Written by: Anwar Ma’rufi
A. Pendahuluan
Dalam literatur studi keislaman, nama al-Kindi disebut-sebut sebagai peletak dasar filsafat Islam. Usaha al-Kindi kemudian diteruskan oleh al-Farabi, Ibnu Sina dll. Namun, kalangan orientalis menganggap bahwa kerangka kajian filsafat Islam seluruhnya dari Yunani. Pandangan ini mengisyaratkan bahwa filsafat Islam tidaklah orisinil. Anggapan ini tidak sepenuhnya diterima, pasalnya para filosuf Muslim seperti al-Kindi dsb. telah mengubah pemikiran Yunani agar sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Oleh karena itulah, penulis berusaha melihat bagaimana upaya al-Kindi dalam mentransmisikan filsafat Yunani ke dalam prinsip-prinsip ajaran Islam, khususnya filsafat metafisika. Namun sebelum itu akan penulis ulas biografinya terlebih sebagai upaya memahami pribadi al-Kindi.
B. Biografi al-Kindi
Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Shabbah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais al-kindi. Menurut Ahmad Fuad al-Ehwany, Yahunna Qomeer dan Henry Carbin, al-Kindi dilahirkan pada tahun 185 H./801 M. dan menurut Corbin lagi, ia meninggal pada tahun 260 H./ 873 M. yakni tahun dimana Imam al-Asy’ari dilahirkan. Ia hidup pada masa kekhalifahan al-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tasim (833-842), al-Watsiq (842-847) dan al-Mutawakkil (847-861).
Al-Kindi dilahirkan di Kufah dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya al-Asy’as bin Qais adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang gugur sebagai syuhada’ bersama Sa’ad bin Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum Muslimin dengan Persia di Irak. Sementara itu ayahnya, Ishaq bin Shabbah, adalah Gubernur Kufah pada masa pemerintahan al-Mahdi (775-785 M) dan ar-Rasyid (786-809 M). Ayahnya meninggal ketika ia masih usia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik.
Ia adalah sosok yang gemar mempelajari berbagai disiplin ilmu, karena minatnya yang tinggi itulah, ia pindah dari Kuffah menuju Bashrah, sebuah pusat studi bahasa dan ilmu kalam. Kemudian ia pindah dan menetap di Baghdad, yang juga sebuah jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Di kota inilah, ia menekuni ilmu sain dan filsafat.
Al-Kindi hidup pada masa penerjemahan besar-besaran karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Sejak didirikannya Bait al-Hikmah oleh al-Ma’mun, al-Kindi sendiri turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini. Di samping menerjemah, al-Kindi juga memperbaiki terjemahan-terjemahan sebelumnya. Karena keahlian dan keluasan pandangannya ia diangkat sebagai ahli di istana dan menjadi guru putra Khalifah al-Mu’tasim.
Selain itu, ia juga termasuk seorang yang kreatif dan produktif dalam kegiatan tulis-menulis. Ia telah menulis hampir seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Dan informasi yang diperoleh dari Tony Aboud, selama hidupnya al-Kindi kira-kira telah merampungkan sekitar 200 hingga 270 buku dan artikel. Akan tetapi amat disayangkan kebanyakan karya tulisnya telah hilang sehingga sulit menjelaskan berapa jumlah karya tulisnya.
Pada dasarnya Al-Kindi menyadari bahwa banyak dari kalangan umat Islam yang antipati terhadap filsafat yang berasal dari peradaban Yunani, karena itulah ia berusaha memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam dengan cara mengetok hati umat Islam supaya menerima kebenaran walaupun dari mana sumbernya. Menurutnya, antara agama dan filsafat tidaklah bertentangan, karena masing-masing dari keduanya itu adalah ilmu tentang kebenaran. Ilmu filsafat membahas tentang ketuhanan, keesaan-Nya dan keutamaan serta membahas apa-apa yang bermanfaat bagi manusia. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah yang mereka juga menetapkan keesaan Allah dan mengajarkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
Al-Kindi juga menantang kepada siapapun yang tidak senang terhadap filsafat. Menurutnya, jika ada yang orang yang mengatakan bahwa filsafat itu tidak diperlukan, mereka harus memberikan argument dan menjelaskannya. Usaha mengemukakan argument tersebut, sejatinya bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat sesuatu. Untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika, mereka perlu memiliki pengetahuan filsafat. Jadi filsafat itu harus dimiliki dan dipelajari.
C. Karyanya
Sebagai seorang filosuf yang sangat produktif, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tony Aboud, selama hidupnya al-Kindi kira-kira telah merampungkan sekitar 200 hingga 270 buku dan artikel dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang filsafat di antaranya adalah:
1. Kitab al-Kindi ila al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama);
2. Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al-Muqtashah wa ma Fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil serta metafisika);
3. Kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘Ilmi al-Riyadliyyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika);
4. Kitab fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya);
5. Kitab fi Ma’iyyah al-‘Ilm wa Aqsamihi (tentang ilmu pengetahuan dan klasifikasinya);
6. Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya);
7. Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan);
8. Kitab fi Ibarah al-Jawami’ al-Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif);
9. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al_ruhaniyah ( sebuah tulisan filosofis tentang rahasia spiritual);
10. Risalah fi al-Ibanah ‘an al-‘Illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-Kawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam kerusakan).
D. Pemikiran tentang Metafisika
Setiap pemikiran selalu mencerminkan zamannya. Ia merupakan hasil dari interaksinya dengan sejarah yang melingkupinya. Diskusi tentang metafisika ini sudah dimulai dari masa Yunani Kuno yang mempersoalkan tentang being atau “yang ada”. Pada abad VII M wilayah Islam telah mencakup Mesir, Syiria, Mesopotamia (Irak), dan Persia. Peristiwa ini menandakan dimulainya kontak antara Islam dan filsafat Yunani, karena filsafat Yunani telah masuk dan berkembang di daerah ini. Kegiatan penterjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab itulah yang mengantarkan intelektual Muslim untuk angkat bicara mengenai filsafat, khususnya filsafat metafisika, al-Kindi termasuk salah satu pelopor utamanya.
Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Menurut Aristoteles, metafisika adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang ‘keadalahan’ sesuatu (being qua being) dan ciri-ciri sejati (properties inherent) atas segala sesuatu. Metafisika membahas sesuatu yang sangat umum dan mendasar. Jika diterapkan dalam kajian manusia, maka yang dibahas adalah apa itu manusia, dari mana asalnya, siapa yang menciptakan, untuk apa manusia diciptakan dan apa saja yang membuatnya bahagia dan sedih. Begitu juga jika diterapkan dalam kajian alam, metafisika akan mempertanyakan apa itu alam, siapa yang menciptakan alam, untuk apa alam diciptakan dan. Jadi pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar inilah yang dikaji oleh metafisika.
Memaknai metafisika Al-Kindi lebih sepesifik dari Aristoteles, yakni menyebutnya dengan nama filsafat awal (al-falsafah al-ula). Metafisika baginya adalah ilmu yang membahas sesuatu yang tidak bergerak, atau ilmu yang membahas sesuatu yang bersifat ilahi (divine things). Menurutnya ia adalah ilmu filsafat yang paling mulia, karena ia mempelajari ilmu tentang kebenaran awal yang menjadi sebab dari segala kebenaran. Al-Kindi juga menyebutnya sebagai ‘ilmu sebab pertama’ (al-’illat al-ula), alasannya karena semua cabang ilmu filsafat tercakup dalam disiplin ilmu ini. Karena dia adalah awal dari kemuliaan, awal dari segala jenis, awal dari segala tingkatan dan awal dari zaman karena dia adalah sebab adanya zaman.
Permasalah yang diangkat dalam pemikiran metafisika al-Kindi tidak sama persis dengan apa yang dikaji oleh metafisikanya Aristoteles dan para filosuf muslim lainnya. Isu yang dibicarakan oleh al-Kindi terbatas pada pengklasifikasian wujud (being), alam semesta, dan Tuhan. Metafisika al-Kindi, tidak hanya menyajikan sesuatu hal yang baru, tapi ia senantiasa menempatkan dirinya sebagai lawan dari metafisikanya filosuf Yunani dengan memasukan nilai-nilai Islam ke dalamnya.
1. Wujud (being)
Al-Kindi membedakan sesuatu yang ada (wujud/being) menjadi dua, sesuatu yang bersifat indrawi (al-mahsus) dan yang bersifat akali (al-ma’qul). Ilmu yang mempelajari sesuatu yang bersifat indrawi (al-mahsus) disebut dengan ilmu fisika (thabi’i), sedangkan ilmu yang mempelajari sesuatu yang bersifat akali (al-ma’qul) disebut dengan ilmu metafisika (al-falsafah al-‘ula). Dan tiap-tiap benda memiliki dua hakikat. Hakikat sebagai juz’i yang disebut aniah, dan hakikat sebagai kulli yang disebut mahiah (hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan species). Juz’i yang dinisbatkan kepada individu yang tampak itu menjadi bahan kajiannya ilmu fisika (thabi’i), sedangkan metafisika mengkaji segala sesuati yang bersifat kulli, mengkaji atas mahiah sesuatu. Menurutnya, yang terpenting bukanlah juz’iah yang tak terhingga banyaknya itu, tetapi hakikat yang terdapat dalam juz’iah itu, yaitu kulliah (universal).
2. Alam Semesta
Salah satu problem terpenting di kalangan filosuf muslim adalah pembicaraan mengenai penciptaan alam semesta. Dikatakan sangat penting, karena problem ini sangat erat kaitannya dengan konsep tauhid (the unity of God). Telah dibahas sebelumnya, bahwa al-Kindi termasuk seorang filosuf muslim yang tengah berusaha memadukan antara filsafat Yunani dengan Islam. Karena itu, dalam permasalah yang krusial ini, ia lebih memilih berpendapat bahwa alam ini diciptakan sesuai dengan apa yang diinformasikan oleh al-Quran, oleh sebab alam ini diciptakan maka alam ini tidaklah kadim. Menurut al-Kindi, alam ini disebabkan oleh sebab yang jauh (‘illat ba’idat ilahy), yakni Allah. Ia menciptakan alam dari tiada menjadi ada (creation ex nihilo).
Pendapat al-Kindi di atas berbeda sama sekali dengan para pendahulunya, Plato (490 SM), Aristoteles (384-322 SM) dan Plotinus (205-270 SM) yang tidak pernah berpendapat bahwa alam ini diciptakan dari tiada menjadi ada. Menurut mereka, alam ini diciptakan dari benda yang sudah ada sebelumnya dengan cara emanasi. Sebelum Aristoteles, Pricles atau Proclus (411-405 SM) berpendapat bahwa alam ini bersifat kekal dan juga gerak alam ini kekal. Ia mengemukakan delapan alasan untuk membuktikan bahwa alam ini kekal. Pendapat mereka ini dibantah oleh al-Kindi dengan metodologi yang belum pernah ada sebelumnya. Menurut George N. Atiyeh, al-Kindi menggunakan ilmu matematika (mathematical) dan logika (logical reasoning). Usaha al-Kindi nampaknya tidak didukung oleh beberapa filosuf muslim, seperti Ibnu Sina dan al-Farabi. Untuk problem penciptaan alam semesta, mereka lebih memilih pendapatnya para filosuf Yunani dengan sedikit perubahan dalam konsep emanasi daripada al-Kindi.
Tentang baharunya alam, al-Kindi mengemukakan tiga argument, yakni gerak (motion), zaman (time) dan benda (body). Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Masa gerak menunjukkan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda. Mustahil kiranya ada gerak tanpa adanya benda. Ketiganya sejalan dan akan berakhir.
Lebih lanjut al-Kindi mengemukakan beberapa argument untuk menetapkan baharunya alam.
a. Semua benda yang homogen, yang tidak padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah sama besar.
b. Jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama besarnya dalam aktualitas dan potensialitas.
c. Benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai batas.
d. Jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak sama besar.
e. Jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada benda semuala.
f. Jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula.
g. Tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas bisa lebih kecil ketimbang yang lain.
h. Jika benda-benda homogen yang semuanya mempunyai batas ditambahkan bersama, maka jumlahnya akan terbatas.
Atas dasar itulah, al-Kindi berkesimpulan bahwa alam ini pastilah terbatas, dan ia menolak secara tegas pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau kadim. Pasalnya seandainya alam ini tidak terbatas, lalu diambil sebagian, maka yang tinggal, apakah terbatas, ataukah tidak terbatas? Jika yang tinggal terbatas, bila ditambahkan kembali kepada bagian yang dipisahkan, maka hasilnya tentu terbatas pula dan inilah yang benar, tetapi bertentangan dengan pengandaian semula bahwa alam ini sebelum dibagi atau diambil sebagiannya, tidak terbatas. Sekiranya yang tinggal setelah diambil itu tidak terbatas, sedangkan keseluruhannya sebelum diambil juga tidak terbatas, maka berarti benda itu sama besar dengan bagiannya, dan ini kontradiktif dan tidak dapat diterima.
3. Tuhan
Setelah membuktikan bahwa alam semesta ini diciptakan pada suatu masa (muhdats), kemudian al-Kindi hendak mendemonstrasikan bahwa alam ini mempunyai Dzat yang menciptakan (muhdits). Untuk membuktikan adanya Allah Sang Pencipta, al-Kindi mengajukan beberapa argument. Pertama, bukti adanya Allah adalah diciptakannya alam semesta pada suatu masa. Apapun yang diciptakan pada suatu masa, maka ia mempunyai pencipta. Setiap yang memiliki permulaan waktu maka ia akan berkesudahan.
Argumen kedua adalah keaneragaman alam. Sebelum berargumen, al-Kindi menjelaskan makna dari istilah ‘satu’ (one/wahid). Kata ‘satu’ adalah istilah yang merujuk pada ‘satu’ (single) dari kumpulan beberapa objek dan merujuk pada ‘Esa’ (One), Sang Pencipta. Untuk makna pertama, ia tersusun dari beberapa objek, dan dapat dibagi (divisible) kedalam beberapa bagian. Sedangkan untuk makna kedua (One-ness, the Creator), Ia adalah satu yang tidak dapat dibagi-bagi (indivisible). Selain ‘Yang Esa’ (One-ness) berarti berragam (multiple). Ketiadaan Yang Esa juga berdampak pada ketiadaan yang berragam. Yang Esa (One-ness) adalah penyebab adanya yang lain. Dia lah Allah Sang Pencipta.
Argument ketiga adalah bahwa segala sesuatu mustahil dapat menjadi penyebab atas dirinya sendiri. Karena jika ia sendiri yang menyebabkan atas dirinya maka akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Karena itulah, penyebabnya harus dari luar sesuatu itu, yakni Dzat Yang Maha Baik dan Maha Mulia dan lebih dahulu adanya dari pada sesuatu itu. Ia adalah Allah swt, Dzat yang Maha Pencipta.
Tuhan dalam filsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti ‘aniah atau mahiah. Bukan ‘aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi (al-hayula) dan bentuk (al-shurat). Tuhan juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak termasuk genus atau species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik. Ia adalah Yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wahid). Ia semata-mata satu. Selain dari-Nya mengandung arti banyak.
Sebagaimana kebanyakan umat Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah pencipta (mubdi’). Tuhanlah yang menciptakan alam beserta isinya. Berbeda dengan Aristoteles, menurutnya Tuhan tak memiliki ciri-ciri seperi Tuhan Penyelenggara atau Pencipta, sebab akan turunlah derajat kesempurnaan-Nya jika Ia memikirkan segala sesuatu selain yang sempurna. Tuhan, menurutnya adalah penyebab gerak, akan tetapi dirinya sendiri tidak harus bergerak. Tuhan melahirkan sesuatu yang bergerak (alam semesta) dengan jalan dicintai. Jadi bagi al-Kindi, Tuhan bukanlah Pencipta alam semesta ini dalam pengertian dari tiada menjadi ada. Tuhan dalam istilah Aristoteles adalah The Prime Mover bukan The Creator.
E. Penutup
Dari pemaparan singkat di atas, terlihat bahwa al-Kindi, filosuf muslim paripatetik pertama, selalu berupaya untuk menselaraskan filsafat Yunani dengan ajaran Islam dengan cara mengadopsi mana yang sesuai dan membuang atau merubah mana yang tidak sesuai dengan akidah Islam. Usaha al-Kindi itu adalah proses islamisasi filsafat Yunani. Jadi tidaklah benar jika dikatakan bahwa seluruh kerangka kajian filsafat Islam seluruhnya berasal dari Yunani, sebagaimana yang dituduhkan oleh orientalis.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filosuf Muslim: Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004)
Ali Maksum, Pengantar Filsafat: dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009)
Aristoteles, Ta meta ta phyisika, Γ, 1003a
Diane Collinson dan Robert Wilkinson, Thirty-Five Oriental Philosophers, (London: Routledge, 1994)
George N. Atiyeh, Al-Kindi: The Philosopher of The Arabs, (Islamabad: The Islamic Research Institute, 1967)
Hamid Fahmi Zarkasy, Re-orientasi Framework Kajian Filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam Indonsia, dalam ISLAMIA Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Volume V No. 1, 2009
Hamid Naseem, Muslim Philosophy Science and Mysticism, (New Delhi: Sarup & Sons, 2001)
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999)
Mashhad Al-Allaf, The Essence of Islamic Philosophy, (USA: Islamic Information Center, 2003)
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Grafindo Persada, 2007)
Tony Aboud, Al-Kindi: The Father of Arab Philosophy, (New York, The Rosen Publishing Group, 2006)
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, (London: Islamic Publication for The Institute of Ismaili Studies, tt)
الكندى، رسائل الكندي الفلسفية، تحقيق وتقديم وتعليق: محمد عبد الهادى أبو ريدة (القاهرة: مطبعة حسان، دون سنة)
http://www.dahsha.com/threads/5034- د.- عبد- الرحمن- بدوي-ما- بعد- الطبيعة- عند- الكندي diambil pada tanggal 24 Maret 2011, pukul 10.48 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika, diambil tanggal 13 Februari 2011, pukul 00.00 WIB
Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, Buku 2, alih bahasa: Asywadie Syukur, (Surabaya: PT Bina Ilmu, tt)
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-politik Zaman Kuno hingga Sekarang, alih bahasa: Sigit Jatmiko dkk, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2007)