Senin, 19 Juli 2010

BOOK REVIEW: MENSIKAPI MASALAH GENDER DENGAN ARIF

Oleh: Anwar Ma'rufi
Judul buku : Bangunan Wacana Gender
Penulis : Mohammad Muslih
Penerbit : center for Islamic and Occidental Studies (CIOS)
Tahun Terbit : 2007

1.Pendahuluan
Pada dasarnya Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, semata-mata bertujuan untuk mendarmabaktikan dirinya kepada-Nya dan mengelola dunia seisinya dengan proposional. Islam datang membawa ajaran yang humanis, ajaran yang sesuai dengan sifat dasar manusia (fitrah). Ajaranya menitik beratkan pada actualisasi manusia yang arif dan beradab. Antara laki-laki dan perempuan mempunyai peranan yang seimbang dalam mengelola dunia.

Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah perempuan merupakan bagian integral dari masyarakat. Secara biologis perempuan berbeda dengan laki-laki, tetapi dari segi hak dan kewajibannya sebagai manusia adalah sama, sama seimbang dalam peranannya. Jadi, keberadaan perempuan bukan sekadar pelengkap bagi laki-laki, melainkan mitra kerja yang seimbang dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat domestik seperti rumah tangga maupun peranan yang sejajar dalam lingkup publik.

Dewasa ini, pembicaraan tentang gender mencuat ke tengah-tengah masyarakat Indonesia. Kaum perempuan menuntut harus ada kesetaraan dalam berbagai hal. Termasuk baru-baru ini, pegiat gender hendak membongkar stigmatisasi masyarakat tentang "teknologi maskulin" yang dinilai sangat mengeksploitasi perempuan. Wacana ini ingin membongkar budaya patriarkhi yang menurut mereka sarat diskriminasi sosial. Wacana ini mengalihkan banyak perhatian, mulai dari kalangan remaja, aktivis pergerakan, akademisi dan mahasiswa, kalangan legelatif dan pemerintah, hingga para agamawan.

Gerakan keadilan gender dan kesetaraan laki-laki perempuan cukup intensif dilakukan. Para aktivis dan pejuangnya cukup rajin melakukan sejumlah advokasi dan pembelaan ke masyarakat hingga ke level terbawah. Mereka getol mendampingi para korban trafiking, kekerasan, pemerkosaan, dan sebagainya yang grafiknya dari hari ke hari cenderung semakin menaik tajam. Untuk kepentingan ini sesungguhnya telah banyak institusi, organisasi, dan LSM yang aktif melakukan kerja-kerja pendampingan dan advokasi tersebut.

Buku yang ditulis oleh Mohammad Muslih ini ingin memberikan pemahaman yang proporsional terhadap pegiat bangunan wacana gender dewasa ini. Mohammad Muslih lahir di Pasuruan jawa timur pada tanggal 8 desember 1969, pendidikan S2 ditempuh pada program studi agama dan pemikiran islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain menjadi dosen filsafat pada institut studi Islam Darussalam beliau juga menjadi peneliti di center for Islamic and Occidental Studies (CIOS). Saat ini Mohammad Muslih sedang menempuh pendidikan Doktor pada UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta dengan spesialisasi sejarah ilmu. Mohammad Muslih termasuk penulis yang produktif, beberapa karyanya yang memperoleh sukses besar, antara lain: Relidious Studies, Problem Hubungan Islam-Barat (Yogyakarta: Belukar, 2003), Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2004); ia juga menjadi penyunting beberapa buku dan aktif menulis di beberapa media seperti: Jurnal Kalimah, Jurnal At-Ta'dib, Jurnal Wacana, Jurnal Tsaqafah, dan lain-lain.

2.Kandungan Buku

Buku ini merupakan respons oksidental atas bangunan wacana gender yang sudah lama menjadi dunia baru bagi beberapa kalangan. Buku ini terbagi menjadi enam pembahasan, mohammad muslih mengawali tulisannya dengan pendahuluan yang mengajak kepada peminat gender akar tidak memandang sebelah mata atas bangunan wacana ini, karena wacana ini bukan sekedar istilah, tetapi merupakan konsep yang sarat nilai dan mengandung misi, filosofi, dan ideologi.

Pada pembahasan berikutnya Mohammad Muslih menguraikan argumennya dengan menulusuri bangunan wacana gender mulai dari sejarah kemunculannya hingga dewasa ini. Mohammad Muslih menjelaskan dalam bukunya bahwa pada mulanya gender adalah sebuah gerakan yang menginginkan adanya kesetaraan dalam peranan sosialnya yang kemudian wacana ini menjadi diskursus kefilsafatan sampai merambah yang tadinya hanya menjadi isu sosial berubah menjadi isu keagamaan dan pada akhirnya gender dijadikan sebagai pendekatan dalam studi agama.

Dalam bukunya, Mohammad Muslih menguraikan bahwa sebagai akibat dari wacana gender, dalam kaitanya dengan pemikiran dan keilmuan Islam "dekonstruksi syariah" merupakan agenda yang tak terpisahkan. Agenda besar ini dimulai dengan asumsi bahwa pemikiran dan keilmuan Islam serta kitab-kitab keilmuan islam hampiur semuanya dikarang oleh laki-laki sehingga bias gender, prasangka dan kepentingan jenis laki-laki boleh jadi sangat mewarnai pembahasannya (p. 18). Para pegiat gender juga mengkritisi sahabat-sahabat nabi dalam mengambil keputusan hokum. Dan pada akhirnya mereka merombak kaidah-kaidah dalam memahami nash yang sangat bersebrangan dengan jumhur ulama. Maka dari itu Mohammad Muslih memberikan beberapa sikap untuk membaca wacana gender. Beliau juga mengatakan bahwa ada yang paradok atau salah kaprah dalam studi gender dewasa ini.

3.Kearifan Intelektual dalam Membaca Wacana Gender

Dalam membaca wacana gender, Mohammad Muslih termasuk pemikir yang hati-hati dalam menentukan sikap. Dalam bukunya Mohammad Muslih berkata:

"Beberapa hal ini membuat semakin jelas bahwa gender memang bukan hanya sekedar istilah, tetapi merupakan konsep yang mengandung misi, filosofi, dan ideologi. Gender ternyata bukan merupakan bahawa awam yang sederhana, tetapi merupakan 'eksperimen' pemikiran karena posisinya sebagai diskursus kefilsafatan. Gender bukan hanya suatu pemikiran yang menjadi konsumsi para akademis, tetapi juga merupakan gerakan. Gender juga bukan sekedar isu social, tetapi ia sudah mengambil wilayah keagamaan secara signifikan. (p. 28)"

Dalam menyikapi wacana gender meski dilakukan secara kritis dan analitis, yaitu menurut Mohammad Muslih, adalah sebuah metode analisis yang selalu terlibat dalam upaya menemukan adanya hubungan atau kesaling pengaruhan antara pemikiran; menemukan perbedaan atau melakukan perbandingan dan akhirnya memposisikan. Serunya agar wacana gender diposisikan (p. 29) sebagaimana wacana yang lain, namun bedanya, wacana gender tidak serta merta dijadikan hanya sebagai wahana untuk mengasah analisis melainkan disertai dengan upaya sadar bacaan.

Membaca wacana gender ini, tidak salah kalau kita mecermati langkah-langkah yang dilakukan oleh Mohammad Muslih. Yang pertama, menempatkan Islam dan ajaran Islam sebagai pijakan dan tolak ukur dalam bersikap dan dalam melakukan proses analisa (p. 33). Hal ini penting, karena pada era posmo yang menjadi perhatian utamanya adalah menjauhkan ajaran Islam dari pemeluknya, karena untuk menyelewengkan umat Islam dengan segala pemikirannya akan terasa amat berat manakala umat Islam masih mempercayai Al-Quran sebagai kitab suci dan Hadits sebagai sumber hukum setelah al-Quran.

Berbagai cara yang dilakukan oleh orang-orang liberal untuk menjauhkan umat Islam dari kitab sucinya yang pada akhirnya akan menghantarkan pemeluknya untuk tidak mempercayai bahwa al-quran murni dari Allah SWT. melainkan produk manusia saja dan hadits hanya sebagai hasil penafsiran Nabi Muhammad saw. semata, tidak lebih. Gerakan yang berkembang di dunia Islam saat ini telah menjadikan syariat Islam sebagai objek kritik yang perlu dihabisi karena dianggap sebagai beban sejarah. Anehnya mereka selalu menepuk dada bahwa apa yang mereka lakukan tersebut adalah bagian dari ijtihad dan tajdid.

Paham relativisme merupakan senjata ampuh bagi kaum liberal untuk membuang anggapan-anggapan bahwa hasil ijtihad mufasir merupakan Syariat atau hukum Allah yang harus dilaksanakan. Dari paham relativisme ini maka lahirlah berbagai paham, di antaranya adalah paham pluralisme yang menganggap bahwa semua agama adalah benar dan semua pemeluk agama yang taat dan mempunyai etika baik akan masuk sorga.

Islam liberal berusaha berlindung dibalik kitab turats dan Al-Quran serta Hadits untuk menguatkan gagasan pluralisme agama. Taruhlah Ibnu 'Arabi dan Ibnu Miskawaih yang dijadikan dasar pijakan oleh Komarudin Hidayat untuk melegalkan Pluralisme agama. Mereka juga tidak segan-segan menngutip ayat al-quran sebagai sertifikat langsung dari Allah atas gagasannya tersebut.

Pluralitas agama adalah sebuah realitas di suatu Negara, daerah tertentu, dan dalam suatu keluarga dimana terdapat beberapa pemeluk agama yang berbeda dan hidup berdampingan. islam mengakui keberagaman itu, dan barangkali bisa digolongkan sunnah Allah. Pluralitas tidak sama dengan pluralisme. Jika Islam harus mengakui kebenaran agama lain atas dasar pluralitas mengapa harus ada Dakwah Islamiyah, mengapa Nabi SAW berkirim surat kepada pembesar agama dan Negara pada masanya. Jika pluralisme melarang klaim kebenaran atau melarang menganggap agama yang benar atau paling benar sendiri, tentu Islam tidak masuk kategori agama pluralitas. Apa yang dibawa Islam melengkapi kitab-kitab terdahulu. Lebih dari itu Islam menyalahkan penyelewengan ahl al-kitab kepada kitab mereka, dan penyelewengan itu tidak di tolerir oleh Allah. Jika ada oknum asal beriman kepada Allah saja masuk sorga, maka iblis dan orang kafir Qurasy juga masuk sorga. Iblis dan kafir Quraisy mengakui ketuhanan Allah tetapi menurut al-Quran tetap saja mereka kafir dan masuk neraka.

Berbeda dengan pandangan Nasr Khamid Abu Zayd, menurutnya sudah tidak ada lagi apa yang disebut sebagai agama yang bersifat suci dan mutlak. Bahkan al-Quran yang ada di tangan kita sekarang ini pun tidak dianggapnya sebagai agama dalam arti turun langsungdari Allah. Ini karena dalam pandangannya, al-Quran yang ada di tangan kita sekarang ini pun produk pemahaman manusia, yaitu pemahaman Nabi Muhammad saw. Dia menyatakan bahwa apa yang disebut Suci itu hanya sebuah wujud metafisis yang tak dapat dijangkau manusia.

Maka dari itu, sebagai pembaca muslim penting untuk menjadikan Islam dan ajaran Islam sebagai pijakan dan tolak ukur dalam bersikap dan dalam melakukan proses analisa. Perbedaan sudut pandang dan worldview akan menghasilkan hasil analisa yang berbeda. Relasi antara laki-laki dengan perempuan dalam Islam mempunyai stigma tersendiri dan ini berbeda dengan Barat (yahudi dan kristen).

Kedua, memperlakukan gender sebagai wacana atau discourse, sehingga analisis-kritis yang dilakukannya menjangkau sampai pada akar dan sumber pembentukannya (p. 33). Sebagai pembaca harus sadar betul bahwa gagasan tidak serta-merta ada dengan sendirinya, gagasan atau ide-ide muncul karena ada setingan historis dan lingkungan yang mengelilinginya.

Latar belakang munculnya gerakan feminisme atau yang lebih dikenal dengan gender agaknya memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh aktifis feminis Barat yang tidak puas dengan teks Bibelnya. Dalam segi bahasa mereka menuntut penggunaan bahasa gender-inclusive, seperti mengganti kata mankind dengan humanity, mengusulkan penggunaan kata chairwoman untuk mengimbangi kata chaiman, dan sebagainya. Dalam agama mereka, menuntut adanya tafsir feminis terhadap kitab suci mereka. Sedangkan dalam strata sosial, mereka menuntut hak reproduksi atau meninggalkannya, melegalkan undang-undang aborsi, kesamaan gaji, sterilisasi kandungan dan sebagainya.

Dalam masyarakat Barat telah terjadi perdebatan sengit yang menuntut penafsiran ulang terhadap Alkitab yang dipandang turut memberi andil sebagai penyebab utama dalam merendahkan martabat wanita. Pada tahun 1837, Sarah Grimke menyatakan bahwa penafsiran biblis secara sengaja dibiaskan terhadap perempuan guna mempertahankan posisi subordinatif (sekunder) mereka. Hal ini didukung dengan publikasi Woman's Bible pada tahun 1895. pada tahun 1960 perjuangan hak-hak kaum perempuan difokuskan pada masalah status dan peran perempuan dalam tradisi agama Kristiani dan Yahudi serta bagian yang dimainkan oleh Alkitab dalam mempertahankan status quo yang tidak adil.

Dengan mengetahui latar belakang munculnya gerakan gender/feminis kiranya pembaca dapat memposisikan dirinya dengan proporsional dan arif. Karena ketika melihat pergulatan gender yang terjadi di Barat yang disebabkan oleh teks AlKitab yang bermasalah dan dibandingkan dengan teks al-Quran yang tak bermasalah maka sungguh tidak tepat -untuk mengatakan menolak sama sekali- jika kasus ini dianggap sama dan termasuk permasalahan global.

Ketiga, menempatkan problem gender sebagai suatu kasus spesifik. Hal ini menurut Mohammad Muslih dimaksudkan untuk mendapat kejelasan bahwa pada tradisi dan masyarakat yang selama ini telah menempatkan perempuan pada posisi terhormat, gender bukan lagi masalah. Sebaliknya, gender bisa menjadi problem besar, jika memang terdapat tradisi dan budaya yang menempatkan perempuan pada posisi rendah, terjajah dan seterusnya.

Apabila feminisme kita sepakati sebagai perlawanan terhadap budaya patriakhi (sebagaimana yang diyakini oleh feminis liberal), maka suku-suku yang menganut matrilineal bisa kita jadikan sebuah pengecualian. Adat Minangkabau bersifat matrilineal. Dalam menentukan tempat tinggal suami-istri, adat Minangkabau menganut sistem matrilokal. Dalam adat Minangkabau, yang berkuasa dan bertanggung jawab dalam sebuah rumah tangga adalah ibu yang didampingi oleh mamak (saudara laki-laki ibu), sedangkan ayah hanya sebagai tamu. Dalam perkawinan, menurut adat Minangkabau yang meminang bukan laki-laki atau keluarganya, akan tetapi pihak perempuan. Dalam pembagian harta warisan kaum/suku jatuh pada kepada perempuan, sementara kaum laki-laki tidak mendapatkan bagian apa-apa. Perempuan menempati kedudukan yang istimewa.

Garis keturunan menurut ibu, menimbulkan kecendrungan negatif bagi laki-laki di Minangkabau. Mereka dianggap hanyalah sebagai “pejantan”, yang dinikahi oleh perempuan untuk menjaga eksistensi suku sang perempuan. Tapi sisi lain, matrilineal telah memberikan status yang jelas bagi seorang anak, bahwa ia adalah anak dari ibunya. Sebagaimana telah diketahui dalam masalah seksual, patrilineal telah menempatkan perempuan pada posisi yang rendah (belum lagi penderitaan dan sakit karena hamil. Tradisi ini apakah bentuk penyimpangan atau bukan dalam suatu ajaran maka perlu ada penelitian lebih lanjut.

Tradisi yang sangat bertolak belakang dengan Minangkabau adalah penyelewenang peran dan relasi gender (hubungan antara lelaki dan perempuan) di banyak negara muslim, termasuk di Pakistan. Perempuan tidak dapat tampil dalam ruang-ruang publik, mereka tidak boleh keluar rumah untuk mendermakan kemampuan dan keahlian yang tersimpan bagi kemaslahatan masyarakat, bahkan mereka dicegah untuk mendapatkan hak-hak memperoleh pendidikan yang layak. Yang mengenaskan justru perlakuan diskriminatif ini lahir karena keyakinan mereka demi menjaga kesucian perempuan, menjauhkannya dari fitnah, mencegahnya dari perlakuan tidak senonoh dari lelaki bejat dan lain-lain. Maka tidak ada cara lain, yang ada dalam cara pikir masyarakat awam (baca; primitif) kecuali mengurung perempuan untuk tidak keluar dari rumahnya, dengan dalih menjaga kesucian tersebut.

Akibatnya semua tugas dan peran dimainkan oleh kaum lelaki, karena dengan sendirinya muncul anggapan bahwa hanya lelaki lah yang suaranya dan tubuhnya tidak dianggap aurat, lelaki tidak akan mungkin mendapat perlakuan senonoh, juga tidak mengundang tindakan pelecehan dari masyarakat. Anggapan umum ini demikian telah menjadi suatu tradisi, yang sesungguhnya telah lama mengakar dalam struktur masyarakat jauh sebelum Islam datang ke pakistan. Atau bisa dibilang ia merupakan warisan tradisi yang telah lama ada di anak benua India ini, di mana perempuan diciptakan hanya untuk mengabdi kepada lelaki, jika sang suami mati maka ia pun harus mati bersamanya (sati), seperti kisah Rhama & Shinta ala India kuno sebagai satu model kisah cinta dua insan yang ideal dan harus ditiru, yang sebenarnya tidak lebih dari sekedar kepatuhan perempuan terhadap lelaki yang tidak rasional. Namun kenyataannya tradisi pembudakan perempuan berselubung cinta itu masih sedikit banyak ditemukan di sini, yang hakekatnya tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran agama Islam.
Jadi sudah jelas, wacana gender adalah wacana yang terjadi hanya pada sebagian daerah saja. Tidak semua daerah ada peristiwa bias gender dan diskriminasi terhadap perempuan dalam urusan domestik maupun publik.

Keempat, meletakkan problem gender pada konteks yang lebih luas atau bahkan global. Menurut Mohammad Muslih, upaya ini dimaksudkan agar tidak terlalu terjebak pada diskursusnya dan melakukan analisis dengan lebih objektif. Tambahnya lagi, maksudnya adalah pola piker pola piker modernitas-Barat. Jika disebut misalnya, perempuan dijadikan budak, ternyata laki-laki pun banyak yang dijadikan budak, bahkan juga anak-anaknya, sekalipun kebanyakan oleh kaum laki-laki (p. 32).

Tahap terakhir ini lah pegiat gender harus lebih arif memandang suatu permasalahan yang dinilai olehnya bias gender. Dalam segala permasalahan harus dilihat dari berbagai sudut pandang, dan sudut pandang yang terpenting adalah menggunakan worldview-nya Islam, bukan yang lain dan tidak disamakan dengan trauma sejarah umat kristiani, semrawutnya teks Bibel, dan paradoksnya teologi Kristen.

4.Penutup

Dalam membaca discourse gender sebaiknya kita sikapi dengan arif dan proporsional. Bentuk kehati-hatian dalam menyikapi sebuah wacana bukan berarti menolaknya secara membabi buta dan menerimanya secara taken for granted, wacana ini harus diteliti kenapa terjadi dan dari mana asal muasalnya kemudian dianalisa secara kritis agar dapat diketahui sampai akar sumber pembentukanya dan basis ideologinya. Karena menurut Mohammad Muslih, bangunan wacana gender sarat dengan misi, filosofi, dan ideologi.




DAFTAR PUSTAKA



Al-Quran Al-Karim

Hasan, Hm Afif, Fragmetasi Ortodoksi Islam, membongkar akar sekularisme, (Malang: Pustaka Bayan, 2008)

M. Said, Busthami, Mafhum Tajdiduddin, alih bahasa, Mahsun Al-Mundzir, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam, (Ponorogo: Trimurti, 1992)

Shalahuddin, Henri, "Tafsir Feminis: Tantangan Terhadap konsep Wahyu dan Tafsir", Makalah

Syafrin, Nirwan, "Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam", dalam Jurnal Tsaqofah Volume 4, Nomor 2, R. Tsani 1429. hal. 273.

http://www.langitperempuan.com/2008/02/ratna-megawangi-pelopor-pendidikan-holistik-berbasis-karakter/.

http://psg.uii.ac.id/index.php/Opini/Teknologi-dan-Gender.html.


http://insistnet.com/index.php?option=com_content&task=view.

http://mersi.wordpress.com/2008/01/08/feminisme-pada-masyarakat-matrilineal-minangkabau/.

http://simoelmughni.multiply.com/journal/item/70.

Pengunjung