Minggu, 15 April 2012

Al Quran dihinakan

Oleh: Lilik Mursito
(Peserta PKU angkatan ke 3 ISID Gontor Ponorogo)


Judul : Hermeneutika al Quran
Penulis : Fahruddin Faiz
Penerbit : eLSAQ Press, Yogyakarta, 2005
Tebal : 213 hlm.

Pendahuluan
Islam, sebagai salah satu peradaban besar yang eksis di muka bumi mengalami pasang surut dalam perjalanannya mengarungi kehidupan ini. Sebagai salah satu ideologi besar, islam tidak hanya masuk dalam ranah politik, namun mencakup segala bidang yang bersinggungan dengan kehidupan manusia. Itulah salah satu bukti sifat universal yang dimiliki islam.

Salah satu sisi kehidupan yang dimasuki oleh islam adalah masalah keilmuan. Geliat ilmiyah dalam dienul islam naik-turun silih berganti, tidak stagnan dalam perjalanannya semenjak awal kemunculan hingga saat ini. Dari semenjak zaman Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam kemudian berlanjut pada era khulafaurrasyidin, dan terus berlanjut pada masa tabi’in, tabi’ut tabi’in, para ulama madzahib, lalu ulama mutaakhirin sampai sekarang ini. Islam telah melalui berbagai model zaman, serta mengalami zaman keemasan, begitu juga zaman kemunduran.
Al Quran sebagai salah satu sumber utama dalam islam, seiring dengan perubahan serta perkembangan zaman tidak terlepas dari dampak yang ditimbulkan dari tidak stagnannya suhu ilmiyah yang mengalami pasang surut. Mengingat pula bahwa al Quran adalah sumber ilmu bagi umat islam.
Mengingat nilai sakral al Quran sebagai kitab suci, lebih spesifik lagi mengingat kedudukan al Quran sebagai sumber dienul islam, ternyata didapati berbagai variasi pemikiran dan penafsiran, yang didasari adanya silang pendapat yang terjadi diantara para pemikir. Yaitu tentang posisi transendental wahyu al Quran yang bersifat abadi dan kekal disatu sisi dengan sisi historitas budaya arab disisi lain.
Keadaan yang demikian itu tidak hanya terjadi pada masa sekarang ini, namun telah terjadi pula pada zaman-zaman para salafus shalih. Semua itu tidak terlepas dari 2 unsur utama dalam kehidupan, yaitu identitas dan pluralitas. Baik itu yang bernilai positif ataukah bernilai negatif. Perdebatan klasik yang telah ada misalnya yang terjadi dikalangan mutakallimin tentang apakah al Quran itu Qadim ataukah baru. Sedangkan salah satu isu yang banyak menimbulkan kontroversi pada era modern ini adalah tentang hermeneutika, yang kali ini menjadi sentral pembahasan.
Fahrudin Faiz adalah seorang mahasiswa produk asli hasil olahan UIN karena menyelesaikan S1, S2 serta S3-nya di kampus yang sama, yaitu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia aktif sebagai dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, ia juga dipercaya sebagai pengelola dua jurnal di fakultas tempatnya mengajar, yaitu Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin Esensia dan Jurnal Filsafat dan Pemikiran Keislaman Refleksi.
Fahrudin Faiz bukan seorang ahli hermeneutika atau apalagi ilmu-ilmu al Quran, adapun disiplin ilmu yang dia geluti adalah filsafat. Dalam pergumulannya dengan ilmu filsafat dia bertemu dengan salah satu isu kontemporernya yaitu hermeneutika. Dan akhirnya dia tertarik untuk menjadikannya sebagai sentral pembahasan dalam tugas akhir. Dengan proses sejarah tertentu tulisannya tersebut diterbitkan menjadi buku dengan judul yang cukup menantang yaitu “Hermeneutika al Quran”.
Selain berbagai tulisan di jurnal ilmiah, beberapa karyanya yang pernah dipublikasikan dalam bentuk buku antara lain adalah Hermeneutika Qur’ani: antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi (Qalam, 2001), Filosofi Cinta Kahlil Gibran (Tinta, 2002), Tafsir Baru studi Islam dalam Era Multi-kultural (co-author, Kurnia Kalam Semesta, 2002), Fritjhof Schuon, Transfigurasi Manusia (Terjemahan, Qalam 2002), Anthony Kenny, Bertuhan ala Filsuf (terjemahan, Qalam 2003), Aku Bertanya Maka Aku Ada (Qalam, 2004), Risalah Patah Hati (Tinta, 2004) dan Aku Berpikir Maka Aku Tertawa (Terjemahan, Khazanah, 2005).

Kandungan Buku
Pengarang buku ini bukan seorang ahli hermeneutika atau ahli tafsir, Fahrudin Faiz adalah seseorang yang lebih banyak berkecimpung di dunia filsafat. Sehingga tidak heran jika penerbit buku ini berkomentar bahwa buku ini “terlalu filosofis”, satu ungkapan yang penulis sendiri tidak dapat memahami maksudnya. Terdorong rasa ingin tahu dan begitu banyaknya respon yang muncul ketika membahas masalah hermeneutika, sehingga Fahrudin Faiz tertarik untuk lebih memperdalamnya. Buku ini ditulis selain sebagai tugas akhir akademi, juga sebagai upaya untuk menyinergikan antara metodologi hermeneutika dengan al Quran sebagai pengganti ilmu tafsir yang dinilai sebagai langkah mundur yang tersistematisir.
Buku yang setebal 213 halaman ini terdiri dari 12 bab termasuk diantaranya 3 pengantar dari penerbit lalu penulis dan terakhir dari Prof. Dr. Amin Abdullah. Untuk bab pertama diberi judul “apa yang diberikan Hermeneutika terhadap ilmu tafsir al Quran”. Didalamnya mencakup 3 sub judul, yang pertama berupaya memahami definisi Hermenutika. Sub judul yang kedua mengkaitkan antara Hermeneutika dan ilmu tafsir al Quran. Sedangkan untuk sub yang selanjutnya membahas tentang urgensi hermeneutika terhadap tafsir al Quran, yaitu memberikan sumbangan pemahaman yang lebih komprehensif dengan menimbang dimensi konteks. Dan secara aktif melakukan kontekstualisasi serta menumbuhkan sebuah kesadaran yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat, yaitu kesadaran pluralitas.
Bab kedua berjudul “Anti Hermeneutika: antara yang phobia dan yang ilmiah”. Bab ini tersusun dari 2 sub judul. Yang pertama memaparkan tentang argumen-argumen kelompok yang anti hermeneutika, ada dua argumen umum yang dia paparkan. Yaitu berkaitan dengan sisi historitas hermeneutika dan kemapanan islam dengan ilmu tafsirnya. Begitu juga argumen-argumen yang lain. Kemudian pada bab berikutnya berupa catatan-catatan dari argumen-argumen tadi. Dalam hal ini Fahrudin Faiz banyak memberikan komentar pembelaan terhadap pendukung hermeneutika. Catatan ini dimulai dengan menyingkap kekhawatiran yang pernah ada dengan hadirnya ilmu filsafat dalam ilmu teologi. Karena hermeneutika dianggap sebagai bagian dari filsafat.
Bab ketiga berjudul “Perkelahian Pemaknaan Seputar Jargon kembali kepada al Quran Hadits”. Ini terdiri dari 2 sub judul, sub yang pertama memuat tentang pemaparan dan kritikan penulis buku terhadap paham jargon “kembali kepada al Quran Hadits” dari kelompok-kelompok yang ditulisnya. Diantaranya salafiyah-wahabiyah, modernis atau pembaharu, madzhabiyah dan kontemporer. Kritikan yang diutarakan berkisar antara sifat truth claim, terlalu exklusif, memberhalakan teks, ditindas oleh teks dan lain sebagainya yang cenderung bernada sentimentil. Selanjutnya pada sub yang kedua membahas tentang makna jargon tersebut menurut hermeneutika. Yaitu adanya asumsi dasar pluraritas dalam menafsiri dan mentakwil. Sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim kebenaran. Karena setiap orang adalah anak zamannya, hasilnya konstruksi ruang dan waktunya sendiri.
Bab keempat berjudul “kandungan al Quran dan kritik originalitas Islam”. Bab ini terdiri dari 4 sub bab. Tiga sub yang pertama secara berurutan membahas tentang kondisi politik, religious, sosial-budaya dan ekonomi Arab pra Islam. Selanjutnya pada sub yang terakhir yang berjudul “Historisisme: antara bias dan penciptaan image” mengulas tentang bagaimana mendudukkan deskripsi yang ditampilkan oleh penulis buku pada 3 sub yang pertama tadi. Karena ulasan pada 3 sub yang pertama ditampilkan hasil penelitian dari para orientalis yang nota bene kurang objektif dalam memberikan penilaian, nilai universalitas dari Islam kurang ditampilkan atau bahkan dinegasikan. Dan pembacaan yang terlalu historisisme akan menimbulkan image bahwa Islam adalah hasil jiplakan dari Yahudi dan Kristen.
Selanjutnya dalam penutup bab keempat Fahrudin memberikan warning sebagai pembelaan terhadap hermeneutika. Disamping adanya keharusan untuk memahami Islam dari sisi historitas, umat Islam harus bisa memilah dan memilih antara yang bernilai “lokal” dan “universal”. Dan tetap berusaha memahami nash syari secara kontekstual serta tidak merasa benar sendiri.
Berikutnya bab kelima yang berjudul “Al Quran produk budaya”. Bab ini tersusun dari 2 sub judul. Pertama berjudul “Abu Zaid dan isu kontroversialnya”. Pada sub ini dipaparkan tentang Abu Zaid dan statemennya yang banyak mengundang kontroversi diantara ulama. Pada hakikatnya Abu Zaid ingin mengatakan bahwa ketika al Quran turun kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dengan tradisi dan budayanya, maka al Quran telah memasuki wilayah kesejarahan manusia. Jadi, merupakan keniscayaan bagi al Quran untuk memakai struktur tata bahasa dan budaya arab untuk menyampaikan misi risalahnya melalui Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Untuk sub bab selanjutnya berjudul “Memahami Aspek-aspek Keberadaan al Quran”. Dalam sub ini penulis membahas tentang dimana dan kapan saja al Quran dikatakan sebagai produk budaya. Dengan melihat 4 aspek yang ada. Selanjutnya penulis buku ini membuat kesimpulan untuk menetralisir isu yang ditimbulkan oleh Abu Zaid. Yaitu dengan melakukan penafsiran terhadap statemennya “al Quran adalah produk budaya”. Abu Zaid hanya sekedar meminjam variabel “budaya” untuk memunculkan ide-ide ketuhanan. Serta kesimpulan lain yang bernada membela pendapat Abu Zaid.
Bab keenam berjudul “Muhammad Vis A Vis al Quran: Dialektika Otoritas dan Humanitas”. Bab ini membahas tentang fenomena turunnya wahyu kepada Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dan kenabian beliau, mungkinkah beliau melakukan intervensi terhadap wahyu tersebut. Bab ini terdiri dari 2 sub bab, pertama berjudul “perdebatan klasik tentang kewahyuan al Quran dan kenabian Muhammad” yang memuat tentang upaya yang dilakukan untuk menguji al Quran sebagai wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Ada 2 kelompok besar dari kaum orientalis yang berupaya menguji otoritas kewahyuan al Quran dengan menggunakan pendekatan historisisme dan fenomenologis. Pendekatan historisisme mereduksi fenomena kenabian dan kewahyuan sebagai sekedar entitas sejarah belaka. Sedangkan pendekatan fenomenologis mereduksinya sebagai entitas natural-subjektif belaka.
Sub kedua berjudul “Relasi al Quran, Muhammad dan Umatnya”. Dalam sub ini dikatakan bahwa menurut Immanuel Kant seseorang harus menyisakan ruang khusus dalam dirinya untuk “keimanan”. Karena sehebat apapun analisis pasti ada kelemahan dan tidak bisa menjangkau ranah religi. Sehingga disimpulkan, untuk menjawab pertanyaan apakah al Quran itu wahyu atau tidak?, dikembalikan kepada asumsi dan pendirian awal yaitu apakah dia beriman atau tidak. Lebih jauh lagi didiskusikan tentang kedudukan ganda dari Rasulullah. Disatu sisi sebagai spokesman of god, dalam hal ini beliau hanya sekedar penyampai saja. Sedangkan kedudukan beliau sebagai dasein menyisakan persoalan. Disatu sisi sebagai manusia yang historis dan disisi lain sebagai representasi dari al Quran, apalagi dengan sifat ma’shum yang beliau miliki. Akhirnya terbagi menjadi dua kelompok dengan sudut pandang yang berbeda. Yaitu holistika yang mengharuskan untuk mengikuti seluruh perilaku beliau secara harfiyah, berikutnya adalah substantif yang berpendapat tidak semua yang berasal dari beliau diikuti, namun dibagi menjadi 2 hal, yang bernilai ibadah harus diikuti secara harfiyah. Sedangkan yang bersifat sosial budaya dan kemanusiaan hanya diikuti aspeknya saja bukan dhohirnya.
Selanjutnya diakhiri oleh Fahrudin dengan paparannya untuk menghilangkan sifat truth claim. Dan harus ada dialog antara otoritas al Quran sebagai wahyu dan humanitas Muhammad sebagai manusia agar terjadi keseimbangan.
Bab ke 7 dari buku ini berjudul “Mencermati logika penyesatan dengan dalih al Quran”. Fahrudin memulai ulasannya dengan sifat dasar yang dimiliki manusia yaitu rasa ingin tahu dan ingin mencari kebenaran. Klaim kebenaran akan membuat 2 hal ini terkungkung sehingga berimplikasi pada kemandegan budaya serta menimbulkan ekspresi yang tidak diinginkan atas nama agama. Pada sub yang pertama berjudul “fenomena penyesatan dalam islam”, didalamnya diulas tentang fenomena “penyesatan” dalam islam menurut Fahrudin, yang telah ada semenjak Rasulullah wafat. Kemudian bergulir silih berganti pada generasi berikutnya, dari yang bernuansa politis sampai ideologis. Selanjutnya dalam sub kedua yang berjudul “al Quran sebagai dalih utama dalam argumen penyesatan”, diterangkan bahwa al Quran sebagai pondasi sentral bagi umat muslim dijadikan sebagai dalih untuk menyesatkan orang lain dalam rangka menjustifikasi ideologi pribadi atau kelompok yang dianggap paling benar. Klaim kebenaran dengan dalih al Quran tersebut menegasikan pluralitas yang ada dalam umat ini.
Selanjutnya dalam sub ketiga yang berjudul “mencermati akar penyesatan dan memposisikan keragaman”. Dijelaskan oleh Fahrudin bahwa akar penyesatan terhadap orang lain bersumber dari ketidaksadaran akan kekhususan konteks ideologi dan historitas setiap orang, begitu juga halnya dengan pluralitas. Sehingga melahirkan sifat fanatisme disebabkan beberapa factor yang berujung pada penyesatan terhadap orang lain. Sementara untuk menyikapi keragaman yang ada, Fahrudin meminjam klasifikasi Habermas tentang horison keilmuan manusia, beserta teori komunikasinya. Dan akhirnya berujung pada keharusan untuk membentuk satu komunitas yang tidak mengasumsikan hegemoni, superioritas dan subordinasi diantara mereka.
Lebih lanjut dikatakan bahwa manusia tidak ada yang sempurna dan menggenggam kebenaran yang final. Namun kebenaran yang final itu ada dalam al Quran. Hanya saja tidak ada manusia yang dapat memahaminya sederajat dengan sumbernya.
Bab ke 8 berjudul “Nalar Qurani : prinsip-prinsip yang sering terlupakan”. Didalamnya mencakup 3 sub pembahasan. Pertama berjudul “Manusia dan keniscayaan bernalarnya”. Ringkasnya dalam sub ini Fahrudin menjelaskan bahwa manusia itu berpikir. Pola pikir masing-masing orang atau suatu komunitas itu terbatas oleh waktu dan ruang. Pola pikir yang diikuti oleh komunitas lain disebut dengan nalar (pola berpikir). Sub kedua berjudul “al Quran dan urgensi pembumiannya”, al Quran merupakan sumber utama bagi umat islam, dengan membumikannya maka akan mampu merespon 2 asumsi dasar. Asumsi pertama, ia sebagai petunjuk bagi manusia harus selalu dapat memberikan bimbingan kepada mereka. Asumsi kedua, al Quran itu bersifat universal, lantas bagaimana agar pesan-pesannya dapat dipahami dan diterapkan oleh semua orang disetiap waktu dan tempat. Sub ketiga berjudul “Prinsip-prinsip Dasar nalar Qurani”. Ada 2 klasifikasi besar dari pola untuk membumikan al Quran, yaitu penerapan secara harfiah dan merumuskan nilai-nilai dasar ideal yang termuat dalam al Quran untuk diterapkan saat ini. Namun sebelumnya peru dirumuskan seperangkat tata nalar yang menjadikan al Quran sebagai landasan operasional. Diantara prinsip-prinsip dasar untuk merumuskan hal tersebut adalah tauhid, ibadah dan khilafah, ta’aruf dan tasabuq serta wasit.
Bab terakhir dari buku ini berjudul “Ayat-ayat kauniyah: membaca sisi tak terbaca dalam peradaban qouliyah”. Dijelaskan oleh Fahrudin bahwa umat islam lemah dalam penguasaan ladang-ladang non teks dari sumber agama islam. Maksudnya adalah al Quran dengan ayat-ayat kauniyah dan qouliyahnya. Sehingga memicu kemunduran bagi umat islam.
Bab ini terdiri dari 3 sub bab. Pertama berjudul “Melahirkan peradaban ilmiah islam: sebuah kegelisahan akademik”. Dipaparkan didalamnya data-data yang menunjukkan kemunduran ilmiah kaum muslimin berikut beberapa faktor penyebabnya. Kedua berjudul “Apologi kesesuaian al Quran dan sains”. Diterangkan bahwa umat islam mulai sadar akan kebutuhannya terhadap sains barat ketika Napoleon Bonaparte masuk ke mesir pada abad 18. Namun dihadapkan dengan dilema yang ada berupa kerusakan etika dan adab bangsa barat. Maka menurut Muzhoffar solusinya adalah membangun pondasi metafisikal yang digali dari al Quran. Kemudian dalam sub ketiga yang berjudul “” dijelaskan tentang berbagai wacana islamisasi ilmu. Dan akhirnya dalam upaya membangun kembali peradaban ilmiah umat islam, dengan menimbang factor ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu tersebut, sebenarnya yang harus diperhatikan adalah bagaimana cara untuk melahirkan para ilmuwan muslim yang professional di bidangnya sekaligus memiliki integritas intelektual, moral dan religious. Ringkasnya yang diislamkan adalah ilmuwannya, bukan ilmunya.

Hermeneutika dan Tafsir Al Quran

Hermeneutika, tema kontemporer yang tengah mencuat saat ini. Apalagi jika dikaitkan dengan Al Quran, yang merupakan sumber keyakinan utama Umat Islam. Lebih spesifik lagi dalam kaitannya dengan Tafsir Al Quran. Tentunya bersinggungan pula dengan Ulumul Quran, bidang ilmu yang memuat tentang Al Quran.
Secara terminologi hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermenuin yang berarti “menafsirkan”. Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah seorang dewa Yunani, Hermes, yang dianggap sebagai utusan para dewa bagi manusia.(P4) Beberapa kajian menyebut bahwa Hermeneutika adalah “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti”.(P5) Ini adalah pengertian hermenutika secara umum. Dan secara lebih luas Hermeneutika didefinisikan oleh Zygmunt Bauman sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar dan pembaca.(P5)
Fahrudin mengakui bahwa walaupun hermenutika dapat dijadikan sebagai alat untuk mentafsirkan, namun jika dilihat sejarah kelahiran dan perkembangannya peran hermenutika yang paling besar adalah dalam hal sejarah dan kritik teks, khususnya kitab suci. (P12) Memang, istilah hermenutika baru muncul dalam beberapa dekade terakhir, dan tidak pernah didapatkan dalam kitab klasik. Dengan mengutip pendapat Farid Essack yang menyatakan bahwa praktek hermeneutic sudah dilakukan oleh umat islam terdahulu. Yaitu dengan adanya kajian tentang asbabun nuzul, perbedaan komentar aktual dalam tafsir serta adanya tafsir tradisional yang tersusun dalam berbagai kategori seperti tafsir syiah, mu’tazilah, hukum dan sebagainya. (lihat P13)
Perlu diketahui, bahwa menurut Fahrudin Faiz asumsi paling mendasar dari hermeneutika ini sebenarnya telah jelas, yaitu adanya pluralitas dalam proses pemahaman manusia. Pluralitas yang dimaksud sifatnya niscaya, karena pluralitas tersebut bersumber dari keragaman konteks hidup manusia.(P5) Berdasar dari keragaman tersebut, maka hermenutika memberikan tawaran perpekstif baru dalam Ilmu Tafsir. Secara umum tawaran itu adalah kesadaran adanya berbagai determinasi yang mempengaruhi proses pemahaman. Dari kesadaran ini diharapkan akan memunculkan sikap inklusif dan toleran, yaitu untuk menghadapi “truth claim”, yang dianggap penyakit akut oleh Fahrudin. (lihat P21-22) Dan lebih lanjut lagi, dengan Hermenutika yang tidak lepas dari 3 komponen pokok, yaitu Teks, konteks dan kontekstualisasi, maka akan menyumbangkan pemahaman yang komprehensif.(P24)
Dengan melihat beberapa asumsi tersebut, maka Fahrudin sangat mendukung penggunaan hermeneutika dalam menafsiri al Quran. Namun, jika dilihat lebih jauh lagi, ternyata pengaplikasian hermeneutika dalam Al Quran tidak seperti yang diasumsikan oleh Fahrudin. Atau memang karena pengaruh latar belakang konsentrasi ilmu yang membentuk pola pikirnya.
Pada awalnya hermeneutika adalah seni menafsirkan untuk bible , hal tersebut diperlukan karena adanya masalah dalam teks bible jika dilihat secara historis dan teologis, sebagaimana kajian yang dilakukan beberapa cendekiawan Kristen sendiri. Misalnya, adanya perbedaan dalam mengklaim jesus sebagai juru selamat antara Yahudi dan Kristen serta dalam penyebutan perjanjian lama dan baru. Selain itu penulis kitab ini pun masih misteri, sebagai mana yang ditulis oleh Richard Elliot Friedman dalam Who Wrote Bible. Dan juga terdapat kontradiksi diantara ayat-ayatnya, bahkan standar moral tokoh didalamnnya bermasalah. Dari sisi ini saja terlihat jelas, bagaimana bisa metode tafsir yang digunakan untuk kitab bermasalah disamakan untuk diterapkan dalam Al Quran, tentu tidak layak.
Kemudian jika dilihat dari sejarahnya, hermeneutika dulunya sangat sederhana, arti definitifnya hanya menafsir teks, berubah sedemikian rupa, sehingga menjadi kompleks dan rumit. Lebih rumit lagi jika dikaitkan dengan teks-teks agama, misalnya Al Quran. Sebab pemahaman dan penafsiran Al Quran sendiri telah memiliki tradisi dan teorinya sendiri. Tentunya jika diterapkan dalam al Quran, maka akan menghasilkan kerancuan dan benturan makna. Awalnya hermeneutika ini berperan menjelaskan teks seperti apa yang diinginkan oleh pembuat teks, seperti figur hermes dalam membawa pesan tuhan kepada manusia di bumi. Hermeneutika tidak hanya terpaku pada persoalan teks yang diam atau bahasa, namun perlahan mulai mendeskripsikan penggunaan bahasa atau teks dalam seluruh realitas hidup manusia. Sehingga bermunculan para filosof yang mendefinisikan cara kerjanya dengan berbagai penafsiran dan penekanan.
Selanjutnya jika dilihat dari sisi epistemologi, hermeneutika bersumber dari akal semata, sedangkan dalam tafsir sumber epistemologinya adalah wahyu al Quran. Oleh karena itu, tafsir al Quran terikat dengan apa yang telah disampaikan, diterangkan dan dijelaskan oleh Rasulullah Saw. Sepeninggal beliau para sahabat terdahulu tidak sembarangan dalam menafsirkan. Para sahabat pertama-tama menelitinya dalam al Quran sendiri, karena ayat-ayat al Quran saling menafsirkan. Setelah itu mereka merujuk kepada penafsiran Rasulullah Saw. Sekiranya tidak didapati maka para sahabat berijtihad.
Beda halnya dengan hermenutika yang membiarkan akal melanglang buana. Dalam tafsir al Quran akal tidak dibiarkan lepas bebas, salah satu buktinya adalah seperti halnya jika terjadi perselisihan diantara para sahabat, maka mereka kembali pada Rasulullah pada masa beliau masih hidup. Selanjutnya ketika beliau sudah tiada, semua dikembalikan kepada al Quran dan sunnah.

Pluralitas dan relativisme kebenaran

Dalam buku ini Fahrudin mengusung satu paham yang dapat merusak eksistensi aqidah Umat Islam. Menurut Fahrudin Faiz asumsi paling mendasar dari hermeneutika ini sebenarnya telah jelas, yaitu adanya pluralitas dalam proses pemahaman manusia. Pluralitas yang dimaksud sifatnya niscaya, karena pluralitas tersebut bersumber dari keragaman konteks hidup manusia.(P5) Berdasar dari keragaman tersebut, maka hermenutika memberikan tawaran perpekstif baru dalam Ilmu Tafsir. Secara umum tawaran itu adalah kesadaran adanya berbagai determinasi yang mempengaruhi proses pemahaman. Dari kesadaran ini diharapkan akan memunculkan sikap inklusif dan toleran, yaitu untuk menghadapi “truth claim”, yang dianggap penyakit akut oleh Fahrudin. (lihat P21-22) Berarti, ketika seseorang menganggap bahwa keyakinannya atau agama yang dianutnya itu paling benar, maka dia telah terkena penyakit akut. Sehingga semua agama adalah benar dan sama kedudukannya.
Dampak dari pemahaman ini adalah adanya pluralisme agama. Istilah pluralisme sendiri masih sering disalahpahami atau mengandung pengertian yang kabur, meskipun terminologi ini begitu populer dan tampak disambut begitu hangat secara universal. Diantara makna pluralisme agama tersebut adalah:
• Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
• Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
• Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama.
• Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda.
Dengan beberapa uraiannya Dr Anis Malik Thoha menyimpulkan bahwa pluralisme agama dari segi konteks sering digunakan dalam studi-studi dan wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan definisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula (dictionary definiton). Sebagaimana penegasan John Hick bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Jadi, semua agama sama dan tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Paham ini telah dilarang dan ditentang oleh MUI.
Lebih jauh lagi dengan melihat sejarahnya ternyata Hermenutika tidak bebas nilai, ia membawa dampak yang sangat berbahaya. Diantaranya adalah Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan penganut Kristen dan Yahudi terhadap Bible. Teks yang semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya. Campur-tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata didapati jauh lebih banyak ketimbang apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Bila diterapkan pada al-Qur'an, hermeneutika otomatis akan menolak status al-Qur'an sebagai Kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, dan menggugat ke-mutawatir-an mushaf Usmani. Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai 'produk sejarah'---sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku untuk al-Qur'an, yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan li-n naas).
Ketiga, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai 'lingkaran hermeneutis', dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors). Tetapi tidak untuk al-Qur'an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman. Keempat, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir palsu dan pemikir-pemikir yang tidak terkendali (liar).


Penutup

Penerapan Hermeneutika terhadap al Quran ternyata banyak menimbulkan masalah. Masalah yang ada justru bermula dari hermeneutika sendiri. Sehingga tidak layak tentunya jika diberlakukan terhadap al Quran, kitab suci Umat Islam yang telah paripurna dan sempurna. Tidak sebagaimana halnya dengan bible yang eksistensinya sendiri penuh dengan konflik.
Fahrudin Faiz, dengan bukunya ini ingin membela habis-habisan metode hermeneutika untuk diterapkan dalam al Quran. Dengan bekal ilmu filsafat yang membentuk dirinya, dia mencoba menetralisir isu-isu miring yang menyerang Hermenutika. Tapi justru dia sendiri yang terjerumus kedalam kubang kesesatan Hermeneutika. Wallohu A’lam Bish showab.

Pengunjung