Oleh: Adian Husaini
Louann Brizendine, M.D., adalah seorang dokter syaraf di University of California, San Francisco, AS. Lulusan Fakultas Kedokteran Harvard ini belakagan popular melalui bukunya, berjudul The
Female Brain dan The Male Brain. Melalui penelitian dan pengalamannya yang panjang, selama 25 tahun sebagai dokter, Brizendine menemukan bahwa sejak awal mula kelahirannya, laki-laki dan perempuan sudah memiliki berbagai perbedaan. Bukan hanya fisik, tetapi juga otak, sifat dan perilakunya.
Simaklah paparan Dokter Brizendine berikut ini:
“Otak laki-laki dan perempuan berbeda sejak masa kehamilan. Jelas kalau kita mengatakan bahwa semua sel di dalam otak dan tubuh laki-laki adalah laki-laki. Tetapi, ini berarti ada perbedaan, di setiap tingkatan dari setiap sel, antara otak laki-laki dan perempuan. Sel laki-laki memiliki kromosom Y dan otak perempuan tidak memilikinya. Itu perbedaan kecil. Perbedaan penting mulai terjadi di awal pembentukan otak, ketika gen menetapkan tahapan untuk proses pembentukan tahapan DNA lebih lanjut oleh hormon. Delapan minggu usia kehamilan, testikel laki-laki mungil mulai menghasilkan testosteron yang cukup banyak untuk merendam otak dan pada dasarnya mengubah strukturnya. Selama kehidupannya, otak laki-laki akan dibentuk dan dibentuk ulang sesuai dengan cetak biru yang dirancang oleh gen dan hormon seks laki-laki. Dan, biologi otak laki-laki ini menghasilkan perilaku laki-laki yang unik.” (Louann Brizendine, Male Brain, Mengungkap Misteri Otak Laki-laki, Jakarta: Ufuk Press, 2010, hal.13-14).
Lebih jauh, Louann Brizendine mengungkapkan: “Di dalam otak perempuan, hormon estrogen, progresteron, dan oksitonin memengaruhi sirkuit otaknya terhadap perilaku khas perempuan… Dampak perilaku dari hormon pria dan wanita pada otak sangat besar.” (hal. 15)
Perbedaan otak laki-laki dan perempuan dipertegas lagi oleh Dokter Louann Brizendine:
“Laki-laki juga memiliki pusat otak yang lebih besar untuk tindakan yang memerlukan otot dan agresi. Area otak untuk melindungi pasangan dan mempertahankan wilayah yang menjadi tindakan utama dimulai pada masa pubertas. Masalah struktur kekuatan dan hierarki lebih berpengaruh bagi laki-laki daripada yang disadari banyak perempuan. Laki-laki juga memiliki pemroses yang lebih besar di inti bidang otak yang paling primitif, yang menyalakan rasa takut dan memicu agresi protektif, yaitu amigdala.” (hal. 17).
Brizendine mengungkapkan cerita menarik seputar perilaku anak laki-laki dan perempuan yang ternyata memiliki perbedaan unik. Soal memilih permainan anak-anak, misalnya. Ternyata anak laki-laki dan perempuan sudah memiliki kecenderungan alamiahnya masing-masing. Suatu ketika, David (4 tahun), anak laki-lakinya, diberinya mainan mobil-mobilan berwarna lembayung muda. Tanpa diduganya, David melemparkan mainan itu ke dalam kotak. “Itu mobil anak perempuan,” ujarnya. Lalu, ia mengambil mobil berwarna merah terang dengan strip hitam, sambil berkata: “Ini mobil anak laki-laki!”
Menurut Dokter Brizendine, para peneliti sudah menemukan bukti, bahwa anak laki-laki pada usia empat tahun cenderung menolak mainan anak perempuan dan bahkan mainan dengan “warna perempuan” seperti warna merah muda. Saat anaknya berumur 3,5 tahun, sengaja dia memberinya banyak mainan anak perempuan. Sebagaimana kaum feminis lainnya, ia berharap, anak laki-lakinya tidak bersikap agresif dan lebih kooperatif. Suatu ketika, anaknya dibelikan boneka Barbie. Ia berharap, anaknya akan senang menerimanya. Tetapi, harapannya sia-sia.
“Begitu dia mengeluarkan boneka itu dari kemasan, dia menggenggam tubuh boneka itu dan menghunuskan kaki boneka itu ke udara seperti sebuah pedang. Dia berteriak, “Eeeeehhhhh, rasakan!” ke sejumlah musuh khayalannya. Saya agak kecewa karena saya adalah bagian dari generasi feminis gelombang kedua yang telah memutuskan bahwa kami akan membesarkan anak laki-laki yang peka dan tidak agresif atau terobsesi dengan senjata serta persaingan.” (hal. 39-40).
Menurut Louann Brizendine, sikap dan perilaku anak laki-lakinya hanyalah praktik dari otak laki-lakinya untuk melindungi diri secara agresif. Mainan khas “anak perempuan” yang diberikannya, tidak membuat anaknya menjadi lebih “feminin”. Tindakan untuk memberikan mainan anak laki-laki ke anak perempuan pun tidak membuat si anak menjadi lebih maskulin.
Para peneliti, papar Brizendine, mencoba meneliti perbedaan sikap laki-laki dan perempuan itu lebih mendasar lagi, dengan melakukan penelitian pada otak monyet muda. Sebab, monyet tidak terbiasa dengan permainan yang membedakan gender “maskulin” atau “feminin”. Kata mereka, ini akan menjadi bahan penelitian yang bagus.
Lalu, dibuatlah model penelitian yang unik. Monyet-monyet jantan dan betina muda diberikan dua jenis pilihan mainan. Mereka disuruh memilih mainan kendaraan beroda dan boneka manusia yang mewah. Hasilnya? Ternyata, monyet jantan – semuanya -- memilih mainan beroda; dan monyet betina memilih bermain dengan boneka manusia dan mainan beroda pada periode waktu yang sama.
*****
Bagi kita yang meyakini kebenaran ajaran Islam, temuan-temuan Louann Brizendine itu memberikan indikasi yang kuat bahwa memang ada perbedaan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, Allah Yang Maha Kuasa telah memberikan peran dan tanggung jawab yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, kaum Muslimat yang memahami agamanya dengan baik dan ridha dengan kondisi fitrahnya sebagai perempuan, tidak mempersoalkan pembedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan.
Dalam konsep Islam, laki-laki dan perempuan sudah setara. Mereka setara di hadapan Allah. Siapa saja yang beriman dan beramal shaleh, akan dapat pahala dari Allah. Tiada beda laki-laki dan perempuan. Tetapi, Islam juga memberikan tugas, peran, dan tanggung jawab yang berbeda dalam beberapa hal. Karena itulah, kaum Muslimah pada umumnya tidak memandang keaktifan di luar rumah sebagai bentuk kegiatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas sebagai ibu rumah tangga, pendamping suami, dan pendidik bagi anak-anaknya.
Bahkan, Rasulullah SAW dalam beberapa hadis menekankan derajat ketinggian seorang Ibu dibandingkan dengan seorang ayah. Ketika seorang bertanya kepada Rasul SAW, siapa yang harus dia hormati, sebanyak dua kali, Rasul SAW menjawab: “Ibumu!” Yang ketiga, baru dijawab: “Ayahmu!” Rasulullah SAW juga menegaskan, keridhaan Allah terletak pada keridhaan kedua orang tua (walidain), dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan kedua orang tua. Dalam hal ini, ayah dan ibu diposisikan begitu tinggi di hadapan seorang anak.
Itulah cara pandang seorang Muslim atau Muslimah yang memahami agamanya dengan baik dan ridha akan peran yang diberikan Tuhannya. Tetapi, tidak demikian halnya jika seseorang sudah terjangkiti virus Kesetaraan Gender atau feminisme liberal, yang memandang perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam kacamata penindasan terhadap perempuan. Dr. Katherine Bullock, dalam bukunya, Rethinking Muslim Women and The Veil, (London: The International Institute of Islamic Thought, 2002), menulis tentang masalah ini: “Many feminists argue that to believe in male-female differences is to accede to women’s oppressions, because it is these differences that have been used to stop women from realizing their potential.” (hal. 58).
Jadi, menurut Dr. Bullock, banyak perempuan feminis berpendapat, bahwa pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai cara untuk mematikan potensi perempuan. Cara pandang semacam ini, menurut penelitian Dr. Bullock, sangat berbeda dengan cara pandang banyak kaum Muslimah yang dia temui. Muslimah punya cara pandang tentang “kesetaraan” (equality) yang berbeda dengan konsep kesetaraan kaum feminis. Menurut muslimah, tulis Doktor Filsafat Politik dari University of Toronto Kanada, ini: “the principal definition of equality was how human beings stood in relation to God.” Al-Quran dengan tegas menyatakan, bahwa laki-laki dan perempuan adalah “setara” (equal) di hadapan Allah.
Sayangnya, konsep “Kesetaraan” antara laki-laki dan perempuan dalam Islam seperti ini, sepertinya diabaikan begitu saja dalam penyusunan draft RUU-Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG), sehingga dibuat definisi: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” (pasal 1:2).
Jadi, “kesetaraan” dalam draft RUU-KKG ini bermakna “kesamaan kondisi dan posisi” laki-laki dan perempuan di semua bidang kehidupan. Karena itulah, seperti kita bahas dalam CAP ke-333 lalu, para aktivis KKG ini mengejar kesamaan peran secara nominal sebanyak 50:50 antara laki-laki dan perempuan, seperti disebutkan dalam pasal 4 ayat 2 RUU-KKG yang menyebutkan: “perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30 % (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislative, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.”
Jika ada yang tidak mendukung cara pikir semacam ini, maka akan diberikan cap “bias gender” atau “diskriminasi gender”. Kaum pegiat KKG ini juga biasa merujuk kepada UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, akan makna “diskriminasi terhadap perempuan”, yang diartikan: “setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau bertujuan untuk mengurangi, menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia, dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, sipil, dan lain-lain, terhadap perempuan.”
Jurnal Perempuan edisi 47, membuat tafsir terhadap makna “diskriminasi” yang melanggar Undang-undang, diantaranya adalah ketentuan dalam RUU-Anti Pornografi dan Pornoaksi yang membedakan antara dada laki-laki dan perempuan, dimana ada keharusan perempuan untuk menutupi dadanya. Sementara laki-laki tidak diharuskan. Jurnal ini menulis: “RUU-APP secara nyata mendiskriminasi perempuan. Sebagai contoh, dengan dicantumkannya definisi mengenai bagian tubuh tertentu yang sensual yaitu “sebagian payudara perempuan”. Sementara sebagian payudara laki-laki tidak dikatakan sensual.” (hal. 36-37).
Kita yang masih normal insyaAllah paham, bahwa dada laki-laki memang berbeda dengan dada perempuan, yang dari asalnya sana memang sudah memiliki payudara. Karena itulah, hanya perempuan – dengan payudaranya – yang bisa menyusui bayi. Logika kita mengatakan, perintah untuk menyusui bayi, diberikan Allah kepada kaum perempuan, bukan kepada kaum laki-laki. Karena itu pula, Allah SWT memerintahkan wanita mukminat untuk mengulurkan kerudungnya menutupi dadanya. Perintah menutupi dada dengan kerudung seperti itu tidak disampaikan kepada kaum laki-laki. Di dalam Perjanjian Baru, Kitab Korintus, perintah berkerudung juga diberikan hanya kepada perempuan.
Maka sungguh sulit kita pahami bahwa aktivis KKG di Jurnal Perempuan minta agar kondisi dada laki-laki disamakan dengan dada perempuan! Jika soal “dada” saja, para aktivis KKG ini minta disamakan antara laki-laki dan perempuan, bisa kita pahami, bahwa mereka minta disamakan dalam semua bidang kehidupan.
Walhasil, kita sungguh-sungguh tidak paham dengan cara berpikir aktivis KKG seperti ini. Tapi, jika merujuk kepada penelitian Dr. Louann Brizendine, mungkin monyet lebih paham! Wallahu a’lam bil-shawab.*/Bogor, 13 April 2012