan dari harta peninggalan suaminya. Kemudian dalam soal kepengasuhan terhadap anaknya, ada ganjaran pahala tersendiri. Ketika sang anak meninggal dunia, juga ada balasan tersendiri. Terlebih jika sang ibu mendahului sang anak, maka akan berlaku hadist Rasulullah saw. yang artinya;
"Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya. Kecuali dari tiga perkara; shadaqah jariyyah, anak shalih yang mendoakan bagi (orang tua)nya, atau ilmu yang bermanfaat baginya."

Di samping itu, dalam ajaran Islam, persoalan pengendalian kehamilan mendapatkan pembahasan secara khusus dalam kitab-kitab fiqih. Bahkan, pada abad ke-9, sebagaimana dikutip Sunardi bahwa al-Jahizh mengemukakan pernyataan yang agak nakal dalam bukunya al-Hayawan;
"Perbedaan antara manusia dan hewan adalah manusia melaksanakan pencegahan kehamilan, sedangkan hewan tidak."

Pada awal-awal Islam, bahkan sampai pada abad ke-20, pencegahan kehamilan yang paling populer dilakukan adalah dengan memraktekkan hubungan terputus (dalam literatur-literatur Islam disebut dengan al-'azl). Namun, dalam melakukan 'azl, Islam meletakkan beberapa alasan syar'i yang dapat diterima.
Menurut Thariq At-Thawari, faktor-faktor yang mendorong seseorang melakukan 'azl yang sejalan dengan syari'ah adalah seperti, ketidak-inginan hamba sahaya perempuannya melahirkan seorang anak, ketidak-inginan isteri yang disetubuhinya mengandung ketika masih dalam proses menyusui karena dapat membahayakan anak yang sedang ia susui, dalam keadaan darurat yang berkaitan dengan kondisi sang isteri, dan kondisi isteri yang menuntut untuk dilakukannya 'azl. Adapun, dalam pandangannya, faktor takut miskin termasuk dalam kategori 'azl yang bertentangan dengan syari'ah.
Di samping itu, adanya fenomena 'azl pada masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya bersifat kasuistik. Mereka tidak melakukannya kecuali pada kondisi darurat, dan ketika hal itu diperlukan oleh keadaan pribadi mereka. Karenanya, tidak ada seruan luas untuk membatasi jumlah keturunan, atau mencegah kehamilan di tengah-tengah masyarakat Islam waktu itu. Sebab, diantara spirit yang berlaku pada era tersebut adalah;
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)." (Qs Hud [11]: 06)

Rasulullah saw. bersabda;
"Kawinilah wanita yang penyayang lagi peranak, karena aku membanggakan banyaknya jumlah kalian." (HR. Nasa'i)

F. Epilog
Lesbianisme merupakan manifestasi dari kebencian wanita terhadap pria yang dibangun oleh feminisme radikal. Gerakan ini, secara langsung maupun tidak, telah mendapatkan legitimasi dari pihak-pihak yang setuju terhadap gerakan tersebut. Terutama oleh mereka yang memang tergolong sebagai pribadi wanita homo, lesbi dan kaum feminis secara umum. Dalam hal ini, mereka memunculkan dalih lain. Yaitu argumentasi demografis. Menurut mereka, kemiskinan penduduk disebabkan oleh kepadatan jumlah penduduk dunia.
Berbeda dengan feminisme radikal dan para penyerunya, Islam justru memandang hubungan antar pria dan wanita sebagai hubungan kemitraan. Patner kemitraan ini terjadi bukan hanya pada sektor domestik, tapi juga pada wilayah publik. Selain itu, dalam pandangan Islam, faktor kemiskinan bukan terletak pada kepadatan jumlah penduduk dunia. Melainkan sebagai akibat dari ketidak-adilan sistem distribusi ekonomi yang diterapkan negara-negara maju. Di samping itu, Islam mejadikan 'azl sebagai solusi atas kehamilan yang tidak dikehendaki. Namun, ia menentang praktek pencegahan kehamilan (juga dengan sendirinya praktek pencegahan kelahiran) tersebut dengan alasan takut miskin. Wallahu a'lam bii al- shawaab!!!

Daftar referensi

Al Qur'an dan terjemahan Depag RI, CV Penerbit Jumanatul `Ali-Art (J-Art), Bandung, 2007.
Abdul Aziz Matnur, Jangan Rendahkan Wanita, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2009.
Abd Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur'an, Kata Kita, Jakarta, 2009.
Abdul Muslih & Shalah Al-Sawy, Maa Laa Yasa'ul Muslima Jahluhu, Maktabah An-Nur Al-Mansurah, Mesir, 1429.
Abdurrab Nuwabuddin Ala Nuwab, 'Amal Al-Mar'ah Waa Mauqif Al-Islam Minhu, Daar 'Ashimah, Riyadh, 1409.
Abidah Al-'Adzm, Kemilau Cahaya Muslimah: Potret Wanita Dalam Al Qur'an dan As-Sunnah, Rabitha Press, Jakarta, 2008.
Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 1, Gema Insani Press, Jakarta, 2000.
___________ Kebebasan Wanita, Jilid 2, Gema Insani Press, Jakarta, 2000.
___________ Kebebasan Wanita, Jilid 5, Gema Insani Press, Jakarta, 2000.
___________ Kebebasan Wanita, Jilid 6, Gema Insani Press, Jakarta, 2000.
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal, Gema Insani Press, Jakarta, 2005.
Al-Mawardi, Al-Hawy Al-Kabir, Daar Al-Kutub Al-'Ilmiyah, Jilid 13, Beirut, 1419.
Amina Wadud Muhsin, Wanita Di Dalam Al Qur'an, Penerbit Pustaka, Bandung, 1994.
Asmaeny Azis, Feminisme Profetik, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2007.
Asyraf Muhammad Dawabah, Muslimah Karir, Mashun, Sidoarjo, 2009.
Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al Qur'an, Gema Insani Press, Jakarta, 2005.
Colin Spencer, Sejarah Homoseksual Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004.
Dyayadi, Kamus Lengkap Islamologi, Qiyas, Yogyakarta, 2009.
Falih Ash-Saghir, Min As'ilati An-Nisa' Lii An-Nabi, Kunuz Isybilia, Riyadh, 1425.
Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa Dalam Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja Seks, dan Seks Bebas di Indonesia, INSIST Press, Yogyakarta, 2007.
Ibn Katsir, Tafsir Al Qur'an Al-'Adzhim, Maktabah Daar At-Turats, Kairo, Ttt.
Ibrahim Mahmud Abdul Radi, Wanita-Wanita Hebat Pengukir Sejarah, Almahira, Jakarta, 2009.
'Inad Al-'Utaibi, Al-Zina waa Al-Khomer Fii Al-Yahudiyah waa Al-Masihiyah waa Al-Islam, Daar 'Aalimi Al-Kutub, Riyadh, 1423.
I.R. Al-Faruqi, Tauhid, Penerbit Pustaka, Bandung, 1988.
Ismael Adam Fatel, Perempuan, Feminisme dan Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2005.
Jalaluddin Al-Mahalli & Jalaluddin Al-Syuyuthi, Tafsir Al Qur'an Al-Adzhim, Daar Al-Fikr, Beirut, 1426.
Jamil Muhammad Mubarak, Nadzhoriyatu al- Darurah Asy- Syar'iyyah Hududuha Wa Dhowabituha, Daar al- Wafa', Mesir, 1424.
Jerry D. Gray, DEADLY MIST: Upaya Amerika Merusak Kesehatan Manusia, Sinergi Publishing, Depok, 2009.
Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005.
Maisar Yasin, Wanita Karir Dalam Perbincangan, Gema Insani Press, Jakarta, 2003.
Malthus et al, Kependudukan: Dilema & Solusi, Buku hasil kumpulan Artikel, Nuansa, Bandung, 2007.
Mohammad Monib & Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Muhammad Baltaji, Makanatu Al-Mar'ah Fii Al Qur'an Al-Kariim Waa As-Sunnah Ash-Shahihah, Daar As-Salaam, Kairo, 1420.
Muhammad Fu'ad al-Razi, Hijab al-Muslimah Baina Intihaal al-Mubthiliin Waa Ta'wil al-Jahiliin, Adhwa' al-Salaf, Riyadh, 1426.
Muhammad Imarah, Meluruskan Salah Paham Barat Atas Islam: Kritik Di Balik Hegemoni Wacana Barat Atas Islam, Sajadah Press, Yogyakarta, 2007.
Muhammad Nurhidayat, Muslimah Yang Ternoda, Mihrab, Jakarta, 2008.
Muhammad Shalih Al-'Utsaimin, Al-Ushul Min 'Ilmi Al-Ushul, Maktabah Al-Ma'arif, Riyadh, 1403.
Muqshit Ghazali dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, Buku hasil kumpulan Artikel, LKiS, Yogyakarta, 2002.
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al Qur'an, Paramadina, Jakarta, 2001.
Rama Azhari & Putra Kencana, Membongkar Rahasia Jaringan Cinta Terlarang Kaum Homoseksual, Hujjah Press, Jakarta, 2008.
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?:Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, Mizan Pustaka, Bandung, Ttt.
Salim bin 'Ied al-Hilaly, Shahih Qhoshosh Al-Anbiya', Gharras, Kuwait, 2005.
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Daar Al-Fikr, Jilid 2, Libanon, 1403.
Shalih al-Fauzan, Tanbihaat 'Ala Ahkaam Takhtasshu Bi Al-Mu'minaat, Daar Al-Aqidah, Kairo, 1429.
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan Dalam Timbangan Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2004.
Syarif Muhammad Abdul Adhim, Wanita Dalam Pandangan Islam, Ttt, Ttt.Ttt.
Thariq At-Thawari, KB Cara Islam, Aqwam, Solo, 2009.
Triana Ahdiati, Gerakan Feminis Lesbian, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2007.
'Udnan Al-Wazzan, Mausu'ah Huquuq Al-Insaan Fii Al-Islam Waa Simatuha Fii Al-Mamlakah Al-'Arabiyyah Al-Su'udiyyah, Jilid 5, Mu'assasah Ar-Risalah, Beirut, 1425.
Yahya Al-Hajuri, Kasyf Al-Wa'tsaa' Bizajri al-Khubatsaa' ad-Daa'iina Ilaa Musawamati an-Nisa' Bii al-Rijaal wa Ilgha'i Fawaariq al-Untsa, Daar Al-Atsar Yaman, 1424.
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam Al Qur'an; Studi pemikiran para mufassir, Labda Press Yogyakarta, 2006.
Zakir Naik dkk, Mereka Bertanya Islam Menjawab, Aqwam, Solo, 2009.

Jurnal, majalah, Website
Ester Mariani Ga "Lesbian Dalam Penafsiran Agama," Jurnal Perempuan, 58 :2008.
"Indahnya Kawin Sesama Jenis," Jurnal Justisia 25: 2004.
Mohamad Guntur Romli, "Lesbian Dalam Seksualitas Islam," dalam Jurnal Perempuan, No. 58 Edisi Maret 2008.
Musdah Mulia, "Allah Hanya Melihat Taqwa, Bukan Orientasi Seksual Manusia," dalam Jurnal Perempuan, No. 58 Edisi Maret 2008.
Sumanto al-Qurtuby, "Agama dan Problem Homoseksual," dalam Jurnal Justisia, Edisi 25 Tahun XI 2004.
Wulandari Eka Sari "Menyongsong Konferensi Kependudukan, Apa Agenda Kita?" Jurnal Al-Insan 1: 2005.
Majalah al-Wa'ie, no. 64 Tahun VI, 1-31 Desember 2005, hal. 13
Majalah al-Wa'ie, no. 64 Tahun VI, 1-31 Desember 2005, hal. 49
Http://Dunia.Vivanews.Com/News/Read/123154,Instruksi_Pemerintah__Pulang_Dan_Buatlah_Bayi, diakses pada Kamis, 21 Jan 10 11: 55 WIB



Pengunjung