Kamis, 19 April 2012

WACANA REFORMASI SYARIAH (Telaah Kritis Terhadap Pemikiran An-Na’im)

By: Anwar Ma'rufi


A. Pendahuluan
Syariah, sejak membanjirnya paham liberalisme keagamaan, mendapat sorotan tajam dan kritikan pedas dari berbagai kalangan. Bahkan, menurut Jamal al-Banna, pemikir asal Mesir, menilainya sebagai faktor kemunduran dan keterbelakangan umat Islam saat ini. Kritik yang dibangun oleh kalangan pemikir muslim liberal, bukannya memberikan solusi atas problematika umat Islam, justru menyisakan perdebatan panjang yang tak kunjung usai. Ini karena gagasan yang mereka usung banyak yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar aqidah dan syariah Islam seperti mempertanyakan otentisitas dan kesucian al-Quran, mengkritik otoritas hadits Nabi, menghujat sahabat Nabi dan para ulama. Mereka beranggapan bahwa syariah atau yang sering mereka sebut hukum Islam sudah tidak relevan lagi dengan nilai-nilai dan budaya global. Karenanya mereka mendesak syariah untuk direformasi agar sesuai dengan budaya global, terutama agar sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

Salah satu pengusung gagasan dekonsturksi Syariah dari pemikir Islam kontemporer adalah Abdullahi Ahmed An-Na’im, pemikir Islam asal Sudan. Ia juga beranggapan bahwa syariah yang ada sekarang ini tidak relevan lagi dengan nilai-nilai dan budaya modern, karenanya perlu direformasi agar sesuai dengan perkembangan zaman. Syariah yang selama ini dikenal tidaklah sakral (divine) atau bersifat ilahiah dalam arti seluruh rinciannya diwahyukan langsung oleh Allah, ia adalah "the product of a process of interpretation of analogical derivation from the text of the Qur'an and Sunna and other tradition.” Seruan reformasi ini banyak didukung oleh pemikir Muslim Indonesia dan nyaris tanpa kritik. Karena itulah, melalui makalah yang serba terbatas ini, penulis ingin mengulas dan mengkritisi bagaimana model reformasi syariah yang dikenalkan oleh An-Na’im.

B. Sketsa Biografis Abdullahi Ahmed An-Na’im
An-Na’im termsuk kelompok pemikir postradisionalistik. Menurut M. Abid al-Jabiri sebagaimana dikutip oleh A. Khudori Soleh, kelompok pemikir ini berusaha mendekonstruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. Bagi kelompok postradisionalistik, relevansi tradisi Islam tidak cukup dengan interpretasi baru lewat pendekatan rekonstruktif, tetapi harus lebih dari itu, yakni dekonstruktif. Bagi kelompok postradisionalistik, seluruh bangunan pemikiran Islam klasik (turats) harus dirombak dan dibongkar, setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisis terhadapnya. Tujuannya, agar yang dianggap absolute berubah menjadi relative dan yang ahistoris menjadi histories.

Nama lengkapnya adalah Abdullahi Ahmed An-Na’im. Ia lahir di Sudan pada tanggal 19 November 1946. Menurut Ahmad Fadhli Lubis, Guru Besar Syariah IAIN Sumatera Utara, Medan, An-Na’im adalah seorang nuslim yang taat dan terkesan fanatik dalam "membela Islam". Sejak muda, An-Na’im memiliki minat yang kuat dalam bidang hukum, termasuk hukum Islam. Pendidikan (S-I)-nya di Fakultas Hukum Universitas Khartoum, Sudan. Tahun 1970, An-Na’im berhasil menyelesaikan studi di fakultas tersebut dengan mendapat gelar LL.B. Dan menempuh studi magister (pasca sarjana) di Universitas Cambridge Inggris pada tahun 1971-1973, dengan mengambil spesialisasi pada masalah hak-hak sipil dan hubungannya dengan konstitusi Negara-negara berkembang dan hukum internasional (the law relating to the civil liberties, constitutional law of developing countries and private international law), dari perguruan tinggi ini, ia berhasil memperoleh gelar LL.M. dengan karya ilmiah berjudul Judicial Review of Administrative Action, the law Relating to Civil Liberties, Constitutional Law of Developing Countries and Private International Law. Pada tahun dan universitas yang sama, ia juga mengambil program magister bidang kriminologi, dengan menulis karya ilmiah berjudul Criminal Process Penology, Sociology of Crime and Research Methodology. Sedangkan untuk program doktor (Ph. D.) ditempuhnya di Universitas Edinburg, Skotlandia dalam bidang hukum pada tahun 1976, dengan disertasi mengenai perbandingan prosedur praperadilan kriminal antara hukum Inggris, Skotlandia, Amerika Serikat dan Sudan (Comparative pre-Trial Criminal Procedure: English, Scottish, U.S. and Sudanese Law).

Pendidikan dan bidang keilmuan yang ditekuni An-Na’im tampak dominan mempengaruhi pemikirannya. Hal ini terlihat pada karya-karya tulis dan isu-isu yang diangkat An-An-Na’im, setidaknya sampai tahun 1995, yang hampir seluruhnya berkisar di seputar hukum publik, khususnya tentang HAM, konstitusionalisme, dan hukum internasional modern. Demikian juga profesi yang dipilihnya, meski berasal dari negeri miskin dan terbelakang, An-Na’im mampu menjadi akademisi bertaraf internasional yang sukses. Kariernya sebagai akademisi dimulai sebagai staf pengajar di bisang hukum di Universitas Khartoum, Sudan mulai dari November 1976 hingga Juni 1985, professor tamu publik di almamater yang sama (1979-1989), professor tamu di Fakultas Hukum UCLA, USA (Agustus samapai Juli 1987). Pada Agustus 1988 sampai Januari 1991 ia menjadi professor tamu di Ariel F. Sallows dalam bidang HAM di Fakultas Hukum, Universitas Saskatchewan, Kanada. Antara Agustus 1991 sampai Juni 1992 menjadi professor tamu Olof Palme di Fakultas Hukum, University of Upshala, Swedia. Juli 1992 samapai Juni 1993 menjadi sarjana-tinggal di Kantor The Ford Foundation untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Kairo, Mesir, Juli 1993 hingga April 1995 menjadi Direktur Eksekutif Pengawas HAM Afrika di Washington D.C., dan sejak Juni 1995 sampai sekarang menjadi professor hukum di Universitas Emory, Atlanta, GA, Amerika Serikat.

Selama menekuni ilmu hukum, khususnya bidang hukum publik, secara akademisi An-Na’im menerima pengaruh dari guru-gurunya, terutama pada bidang keilmuan yang ditekuninya itu. Sepanjang proses tersebut, An-Na’im juga sering mengadakan kontak intelektual dengan para pemikir keagamaan, baik yang modern maupun tradisional, baik ketika belajar di Sudan maupun selama dan sesudah belajar di luar negri. Di antara tokoh pemikir muslim yang sangat berpengaruh pada pemikiran An-Na’im adalah Mahmoud Muhammed Taha, pendiri dan tokoh sentral Partai Persaudaraan Republik (The Republican brotherhood). Sang guru inilah yang memberikan dasar pijakan pemikiran hukum Islamnya, bahkan An-Na’im praktis hanya menerjemahkan pemikiran sang guru ke dalam materi-materi hukum yang lebih konkrit.

Perkenalanya An-Na’im dengan Mahmoud Muhammad Taha dimulai sejak dia bergabung secara informal dengan Persaudaraan Kaum Republik (sebelum menjadi sebuah partai politik) Sudan, ketika masih menjadi mahasiswa Universitas Khartoum akhir tahun 1960-an. Ia mendatangi beberapa kuliah yang diberikan Taha dan mengikuti diskusi-diskusi dengannya di rumah Taha. Bagi An-Na’im, kebersamaan dengan Taha tampaknya memberi kesan yang sangat mendalam. Hal ini tampak pada komitmennya yang kuat dalam memperjuangkan dan menyebarluaskan ajaran Taha.
Dari gambaran sosok An-Na’im secara singkat di atas, kiranya dapat dimengerti bahwa gagasan reformasi syariah yang ditawarkan oleh An-Na’im tidak bisa lepas dari latar belakang intelektual yang ditekuninya. Akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya akan membentuk pandangan hidup (worldview) yang menjadi basis epistemologi dan metodologi gagasannya nanti.

C. Syariah Produk Sejarah
Islam menurut An-Na’im adalah agama yang memiliki dua bentuk ajaran, yaitu pertama tauhid, la ilaha illa Allah sebagai ajaran substansial; dan kedua syariah sebagai bentuk implementasi dari ajaran substansial itu yang sesuai dengan konteks perkembangan dan kebutuhan umat tertentu. Bentuk ajaran yang pertama (tauhid) bersifat permanen, tidak berubah-ubah, sedangkan bagian ajaran yang kedua (syariah) bersifat kontekstual dan berubah-ubah.

Masih menurut An-Na’im, hal yang substansial dari agama Islam adalah ajaran tentang ketundukan dan kepasrahan total kepada Allah sebagai Tuhan. Dalam arti ini substansi Islam tidak lain adalah ajaran tauhid, La Ilaha illa Allah. Ia bersifat permanen, karena semua nabi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad datang dengan membawa Islam, dalam arti tauhid, La ilaha illa Allah. Dan yang membedakan dengan agama-agama yang dibawa oleh para Nabi adalah bentuk implementasinya ajaran-ajarannya yang disebut syariah.

Adapun syariah bagi An-Na’im merupakan formulasi historis tentang norma etika dan sosial, teori politik dan kosntitusional, serta aturan-aturan hukum perdata, pidana maupun publik yang diderivasi dari sumber-sumber Islam untuk menjawab persoalan zamannya. Sebagai produk sejarah, formulasi syariah dapat direkonstruksi ketika dirasa sudah tidak memadai lagi bagi kehidupan modern. Jelasnya an-An-Na’im berkata:

“Shari’a is not the whole of Islam but instead is an interpretation of its fundamental source as understood in a particular historical context. Once it is appreciated that shari’a was constructed by its funding jurists, it should become possible to think about reconstructing certain aspects of shari’a, provided that such reconstruction as based on the same fundamental sources of Islam and is fully consistent with its essential moral and religious precepts” (Syariah bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan hanyalah interpretasi terhadap nash dasarnya yang dipahami dalam konteks sejarah tertentu. Syariah yang telah disusun para ahli hukum perintis dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu, asalkan rekonstruksi itu pun didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam yang sama, dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama).

Dari kutipan di atas dapat dimengerti bahwa dalam pandangan An-Naim, syariah tidaklah bersifat ilahiah, dalam arti semua prinsip hukum dan aturan rinciannya langsung diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Syariah yang rinci dan detail itu menunjukkan sifatnya yang temporal dan kontekstual. Rincian tersebut merupakan bukti adanya hubungan dialogis syariah dengan realitas konkret masyarakat yang dihadapinya. Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber syariah untuk merespon terhadap realitas masa lalu, karenanya harus pula menjadi sumber syariah modern sebagai respon realitas masa kini. Menurutnya. formulasi syariah akan terus berlanjut hingga sekarang untuk menyesuaikan konteksnya.

Bagi An-Na’im, Syariah yang selama ini kita kenal, tidaklah memadai dan tidak adil, sehingga layak untuk dikoreksi ulang. dikatakan 'tidak adil' karena dalam pandangan An-Na’im, beberapa aspek syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum publik, terdapat diskriminasi di dalamnya. Misalnya warga muslim dianggap warga superior, sedangkan warga non-muslim dianggap sebagai inferior. Selain itu, masih menurut An-Na’im, Syariah ini tidak memperlakukan perempuan setara dengan laki-lak. Hak-hak asasi kelompok-kelompok ini akan dirugikan sebagai dampak prinsip dan norma syariah mengenai sikap dan gaya hidup individu dan institusi serta proses sosial dalam berbagai komunitas Islam. Lebih rinci An-Na’im menjelaskan, syariah ini tidak menjamin kesetaraan bagi kaum perempuan dalam aturan perkawinan, perceraian dan warisan. Fakta tersebut jelas akan melanggar prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi yang fundamental bagi semua standar HAM.

Pada level Internasional, syariah yang selama ini kita kenal mensahkan penggunaan kekuatan agresif untuk menyebarkan Islam dan tidak mengakui persamaan kedaulatan negara-negara non-muslim, ujar An-Na’im. Dari sini An-Na’im melihat bahwa aspek-aspek syariah tersebut jelas tidak mau mengakui basis hukum Internasional Modern. Sehingga, ia cenderung melanggar sebagian standar hak-hak asasi manusia Internasional yang paling fundamental.
An-Na’im menyebut syariah yang selama ini dijalankan oleh umat Islam sebagai syariah historis. Syariah ini, menurutnya merupakan produk sejarah kaum muslimin abad ke-7 sampai abad ke-9 M yang cocok untuk kondisi masyarakat waktu itu. Syariah ini dibangun di atas al-Quran dan Sunnah madaniyah. Bagi An-An-Na’im, karakteristik dari nash madaniyah cenderung diskriminatif, seperti contoh yang penulis sebutkan di atas. Karena ia merupakan produk sejarah abad ke-7 sampai abad ke-9 M, maka ia, oleh An-Na’im dinilai sudah tidak memadai bagi kebutuhan masyarakat kontemporer.

Bagi An-Na’im, yang lebih memadai untuk kondisi sekarang adalah pesan dari nash makkiyah. Menurutnya pesan makkiyah ini merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan agama, ras, dan lain-lain. Pesan itu ditandai dengan adanya persamaan antara laki-laki dengan perempuan dan kebebasan penuh untuk memilih agama. Baginya, pesan makkiyah lebih humanis dan sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Gagasan reformasi syariah An-Na’im di atas berawal dari konsepsinya tentang syariah. Pandangan An-Na’im bahwa syariah adalah hanya produk pemikiran manusia, yang bersumber pada hasil pemahaman dan interaksi manusia dengan Al-Quran dan Sunnah untuk menjawab realitas manusia saat itu, dan karenanya ia bersifat tentatif (sementara) yang dapat direformasi kapan saja jika tidak sesuai dengan kondisi zaman setelahnya, sangatlah problematis jika kita telusuri dari arti bentukan kata syariah.

Syariah berasal dari "syara'a as syai", yang artinya menjelaskan sesuatu. Ada juga yang menyatakan bahwa ia berasal dari kata "asy syir'ah" dan "asy syariah", yang berarti tempat sumber air yang tidak pernah terputus, dimana orang yang datang ke sana tidak memerlukan adanya alat. Al-Quran juga banyak menyebut dalam beberapa ayat yang berkaitan dengan syariah.
Misalnya dalam Al-Quran surah al-Maidah: 48,
... لِكُّلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا...(المائدة: ٤٨)
Artinya: "Untuk tiap-tiap umat diantara kamu , Kami berikan aturan dan jalan yang terang" (al-Maidah: 48).

Dalam al-Qur'an surah al-Jaatsiyah: 18,
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ. (الجاثية: ١٨)
Artinya: "Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui" (Al Jaatsiyah: 18).

Menurut Ibnu Abas, yang dimaksud dengan kata “syir’atan wa minhajan” (dalam surat al-Maidah ayat 48) memiliki arti beberapa kewajiban dan kesunatan (faraidh wa sunan). Sementara Al-Qurthubi dan Ibn ‘Abdussalam mengartikan dengan jalan yang sudah jelas menuju keselamatan. Menafsiri surat Al-Jaatsiyah ayat 18 di atas, Ath-Thabari mengutip pendapatnya Qatadah, bahwa yang dimaksud dengan syariah adalah kewajiban-kewajiban, hudud, perintah dan larangan.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa, kata syariah yang termuat dalam kedua ayat di atas memiliki arti peraturan dan undang-undang yang berisi kewajiban dan larangan. Ketika kata syariah disandingkan dengan kata Islam maka ia bermakna bahwa peraturan-peraturan tersebut bersumber dari Allah untuk mengatur seluruh kehidupan manusia. Dimana meninggalkannya, keseluruhannya atau sebagiannya, berarti melepas ikatan akidah Islam yang telah Allah tentukan, dan demikian sebaliknya.

Cara pandang An-Na’im terhadap syariah, yang dinilainya tidak permanen dan dapat berubah-ubah menyesuaikan realitas zamannya, lebih tepatnya pandangan tersebut ditujukan kepada fiqh. Pasalnya syariah yang selama ini dikenal oleh umat Islam itu cakupannya lebih luas dari sekedar hukum. Merujuk pada kedua ayat di atas, syariah ia meliputi fiqh, 'aqidah, dan juga akhlak. Selain itu, ciri utama syariah adalah sifatnya yang permanen.

Sedangkan fiqh memang memiliki ciri yang fleksibel, ia memang perlu untuk diperbarui guna merespon persoalan yang berkembang. Banyak masalah-masalah fiqh yang telah diperbarui, khususnya dalam bidang ekonomi Islam. Isu seperti investasi zakat profesi, waqaf dan lain-lain merupakan bukti bagaimana fiqh mampu merespon perkembangan masyarakat. Dan ruang untuk berijtihad dalam fiqh sebenarnya masih terbuka lebar. Banyak masalah-masalah kontemporer yang sesungguhnya menanti ijtihad-ijtihad segar. Tapi sayangnya An-Na’im hanya berkutat pada isu-isu lama seperti hak warisan wanita, poligami, hukum hudud, qisas dll, yang sesungguhnya tidak memberikan dampak besar dalam perubahan masyarakat.

Meski konsepsinya An-Na’im tentang syariah lebih cocok kepada fiqh, itu lah An-Na’im, ia tidak mau menyebut proyek yang digagasnya berada pada kawasan fiqh. Ia lebih suka menempatkan pada wilayah syariah. Bagi An-Na’im, the distinction between shari’a and fiqh, to the extent that is possible, is irrelevant when we speak about principles and rules of shari’a proper/tidak relevan lagi untuk membedakan syariah dengan fiqh ketika topik yang dibicarakan mengenai prinsip-prinsip dan tujuan syariah.

Pandangan An-Na’im lain yang perlu dikoreksi adalah pernyataannya mengenai ayat makkiyah yang secara konsisten mendukung universalisme, kebebasan beragama dan kesetaraan. Menurut Ishtiaq Ahmed, dalam sudut pandang religious tidak bisa ada sikap netral antara keyakinan kepada Allah dan ketidakberimanan. Secara tegas orang beriman adalah baik dan orang kafir dikutuk. Meskipun al-Quran Mekkah, lanjut Ishtiaq Ahmed, menekankan nilai universal, toleransi dan koeksistensi damai yang secara garis besar dinilai positif, ia tidak mengakui kebenaran praktik dan kepercayaan penduduk Mekkah. Terhadap kepercayaan penduduk Mekkah al-Quran tidak mengurangi kutukannya, bahkan di Mekkah Allah berfirman: “Orang-orang yang tidak beriman di antara ahlu al-kitab dan kaum penyembah berhala akan dibakar selamanya di neraka. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk.” Dan masih banyak ayat lain yang serupa yang tidak menyerukan toleransi kepada kepercayaan-kepercayaan yang palsu.

Menanggapi koreksi Ishtiaq Ahmed, An-An-Na’im mengelak dengan mengatakan bahwa ayat-ayat Mekkah yang menekankan eksklusifitas komunitas beriman harus dianggap sebagai ayat Madinah. Begitulah fenomena An-Na’im, bagaimanapun ruwet-nya pemikiran An-Na’im, ia tidak bisa dipahami dengan paradigma ulama klaisk. Salah satu cara untuk memahami An-Na’im adalah dengan framework yang lepas dari paradigma klasik, yakni paradigma kemasukakalan yang lahir dari worldview Barat.

D. Metodologi Reformasi Syariah
Metode pembaharuan syariah atau hukum Islam model An-Na’im sebenarnya berangkat dari metodologi yang dirintis oleh gurunya sendiri, Mahmoud Mohahmmad Taha, yakni teori evolusi dengan menghilangkan corak mistiknya. Teori yang diusung oleh An-Na’im adalah teori nasakh sebagaimana yang dikenal dalam ilmu ushul fiqh, namun di tangan An-Na’im, teori nasakh diubah sedemikian rupa, sehingga substansinya berbeda. Dalam pandangan Taha, nasakh lama yang menganggap bahwa ayat-ayat termasuk juga Hadits Madaniyah menghapus ayat dan hadits Makkiyah, harus dibalik, yakni bahwa ayat atau Hadits Makkiyah-lah yang justru menghapus ayat atau hadits madaniyah. Dan An-Na’im benar-benar memperjuangkan apa yang diyakini gurunya itu.

Proses nasakh yang digagas An-Na’im ini bersifat tentatif, sesuai dengan kebutuhan. Ayat yang dibutuhkan pada masa tertentu, ayat itulah yang diberlakukan (muhkam); sedangkan ayat yang tidak diperlukan (tidak relevan dengan perkembangan kontemporer) dihapuskan atau ditangguhkan (mansukh) penggunaannya. Karena itu, nasakh menurut An-Na’im bisa berupa penangguhan ayat yang datang belakangan oleh ayat yang turun lebih dahulu atau sebaliknya, bila memang kondisi-kondisi aktual menghendakinya. Karena itu tepat dikatakan bahwa, masing-masing ayat mengandung validitas dan aplikabilitasnya sendiri, ungkapnya. Kaum muslimin bebas memilih ayat mana yang sesuai dengan kebutuhan mereka, kata An-Na’im. Sehingga, ayat yang sudah dinyatakan mansukh apabila diperlukan dapat digunakan lagi di kesempatan lain.

Metodologi reformasi syariah An-Na’im ini, nasakh terbalik, jelas sangat bertentangan dengan apa yang sudah dibangun oleh ulama Islam Klasik (mutaqaddimun). Berkaitan dengan ayat makkiyah dan madaniyah, di antara mereka juga masih terdapat perselisihan. Sebagian dari mereka, berdasarkan informasi yang diperoleh Az-Zarqani, beranggapan bahwa jika ketetapan hukum ayat makkiyah berlainan dengan ayat madaniyah maka ayat makkiyah menjadi mansukh. Seperti perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah. Lain lagi menurut Imam Ghazali, baginya ayat madaniyah tidak me-nasakh ayat makkiyah, melainkan men-takhsis ayat makkiyah.

Jangankan mengacu pada perselisihan antara ayat makkiyah dan madaniyah, nasakh dalam pengertian ulama klasik sendiri masih kontroversial. Dalam konteks al-Quran, adanya kontradiksi antara ayat satu dengan ayat lainnya masih dalam perdebatan. Lebih dari itu, apa yang dulu dianggap sebagai ayat-ayat yang kontradiktif, belakangan sudah banyak yang dapat dikompromikan. Bila metode nasakh masih mukhtalaf, maka berlaku kaidah bahwa pilihan atas yang muttafaq ’alaih (yang disepakati) harus didahulukan daripada memilih yang mukhtalaf fih.

Sekali lagi, itulah fenomena An-Na’im yang tetap kukuh dengan pendiriannya. Ia menyadari bahwa metode nasakh yang ditawarkan sangat berseberangan dengan mayoritas ulama Islam. Bagi An-Na’im, untuk zaman modern ini, yang menjadi acuan ijtihad adalah prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan hukum internasional. Karena begitu terkesimanya An-Na’im dengan HAM dan hukum internasional, ia terkesan menempatkan HAM dan hukum internasional tersebut di atas segalanya, termasuk syariah, sehingga ketika syariah dianggap bertentangan dengan HAM, maka ia harus diubah dan disesuaikan dengan HAM.

Di sini, An-Na’im tidak menyadari bahwa baik HAM maupun hukum internasional ini tidak lebih dari kesepakatan sepihak yang ditanda-tangani oleh negara-negara terkemuka, dengan mengabaikan sama sekali hak-hak dari semua orang dan masyarakat lainnya, demikian beber Muhammad Arkoun. Padahal HAM dan hukum internasional adalah suatu sistem norma yang dibangun di atas epistemologi sekuler, yang menempatkan manusia dipandang memiliki otoritas penuh untuk mengatur dan menentukan apa yang terbaik untuk dirinya, dan tidak ada institusi lain di atasnya yang berhak mengatur hidup dan kehidupannya (Antropocentris).

E. Penutup
Demikianlah, gagasan reformasi Syariah yang dikumandangkan An-Na’im hanya akan menjungkirbalikkan struktur epistemologi Islam. Ia hanya menjadikan ijtihadnya, khususnya teknik nasakh terbalik, tak lebih dari sekedar acuan untuk menjustifikasi realitas yang ada. Dimana teks al-Quran dan Sunnah ditundukkan pada kehendak waktu dan tempat, pada akal dan kepentingan sesaat. Realitas sosial yang telah dihegemoni kebudayaan Barat ia jadikan standard kebenaran. Ia berada di atas segala-galanya, termasuk di atas al-Quran dan Sunnah. Akibatnya, apa pun yang tidak sesuai dengan teks realitas hari ini harus dirubah dan direinterpretasi.








DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al-Karim

‘Izzudin bin ‘Abdissalam, Tafsir Ibn ‘Abdissalam

Abdul 'Azim Al-Zarqani, Manahil A-'Irfan fi 'Ulum Al-Qur'an, Jilid II (Mesir: Al-Halabiy, 1980)

Abdullahi Ahmed An-An-Na’im, Islam and Human Rights: Beyond the Universality Debate, dalam The American Society of International Law (ASIL): Proceedings of the 94th Annual Meeting, April 5-8, 2000, Washinton, DC

……………, Religious Minorities under Islamic Law and the Limits of Cultural relativism, dalam Human Rights Quarterly, Volume 9, Number 1, February 1987

……………, Sekali Lagi, Reformasi Islam, dalam Dekonstruksi Syariah (II): Kritik Konsep Penjelajahan Lain, alih bahasa: Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996)

……………, The Compatibility Dialectic: Mediating the Legitimate Coexistence of Islamic Law and State Law, dalam The Modern Law Review, Volume 73, January 2010, No. 1

.................., Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law, (New York: Syracuse University Press, 1990)

……………, Syariah dan HAM: Belajar dari Sudan, dalam Dekonstruksi Syariah (II), Kritik Konsep, Penjelahan Lain, alih bahasa: Farid Wajidi, (Yogyakarta: LkiS, 1996)

……………, Islam dan Negara Sekular, Menegosiasikan Masa Depan Syariah, alih bahasa: Sri Murniati (Bandung: Mizan, 2007)

Adang Djumhur Salikin, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam; Bacaan Kritis terhadap Pemikiran An-An-Na’im, (Yogyakarta: Gama Media, 2004)

Ath-Thabari, Jami’ al-bayan fi Ta’wil al-Quran

Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005

Ibnu Abbas, Tanwir al-Miqbas min Ibn Abbas

Ibnu Manzur, Lisanul Arab

Ishtiaq Ahmed, Konstitusionalisme, HAM, dan Reformasi Islam, dalam Dekonstruksi Syariah (II): Kritik Konsep Penjelajahan Lain, alih bahasa: Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996)

Mohammed Arkoun, Kritik Konsep “reformasi Islam”, dalam Dekonstruksi Syariah (II): Kritik Konsep Penjelajahan Lain, alih bahasa: Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996)

Muhyar Fanani, Abdullah Ahmed An-An-Na’im: Paradigma Baru Hukum Publik Islam, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003)

Mulyadhi Kartanegara, Pengantar, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003)

Nirwan Syafrin, Konstruk Epistemologi Islam: Telaah Bidang Fiqh dan Usul al-Fiqh, dalam Islamia, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II No. 5/April-Juni 2005

Syamsuddin al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran


Pengunjung