Selasa, 22 September 2015

TENTANG HAJI MABRUR

Oleh Anwar Ma'rufi «وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ» … Sedangkan haji yang mabrûr tiada balasan yang lain, melainkan sorga. (al-Hadits) Kata Nabi, balasan haji mabrûr adalah sorga. Artinya, sorga adalah tempat yang layak untuk orang yang hajinya mabrûr. Mungkin kita bertanya-tanya, begitu istimewakah gelar mabrûr hingga balasan yang pantas adalah sorga? Lantas, apa yang dimaksud dengan mabrûr itu sendiri? Tulisan sederhana ini akan sedikit mengulas makna haji mabrûr yang menjadi dambaan jama’ah haji. Ya, Hadits di atas dapat ditemukan di kitab Shahih al-Bukhari No. 1650, Shahih Muslim No. 2403, Sunan at-Tirmidzi No. 855, Sunan an-Nasa’i No. 2582, Sunan Ibn Majjah No. 2879, Musnad Ahmad Ibn Hanbal No. 9569, 15146, dengan redaksi yang berbeda di No. 7050 dan 9562, dan di kitab al-Muwatha’ No. 675. Di antara Kutub at-Tis’ah, hanya Imam Abu Daud dan Imam ad-Dârami yang tidak meriwayatkan hadits ini. Ini termasuk Hadits Ahâd karena diriwayatkan oleh seorang rawi, yakni Abu Hurairah r.a. (w. 57 H.). Sebenarnya, Umar ibn Khaththab r.a. (w. 23 H.) juga meriwayatkanya, namun sanad yang bersambung dengannya dinilai lemah karena terdapat ‘Ȃshim ibn ‘Ubaidillah ibn ‘Ȃshim, seorang Tâbi’īn yang dianggap dla’if. Meskipun demikian, Hadits ini termasuk shahīh ketika menggunakan jalur Abu Hurairah. Kata mabrûr pada Hadits di atas berupa isim maf’ûl, derivasi dari isim masdar birrun yang berarti berbuat baik (al-ihsân), kebaikan (al-khair) yang sempurna (Thanthawi, Tafsir al-Wasīth, Juz 2, 1997:180), atau berarti ketaatan (al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, Juz 1, 1997:88). Menurut Fakhrudin ar-Razy (544-606 H/ 1150-1210 M) dalam Mafâtih al-Ghaib kata birrun adalah kata yang meliputi segala jenis kebajikan. Karenanya, menurut banyak ulama, kata ini mencakup tiga hal kebajikan; (1) kebajikan dalam beribadah kepada Allah SWT., (2) kebajikan dalam melayani keluarga, dan (3) kebajikan dalam melakukan interaksi dengan orang lain. Meskipun begitu, Thâhir Ibn ‘Ȃsyur merasa tiga hal tersebut belum mencakup semua kebajikan, menurutnya kebajikan itu jika ada hubungan yang serasi dengan Allah, sesama manusia, lingkungan serta diri sendiri (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1, 2005: 179). Sedemikian sehingga, jika kata birrun menjadi predikatnya kata ‘haji,’ berarti haji yang mabrûr adalah dia yang telah melaksanakan rukun dan wajib hajinya dengan sempurna, sepulang dari tanah haram ia semakin dekat dengan Allah, peduli terhadap sesama, lingkungan dan diri sendiri. Sangat sesuai dengan indikator mabrûr yang diisyaratkan Nabi Muhammad; ith’âm ath-tha’âm, memberi makan orang yang butuh makan dan ifsya’ as-salâm, menebar kesejahteraan (Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Hadits No. 13958 dan 14055). Ada juga yang mengartikan mabrûr dengan maqbûl, yang berarti hajinya diterima, kebalikannya adalah mardûd, ditolak (Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz 1, 1379: 87). Melihat begitu luas dan dalamnya makna mabrûr, memang pantas dan sangat layak jika ia mendapatkan balasan sorga. Oleh karenanya, orang yang menyandang predikat haji mabrûr ialah sosok manusia sempurna –istilahnya Muhammad Iqbal insân kâmil; sempurna karena telah melaksanakan rukun Islam pamungkas dan sempurna karena telah mampu menselaraskan interaksinya dengan Allah, sesama, alam, dan dirinya. Sungguh, manusia yang ideal. Selain itu, orang yang mendapat gelar haji mabrûr berarti telah kembali ke fithrah dirinya, fithrah-nya manusia. Nabi Muhammad SAW. menggambarkan ia seperti anak yang baru lahir dari rahim ibunya (al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Hadits No. 1424). Ini berarti ia memulai hidup dengan serba baru; niat baru, semangat baru, gagasan baru dan setrategi baru. Sebab, telah dihapus segala dosa yang menjadi tabir akal dan hatinya (induknya yang serba baru). Dengan potensi yang dimiliki oleh orang yang hajinya mabrûr, melalui predikat itulah, ia benar-benar layak menyandang gelar khalifah Allah di muka bumi. Sebuah misi yang digambarkan al-Qur’an sangat dramatis dan mengesankan, Allah mengatakan kepada kita bahwa Ia telah menawarkan amanat-Nya kepada langit dan bumi, tetapi mereka tidak berani menerimanya, dan hanya manusialah yang berani menerimanya (QS. al-Ahzab, 33: 72). Berhaji mabrûr sekaligus khalifah Allah, kini tugasnya amatlah berat. Ia harus menjabarkan nilai-nilai ketuhanan ke dalam tindakan (‘amal) yang meruang dan mewaktu, ke dalam kehidupan sehari-hari dan kegalauan sejarah. Dan ia juga harus mengaduk serta menata ulang dunia ini agar menjadi apa yang pernah Nabi Adam a.s lihat sebelum diturunkan ke bumi ini, sorga. Ia harus menjadikan bayang-bayang sorga tercermin di muka bumi ini, sebuah masyarakat yang hidup dalam suasana penuh kedamaian, cinta, harmonis, berkah yang melimpah, dan dalam lindungan-Nya. Sekali lagi, orang yang seperti itu, bergelar haji mabrûr, sungguh layak mendapatkan sorga sebagai balasannya. Wallahu al-Hâdi ilâ ash-shawwab

Pengunjung