Rabu, 16 Maret 2011

ANALISIS KOMPARATIF: TEORI TINGKAH LAKU KONSUMEN KONVENSIONAL DAN ISLAM

written by: Anwar Ma'rufi

A. Pendahuluan
Teori adalah alat untuk menjelaskan, memahami, dan menghayati fenomena. Ketika dikaitkan dengan fenomena alam, maka fungsi teori adalah menjelaskan hukum-hukum alam yang memiliki sifat tetap (continuity), bisa dilakukan rekayasa (enginering), bahkan dalam taraf tertentu dilakukan eksploitasi alam (explotatition). Lain halnya ketika dikaitkan dengan fenomena sosial, maka teori digunakan untuk memahami prilaku manusia yang memiliki sifat berubah (changeable), kompleks (complexity) dan tidak sederhana. Dan lain lagi ketika dihubungkan dengan fenomena keagamaan, ia berfungsi untuk menghayati prilaku seseorang atau masyarakat yang didorong oleh motivasi keagamaan.


Prilaku manusia dalam mengkonsumsi kebutuhannya merupakan bagian dari kajian ilmu mikroekonomi yang masih dekat dengan cabang ilmu sosial. Menurut teori tingkah laku konsumen konvensional, seorang konsumen yang rasional akan berusaha memaksimumkan kepuasan dalam menggunakan pendapatannya untuk membeli barang dan jasa. Setiap individu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas konsumsi pada tingkat kepuasan yang maksimal berdasarkan tingkat pendapatannya. Cara pandang seperti ini pada akhirnya menjadikan manusia teraleniasi dari kehidupan sosialnya. Melalui makalah serba terbatas ini, penulis ingin mengungkap bagaimana mekanisme teori tingkah laku konsumen konvensional bekerja dan apa landasan filosofis yang mendasarinya, kemudia penulis komparasikan dengan teori tingkah laku konsumen dalam Islam.
B. Teori Tingkah laku Konsumen Konvensional dan Islam
Dalam pandangan ekonomi konvensional (sebutan yang lazim digunakan untuk ekonomi sekuler), konsumsi adalah titik pangkal dan tujuan akhir dari seluruh kegiatan ekonomi masyarakat. Kalau produksi diartikan untuk menciptakan utility (kepuasan) dalam bentuk barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan manusia, maka konsumsi berarti memakai/menggunakan utility itu untuk memenuhi suatu kebutuhan.
Namun, akibat adanya keterbatasan pendapatan dan kebutuhan untuk mengonsumsi barang dan jasa hingga diperoleh kepuasan maksimal, maka muncullah prilaku konsumen. Objek pembahasan prilaku konsumen meliputi proses keputusan sebelum pembelian serta tindakan dalam memperoleh, memakai, mengonsumsi, dan menghabiskan produk. Selain itu, prilaku konsumen juga terkait jumlah barang yang dibelanjakan, kapan, dengan siapa, oleh siapa dan bagaimana barang yang sudah dibeli dikonsumsi.
Teori prilaku konsumen konvensional, secara sederhana hendak menjelaskan bagaimana sebenarnya konsumen mendayagunakan sumber daya yang ada (pendapatan) dalam memuaskan kebutuhan dari beberapa produk untuk memperoleh nilai guna (utility). Jika konsumen membeli barang karena mengharap dapat memperoleh manfaat atau nilai guna, tentu saja konsumen berharap memperoleh nilau gunanya secara optimal. Artinya utility akan meningkat jika jumlah komoditas yang dikonsumsi meningkat.
Teori tingkah laku konsumen dalam ilmu ekonomi konvensional dapat dibedakan dalam dua macam pendekatan, yaitu pendekatan Utilitas Kardinal (Cardinal Approach) dan pendekatan Utilitas Ordinal (Ordinal Approach).
a. Utilitas Kardinal (Cardinal Approach)
Teori Utilitas Kardinal didasarkan pada asumsi bahwa tingkat kepuasan yang diperoleh konsumen dari mengonsumsi barang dapat diukur dengan satuan tertentu seperti rupiah, jumlah atau buah. Dalam pendekatan ini, digunakan dua konsep yaitu Total Utility (TU) dan Marginal Utility (MU). Yang pertama mengandung arti jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dari mengonsumsi sejumlah barang tertentu. Sedangkan untuk konsep yang kedua, mengandung arti tambahan (atau pengurangan) kepuasan sebagai akibat dari tambahnya (atau kurangnya) penggunaan satu unit barang tertentu.
Contoh penggunaan kedua konsep tersebut adalah pada kasus orang yang haus. Ketika ada orang yang haus kemudian memutuskan untuk membeli air dalam gelas, maka untuk kali pertama meminum air satu gelas akan mendapatkan utilitas/kepuasan. Kemudian dilanjutkan dengan meminum air dalam gelas yang kedua maka totalitas kepuasan akan meningkat karena ia memberikan tambahan utilitas/kepuasan. Tambahan utilitas ini disebut dengan utilitas marginal atau Marginal Utility (MU). Dan sejalan dengan hukum utilitas marginal yang semakin berkurang, semakin banyak mengonsumsi air maka utilitas tambahan yang diperoleh dari mengonsumsi air tersebut semakin berkurang.
Berdasarkan pola konsumsi ini, lahirlah hukum Gossen I dan II. Hukum Gossen pertama berbunyi ”Jika pemenuhan akan satu jenis barang dilakukan secara terus menerus maka utilitas yang dinikmati konsumen akan semakin tinggi, tetapi setiap tambahan konsumsi satu unit barang memberikan tambahan utilitas barang yang semakin kecil.” Karena manusia memiliki kebutuhan tidak pada satu jenis barang maka muncullah hukum Gossen II yang berbunyi ”Manusia di dalam memenuhi segala macam kebutuhannya tidak akan dilakukan secara satu persatu sampai pada kepuasan maksimum, melainkan dilakukan secara serentak bersama-sama dengan membatasi berbagai macam kebutuhan yang dirasakan”.
b. Utilitas Ordinal (Ordinal Approach).
Namun di kemudian hari, para ekonom menolak gagasan utilitas yang dapat diukur dengan angka-angka terhadap barang yang dikonsumsinya itu. Mereka menawarkan teori utilitas ordinal (Ordinal Approach). Teori ini menganggap bahwa utilitas tidak dapat dihitung, melainkan hanya dapat dibandingkan. Menurut teori ini, yang berlaku apakah seorang konsumen lebih menyukai kombinasi barang tertentu dari pada kombinasi barang lain.
Secara garis besar, teori prilaku konsumen konvensional menitikberatkan pada kepuasan individu. Tidak diketahui apakah kepuasan itu bermanfaat terhadap dirinya atau malah membahayakan dirinya dan masyarakat. Orientasinya adalah pemaksimalan kepuasan (utility) individu sebagai konsumen dengan menggunakan pendapatannya. Ia tidak memiliki norma-norma tertentu serta mengindahkan nilai dan etika dalam aktifitas konsumsi. Teori prilaku konsumsi konvensional ini terkesan sangat individualis dan jauh dari kepentingan orang lain.
Pada dasarnya Islam juga mengakui bahwa secara umum tujuan berkonsumsi adalah untuk mempertahankan kehidupannya. Pada konteks ini, Islam dan konvensional sepakat bahwa kebutuhan untuk mempertahankan hidup menjadi motif umum ekonomi. Akan tetapi, yang menjadi pembeda berikutnya adalah prilaku aktifitas ekonomi secara keseluruhan termasuk tingkah laku konsumen.
Dalam Islam, Aktifitas konsumsi diartikan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah. Ia berfungsi untuk menambah kekuatan dan stamina dalam ketaatan kepada Allah, dalam rangka menjalankan tugas sebagai khalifah. Seorang konsumen muslim juga tidak akan melakukan tindakan yang merugikan untuk dirinya di dunia dan akhirat, karena dia yakin bahwa harta yang dibelanjakan akan dimintai pertanggungjawabannya di hari perhitungan kelak.
Dalam aktifitas konsumen konvensional tidak mengenal istilah halal dan haram, dengan kata lain ia tidak memiliki norma-norma tertentu dalam aktifitas konsumsi. Lain halnya dengan seorang muslim, yang seluruh aktifitas konsumsinya dipandu oleh kaidah-kaidah dan hukum-hukum syariat. Kaidah-kaidah tersebut berfungsi untuk mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan yang maksimal, dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak mudharatnya, baik bagi konsumen sendiri maupun yang lainnya.
Adapun tujuan akhir dari konsumsi (Islam) adalah memaksimalkan pencapaian falah (kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan dunia-akhirat). Pembahasan selanjutnya adalah apa parameternya? Menarik untuk mengetengahkan teori Final Spending (FS) konsumsi orang Islam yang dikenalkan oleh Monzer Kahf untuk menjawab pertanyaan tadi. Teori Final Spending ini digunakan sebagai variable standar dalam melihat kepuasan maximun yang diperoleh seorang konsumen muslim. Kahf mengikuti variable zakat dalam analisa final spending seorang muslim. Karena zakat adalah sebuah kewajiban bagi seorang muslim yang hartanya sudah mencapai nisab, maka ia tidak memasukan zakat sebagai final spending.
Dalam menentukan parameter final spending seorang muslim, Kahf tidak menyamaratakan seseorang yang berkemampuan dengan orang yang kekurangan. Seperti yang telah disampaikan tadi, Kahf menggunakan aturan zakat sebagai panduan analisanya. Berdasarkan kemampuan ekonominya, masyarakat dikelompokkan menjadi tiga golongan; golongan masyarakat muzakki (golongan pembayar zakat). Kedua, golongan masyarakat mustahik (golongan penerima zakat). Ketiga, masyarakat non-mustahik-muzaki yaitu golongan yang bukan penerima ataupun pembayar zakat (golongan middle income).
Bagi golongan masyarakat muzakki, final spendingnya yang dilakukan untuk mendapatkan kepuasan yang maksimum berdasarkan jumlah kekayaan dan tingkat pendapatannya. Semakin tinggi tingkat pendapatan dan semakin banyak kekayaannya maka semakin maksimal kepuasan yang diperolehnya. Pasalnya, seorang muzaki mampu mencukupi kebutuhannya dan mampu membayarkan zakat sebagai kewajibannya, yang dengan zakat itu mampu mencukupi kebutuhan masyarakat yang tidak mampu sebagai final sending-nya. Meskipun, dengan adanya zakat akan mengurangi final spending-nya muzakki.
Untuk golongan mustahik terdapat dua model teori. Yang pertama, final spending-nya sepenuhnya bersumber dari zakat. Adapun rumusnya adalah FS = Z, Z = Co, dimana FS menunjukan pada final spending, Z sama dengan zakat dan Co sama dengan konsumsi kebutuhan pokok. Teori pertama ini ditujukan untuk sumber konsumsi golongan mustahik khususnya kategori fakir, ibnussabil dan fisabilillah. Teori kedua dapat dirumuskan FS = Y + Z , Y + Z = Co. Model kedua ini menggambarkan sumber konsumi mustahik kategori miskin, golongan yang memiliki pendapatan tapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok, sehingga harus dipenuhi oleh zakat. Pada kondisi ini final spending-nya melebihi tingkat pendapatannya.
Bagi golongan mid-income final spending-nya dapat dirumuskan dengan FS = Cm + In + Sh, dimana Cm sama dengan total konsumsi, In sama dengan infaq, Sh sama dengan shadaqah. Golongan ini dapat memenuhi kebutuhan primernya dan masih memiliki kemampuan untuk mengonsumi barang skunder. Karena kekayaannya belum mencapai nisab maka untuk memaksimalkan final spending-nya mereka mengeluarkan infaq atau shadaqah.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa kepuasan akan diperoleh lebih besar ketika masyarakat berada dalam kondisi ekonomi yang lebih baik. Pasalnya golongan muzakki karena pendapatannya mencapai batas nisab zakat mereka mampu beramal shaleh dalam bentuk zakat, infak atau shadaqah dan bahkan jika pendapatannya lebih besar lagi maka muzakki akan terdorong untuk beramal shaleh lebih tinggi lagi yaitu memberikan wakaf. Lain halnya dengan golongan mustahik yang tidak mampu melakukan amal shaleh dengan pendapatannya kecuali dengan amal-amal lainnya yang tidak menggunakan dana, alasannya karena tidak memiliki pendapatan lebih. Sedangkan golongan mid-income masih mampu menyisihkan pendapatannya untuk beramal shaleh misalnya dengan mengeluarkan infak atau shadaqah.
Disini dapat dipahami perbedaan antara teori tingkah laku konsumen konvensional dan Islam. Dalam konvensional tidak ada mekanisme jaminan untuk memenuhi kebutuhan golongan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berbeda dengan konvensional, prilaku konsumsi seorang muslim diatur oleh sebuah aturan mekanisme yang tidak hanya mengakomodasi konsumsi kebutuhan-kebutuhan untuk diri sendiri tetapi juga memperhitungkan prilaku konsumsi untuk orang lain atau tindakan-tindakan sosial yang dilakukan dengan menggunakan pendapatannya.
C. Landasan Filosofis
Setiap ilmu, konsep, atau teori tidak akan pernah bisa lepas dari unsur-unsur pandangan hidupnya (worldview). Demikian juga, teori tingkah laku konsumen dalam ekonomi konvensional yang memiliki tempat dan basis pandangan hidupnya. Teori lahir dari paradigma tertentu yang terbentuk oleh pandangan seseorang terhadap hakikat sesuatu. Kaitannya dengan teori tingkah laku konsumen, maka tidak lepas dari cara pandang terhadap hakikat manusia, kebahagiaan (kepuasan) dan posisi agama.
1. Hakikat Manusia
Di dunia ini, terdapat berjuta-juta kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia. Ia berkedudukan sebagai pelaku ekonomi, yakni sebagai produsen yang menawarkan barang dan jasa, sebagai konsumen yang menikmati barang dan jasa tersebut, sekaligus sebagai distributor yang menyalurkannya dari produsen menuju konsumen. Dari sini, dapat dipahami bahwa manusia merupakan pelaku utama dalam kegiatan ekonomi. Oleh karenanya, ilmu ekonomi sangat erat kaitannya dengan asumsi yang mendasar tentang manusia. Karena asumsi tersebut akan mempengaruhi pola dan tingkah laku dirinya dalam setiap aktifitas. Jika ilmu ekonomi berpijak pada asumsi yang salah tentang manusia, maka ilmu ekonomi tersebut tidak dapat diandalkan.
Ilmu ekonomi konvensional menyebut manusia sebagai homo economicus yang berarti bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang selalu berusaha memaksimalkan kepuasannya dan selalu bertindak rasional. Ia akan memaksimalkan kepuasannya selama kemampuan finansialnya memungkinkan. Mereka memiliki pengetahuan tentang alternative produk yang dapat memuaskan kebutuhan mereka. Dari sini, dapat dilihat bahwa motif prilaku manusia lebih didominasi oleh nilai-nilai egoisme, self interest dan rasionalisme yang materialis. Egoisme merupakan nilai yang konsisten dalam mempengaruhi seluruh aktifitas manusia. Sehingga ia yang menjadi titik sentral dalam analisa dan pengembangan teori ekonomi.
Homo-economicus dalam perilakunya selalu akan memaksimalkan manfaat yang dapat diperolehnya. Jika ia seorang konsumen maka ia akan memaksimalkan utility, jika ia seorang produsen ia akan memaksimalkan keuntungan. Adam Smith beranggapan bahwa jika setiap individu dibiarkan memperturutkan kepentingan dirinya, maka “tangan-tangan gaib” (invisible hand) kekuatan-kekuatan pasar melalui batas-batas yang dibuat oleh proses kompetisi akan mendorong kepentingan masyarakat seluruhnya, sehingga menimbulkan keharmonisan antara kepentingan individu dan umum.
Lain halnya dengan Islam, Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna yang memiliki selain tubuh dan akal juga ruh dan jiwa. Keberadaannya di muka bumi adalah sebagai wakil Tuhan. Ia diturunkan ke bumi sesuai dengan misi perwakilan atau pemandatan itu, kemudian seorang wakil harus mentaati perintah yang mewakilkan. Oleh karena itu segala tindakan manusia di bumi harus sesuai dengan apa yang diajarkan-Nya, termasuk dalam ekonomi. Dasar pemahaman ini dimaksudkan untuk (1) manusia harus membangun bumi, (2) manusia memiliki harta sebagai wakil dari Allah, (3) manusia berhak memiliki, menggunakan harta sesuai dengan kedudukan sebagai wakil karena kepemilikan adalah motivasi utama untuk pengembangan dan produksi.
Manusia dalam batas-batas tertentu tidak berbeda dengan karakter homo economicus, namun karena adanya filter yang islami, perilaku manusia menjadikannya homo islamicus. Filternya itu adalah aturan syariah. Ia mengatur manusia sebagai dirinya sendiri dan bagian dari masyarakat di atas neraca yang lurus, seimbang dan adil, dimana hak-hak individu sangat diperhatikan dan diberi kebebasan yang tidak menodai hak masyarakat, malah harus bermanfaat kepada masyarakat. Jadi sebagai konsumen ia tidak akan mengonsumsi dengan berlebihan sambil melupakan kebutuhan masyarakat, sebagai produsen ia tidak akan berusaha dalam bidang-bidang yang dilarang agama yang merugikan masyarakat, dan sebagai penguasa ia akan mendahulukan kepentingan umum dengan senantiasa mengutamakan keadilan.
Dari sini dapat dilihat perbedaan yang sangat mencolok. Tidak heran, jika paradigma konvensional tentang manusia yang sangat individualisme menjadikan tindakan para pelaku ekonomi sama sekali tidak memperhatikan kepentingan orang lain kecuali jika ada manfaat yang dipetiknya. Mereka tidak mementingkan kemashlahatan orang lain jika itu bertentangan dengan kemashlahatan pribadi. Sebaliknya, Islam mengakui hak individu dan masyarakat sekaligus, juga meminta mereka untuk menjalankan kewajibannya masing-masing. Islam menekankan keseimbangan yang adil, tidak menzhalimi masyarakat khususnya kaum lemah, juga tidak menzhalimi hak individu untuk mengembangkan dirinya.
2. Makna Kepuasan
Dalam pandangan konvensional, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan itu adalah sesuatu yang dapat memuaskan manusia. Alat pemuas manusia itu ada kalanya berupa sesuatu yang bisa dirasakan dan diindra manusia, seperti kebutuhan manusia akan makanan dan pakaian, dan ada kalanya kebutuhan-kebutuhan itu berupa sesuatu yang hanya bisa dirasakan namun tidak dapat diindra oleh manusia, seperti kebutuhan akan jasa layanan dokter dan guru. Ringkasnya, alat pemuas itu dibedakan antara barang dan jasa. Adapun kebutuhan spiritual tak pernah diakui keberadaannya secara ekonomi. Bahkan hal itu tidak pernah diperhatikan dalam kajian ekonomi konvensional.
Dalam pandangan konvensional, kepuasan atau kenikmatan itu diperoleh oleh seseorang dari mengkonsumsi barang dan jasa yang memiliki nilai guna (utility). Jika suatu barang memiliki kegunaan maka barang tesebut layak digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Adapun memenuhi kebutuhan identik dengan keinginan. Yang bernilai guna itulah yang diinginkan. Artinya, sesuatu itu dianggap memiliki nilai guna (utility) selama masih ada orang yang menginginkan. Dan keinginan manusia berbeda-beda, yakni bersifat subjektif. Bisa jadi sesuatu yang diinginkan dan dibutuhkan oleh seseorang dianggap mampu memberi kepuasan sedangkan menurut sebagian yang lain dianggap membahayakan. Para ekonom konvensional memandang kebutuhan dan kegunaan apa adanya, bukan sebagaimana mestinya. Artinya, mereka hanya memandang kegunaan itu dari segi kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan.
Berbeda dengan konvensional, Islam memandang kebutuhan manusia lebih dari sekedar kepuasan materi. Dalam pandangan Islam, kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut dengan mashlahah (kebaikan). Adapun kebalikan dari mashlahah adalah mafsadat (kerusakan). Asy syatibi mendefinisikan maslahah sebagai sesuatu yang menyebabkan tegaknya kehidupan manusia serta kesempurnaan hidupnya, sekaligus merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’. Jika dipelajari dengan seksama, maka konsep mahlahah ini mencakup kebaikan bagi agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. dan jika ditelusuri lebih dalam lagi, landasan kepuasan manusia lebih holistik dari sekedar materi.
Parameter kepuasan seorang muslim adalah pencapaian falah, yakni kebahagiaan dunia akhirat sebagai turunan dari keyakinan akan adanya kehidupan yang abadi setelah kematian. Dan keyakinan ini juga yang kemudian mengontrol prilaku manusia. Seorang muslim akan merasa bahagia jika tindakannya bermanfaat bagi orang lain (amal shalih). Dan akan merasa sedih, jika aktivitas konsumsinya menyinggung hati kaum tak mampu. Dan akan merasa nyaman jika aktivitas produksinya tidak membahayakan manusia serta lingkungannya. Makna kepuasan dalam Islam tidak melulu dengan membelanjakan semua hasil pendapatannya seperti apa yang dipresepsikan oleh ilmu ekonomi konvensional yang tidak menyentuh nilai-nilai spiritualitas sama sekali.
3. Agama
Pandangan ekonomi konvensional tidak bisa dilepaskan dari gerakan ’Pencerahan’ (enlightment) yang berlangsung kurang lebih dua abad, dari permulaan abad 17 sampai permulaan abad 19. Pada masa-masa itu, banyak gerakan anti agama yang didukung oleh ilmuwan-ilmuwan terkemuka. Misal Auguste Comte, seorang filosuf yang telah membayangkan kebangkitan sains dan jatuhnya agama. Ia meyakini bahwa masyarakat ‘berevolusi’ dan ‘berkembang’ dari tahap ‘primitif’ ke ‘modern’. Disusul oleh Nietzsche yang mengatakan bahwa Tuhan telah mati.
Kemudian paradigama positivisme yang dipelopori oleh Comte, dan dikukuhkan oleh Lingkaran Wina, perlahan menggusur pandangan-pandangan metafisika, nilai-nilai hidup dan norma-norma. Munculnya gerakan anti agama ini, salah satu penyebabnya adalah adanya korupsi dan despotisme dalam gereja. Ada banyak kelonggaran moral di antara pemuka agama yang dapat dibuktikan oleh ribuan kesaksian. Selain itu, adanya trauma dan problem sejarah, problema teks Bible dan Probelm teologi Kristen turut menyumbangkan kebencian terhadap agama. Sebagai gantinya, para pemikir kala itu memposisikan akal manusia lebih tinggi dari keimanan dan intuisi. Pada akhirnya, paradigma positivisme yang rasionalis serta nir-agama mempengaruhi pandangan ilmu-ilmu ekonomi. Karena itu, penilaian (value judgement) menjadi suatu anatema dan ilmu ekonomi dipisahkan dari etika termasuk nilai-nilai agama.
Berbeda dengan Islam, ekonomi yang diyakini sebagai salah satu cabang ilmu, secara otomatis tidak dapat dipisahkan dengan agama. Terlebih lagi al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagai sumber hukum dari semua peerkara memberikan porsi yang cukup besar dalam membahas berbagai hal yang berkaitan dengan ekonomi. Bahkan prinsip, metodologi dan hukum pengaturan perekonomian dalam Islam tidak bisa dipisahkan dengan Islam sebagai agama. Berdasarkan alasan ini, sulit untuk mendikotomikan agama dan ekonomi dalam Islam.
4. Kelangkaan (Scarcity)
Dalam ilmu ekonomi konvensional, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Maksudnya adalah suatu kondisi dimana ada ketidakseimbangan antara jumlah barang yang tersedia dengan pihak yang membutuhkan barang tersebut atau dapat dikatakan bahwa penawaran lebih kecil daripada permintaan. Hal ini karena setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya tidak terbatas sementara sarana pemuas (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia terbatas.
Kebutuhan dalam pandangan konvensional mencakup kebutuhan (need) dan keinginan (want). Menurut pandangan ini pengertian antara kebutuhan (need) dan keinginan (want) adalah dua hal yang sama, yakni kebutuhan itu sendiri. Setiap kebutuhan yang ada pada diri manusia tersebut menuntut untuk dipenuhi oleh alat-alat dan sarana-sarana pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Oleh karenanya muncullah teori kelangkaan (scarcity).
Lain halnya dengan Islam yang membedakan arti kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan lebih didefiniskan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk kehidupannya. Sementara keinginan didefinisikan sebagai desire (kemauan) manusia atas segala hal. Jadi ruang lingkup definisi keinginan akan lebih luas dari sekedar kebutuhan. Contoh sederhananya untuk membedakan kedua kata itu dapat dilihat konsumsi manusia pada air untuk menghilangkan dahaga. Bagi seseorang segelas air putih mungkin sudah cukup untuk menghilangkan dahaga, namun untuk seseorang yang berkemampuan dan berkeinginan bisa jadi ia akan membeli wishky yang jauh lebih mahal dan lebih memuaskan keinginannya.
Islam memiliki nilai moral yang begitu ketat untuk memasukan keinginan (wants) dalam motif aktivitas ekonomi. Tidak semua keinginan harus diwujudkan jika itu dilarang oleh Islam. Artinya, yang terbatas adalah keinginan (wants) manusia, bukan kebutuhan pokoknya secara umum. Jadi, menurut Islam, permasalahan utama dalam ekonomi bukan kelangkaan barang, tapi rusaknya distribusi kekayaan ditengah masyarakat.
D. Penutup
Dari pembahasan singkat di atas, kiranya dapat dipahami bahwa teori tingkah laku konsumsi Islam lebih holistik dari sekedar pemenuhan kebutuhan materi seorang manusia. Dan nampaknya memang Islam adalah agama yang fitrah, agama yang sesuai dengan naluri, tabiat dan bawaan alam manuasia. Ajaran Islam bukanlah suatu angan-angan atau khayalan yang sulit direalisasi tetapi merupakan ajaran yang bisa dikerjakan oleh siapapun, apabila menghendaki hal itu. Aturan-aturan yang diterapkan Islam sesuai dengan keadaan dan kemampuan manusia serta tidak bertentangan dengan nurani dan fikiran yang sehat.






















DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Ali Sakti, Analisis Teoritis Ekonomi Islam: Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern, (Paradigma dan AQSA Publishing, 2007)

Arif Pujiono, Teori Konsumsi Islami, dalam Jurnal Dinamika Pembangunan, vol. 3 no. 2/Desember 2006

Asy syatibi, Al Muwafaqat fi Ushul Asy Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, Cet 1, 1997 M/1417 H) Vol. 2.

Bilson Simamora, Panduan Riset Prilaku Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008)

Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005

http://en.wikipedia.org/wiki/Monzer_Kahf,

http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_mikro,

Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab, alih bahasa: Asmuni Solihan Zamakhsyari, (Jakarta: Khalifa, 2006)

Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosopher, 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM-Abad 21 yang menginspirasi Duna Bisnis, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010)

M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani, 2000)

Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2004)

Rudolf Carnap, The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language, dalam A. J. Ayer, Logical positivism, (New York: Mcmillan Publishing, 1956)

Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi, Edisi Kedua, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997)

Sayyid Abul A'la Maududi, Cara Hidup Islam, alih bahasa: Ya'qub Muhammad Hussin Wan Salim Muhammad Nur

Soetrisno, Kapita Selekta Ekonomi Indonesia, Edisi II, (Yogyakarta: Andi Offset, 1992)

Sugiarto dkk, Ekonomi Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007)

Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, alih bahasa: Khalif Muammar dkk, (Bandung: PIMPIN, 2010)

T. Gilarso, Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro, edisi revisi, (Yogyakarta: Kanisius, 2003)

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, alih bahasa: Redaksi al-Azhar press, (Bogor: al-Azhar Press, 2009)

Tri Kunawangsih dan Anto Pracoyo, Aspek Dasar Ekonomi Mikro, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006)

Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa: Zainal Arifin dan Dahlia husin, (Jakarta: Gema Insani press, 1997)

Pengunjung