Kamis, 12 Mei 2011

AL-QURAN DALAM PANDANGAN MUHAMMAD ARKOUN : STUDI KRITIS

Written by: Anwar Ma'rufi (Santri PP. An Nawawi)

A. Pendahuluan

Al-Quran merupakan kitab suci yang terakhir di-tanzil-kan Allah kepada manusia melalui seorang Nabi terakhir Muhammad saw. Ia adalah kitab suci yang cara tanzil dan sejarah kodifikasinya berbeda sama sekali dengan beberapa kitab suci yang pernah di-tanzil-kan oleh Allah swt. Dan ia adalah satu-satunya kitab suci yang dijaga dan dijamin otentisitasnya oleh Allah sendiri. Namun, dalam pandangan Muhammad Arkoun, al-Quran tidak memiliki keistimewaan dibandingkan dengan kitab suci lainnya (Taurat dan Injil). Dalam pandangannya, tidak ada perbedaan antara Taurat, Injil dan al-Quran, tidak ada yang lebih unggul di antara ketiganya.
Muhammad Arkoun merupakan salah seorang pemikir Islam kontemporer yang cara pandangnya terhadap al-Quran banyak menggunakan disiplin keilmuan yang lahir dari pandangan hidup (worldview) Barat. Tulisan ini akan berusaha mengulas bagaimana pernyataan-pernyataan Muhammad Arkoun di atas muncul serta mengkritik atas pandangannya terhadap al-Quran.


B. Latar Belakang Intelektual Arkoun

Mohammded Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 dari keluarga Berber yang sederhana di desa perbukitan Tourirt-Mimoun di Kabilia, sebuah wilayah persukuan di bagian timur Aljazair. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah). Selain menguasai bahasa Berber sebagai bahasa ummy-nya, Arkoun juga belajar bahasa Prancis sebagai bahasa keduanya dan bahasa Arab sebagai bahasa ketiganya.

Ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan memahami. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun.

Arkoun tumbuh pada saat pesatnya perkembangan science, baik yang sosial-humaniora maupun ilmu-ilmu alam di dunia Barat. tampaknya Arkoun memang lebih menyukai Barat (sarang orientalis, Prancis) dari pada tanah airnya sendiri (Aljazair). Karena milleu masyarakatnya yang rasionalis, Arkoun mampu berpikir dengan bebas tanpa ada rasa takut. Dia juga termasuk pendukung paham pluralisme agama versi John Hick.
Kajian Arkoun mengenai al-Qur'an tergolong cukup berani dan radikal. Arkoun mempersoalkan kembali esensi wahyu sebagai Kalam Allah yang transenden untuk kemudian ditarik dalam tataran immanen, yakni Kalam Allah yang besentuhan dengan realitas budaya dan sejarah yang profan. Maka dari itu, Arkoun juga menyeru untuk mengkajinya dengan metode historis. Tindakan ini bukannya tidak disadari oleh Arkoun, ia sendiri mengakui bahwa dengan pendekatan historis akan menentang semua penafsiran yang mensakralkan dan mentransendensikan yang dihasilkan oleh penalaran teologis tradisional. Karena memang Arkoun adalah sosok pemikir yang tidak takjub terhadap fenomena wahyu dan keajaiban (baca: mukijzat) penurunannya (tanzil). Hal tersebut dapat dipahami oleh kenyataan bahwa Kalam Allah turun dalam bentuk bahasa Arab.

Selain konsen dengan dialektika wacana di Barat, Arkoun juga sangat kagum dengan kajian-kajian orientalis. Tokoh orientalis yang dikagumi semisal Th. Noldeke, Arthur Jeffery, R. Paret, R. Blachere, John Wansbrough, Johan Gottfried Herder, dan lain sebagainya. Menurutnya, Noldeke telah berjasa besar dalam meperkenalkan persoalan yang tak terelakkan dari sejarah kritis naskah al-Qu'ran dalam karyanya Geschichte des Qorans. Arkoun sangat menyayangkan jika sarjana muslim tidak mau mengikuti jejak sarjana Yahudi-Kristen.

C. Pandangan Arkoun terhadap al-Quran

Bagi Arkoun, selama ini kalangan ortodoks muslim (az-Zarqani termasuk dalam kritikannya Arkoun) telah banyak memanipulasi konsep tanzil, wahyu dan al-Qur'an. Karenanya, Islam bersifat ekslusif, selalu memandang bahwa ia yang unggul dari agama-agama yang lain. Untuk itu, dengan perspektif antropologi dan fenomenologi, Arkoun berusaha mendekonstruksi konsep wahyu yang masing-masing agama saling berlainan. Baru kemudian, Arkoun merekonstruksi bagaimana al-Qu'ran bisa sampai kepada Nabi Muhammad saw dan hingga saat ini. Tujuannya agar terwujud Islam yang inklusif, terbuka dengan peradaban selainnya.

Ide rekonstruksi tanzil al-Qur'an ini merupakan buah dari penjelajahan diakronis. Hasilnya, Arkoun membagi konsep tanzil menjadi empat fase. Pertama adalah fase Kalam Allah. Kalam Allah merujuk kepada logos, ide atau sabda Allah yangn tidak terbatas, yang kekal bersama-Nya, dan transenden. Kalam Allah yang turun kepada manusia hanyalah penggalan dari logos tersebut. Fase ini juga sering disebut sebagai wahyu yang masih menjadi parole (firman, sabda, kalam) Allah yang transenden, tak terbatas (infinite), besifat abadi serta mengandung kebenaran tertinggi. Akan tetapi, kebenaran absolute ini di luar jangkauan manusia, alasannya karena bentuk wahyu yang seperti itu diamankan dalam al-lauh al-Mahfuzh (the well preserved tablet) atau umm al-Kitab (the Archetype Book) dan tetap berada bersama Tuhan sendiri.

Secara tidak langsung, Arkoun menganggap bahwa pada fase ini, al-Qur'an masih berwujud "ide" atau pengetahuan ('ilm) Allah. Ia belum terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh atau teks, lebih-lebih tersusun dalam surah atau ayat dengan sistematika yang ada untuk sekarang ini. "Ide" dan pengetahuan Allah ini mampu dipahami oleh manusia ketika pada fase kedua, yakni fase pembentukan lafazh-lafazh al-Qur'an. Anggapannya memiliki konsekuensi logis bahwa lafazh al-Qur'an merupakan hasil kerja sama antara Nabi Muhammad dengan Tuhannya. Di sini, Arkoun berbeda dengan az-Zarqani. Mengenai bagaimana perbedaannya akan penulis paparkan kemudian.

Fase kedua berlangsung ketika pewahyuan (610-632 M). Periode ini menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah. Ia diistilahkan sebagai wacana kenabian (verbal) atau wacana Qur'an. Pada fase ini, wahyu menampakkan diri sebagai langue. Ia bersinggungan langsung dengan realitas sejarah. Pada peringkat inilah, wahyu menjelma dalam bahasa manusia, yakni bahasa Arab yang berupa lafazh-lafazh. Dengan pemahaman seperti ini, meminjam pemikiran Saussure, parole Allah yang ada di al-lauh al-Mahfuzh harus tunduk pada aturan-aturan langue bahasa Arab.

Sesuai dengan kajian semiotika juga, pada masa Prophetic Discourse, al-Qur'an masih berbentuk ujaran-ujaran lisan yang didengarkan. Muqsith Ghazali menjelaskan, ujaran tersebut bukanlah dalam pengertian "suara" yang dihasilkan secara fisik oleh anggota tubuh manusia seperti yang kita alami dalam percakapan sehari-hari. Yang dimaksud dengan ujaran di sini adalah sebuah "ide" yang cemerlang serta mempunyai daya yang tak terelakkan sehingga ia menyerupai suara yang didengarkan. Ini dapat dipahami, yang terjadi adalah komunikasi melalui ide dan gagasan. Masih menggunakan analisa semiotika, pada masa pengujaran ini suasana komunikasi, studi pengucapan, daftar dan tingkatan kode-kode budaya, dan susunan serta fungsi-fungsi cerita masih terpelihara dengan baik. Namun wacana Qur'ani sudah hilang sama sekali karena terjadi hanya sekali ketika pengujaran.

Masa wacana kenabian (verbal), dalam pandangan Arkoun, lebih layak menyandang predikat sakral serta lebih dipercaya ketimbang fase-fase setelahnya. Karena al-Qur'an pada fase ini (verbal) masih terbuka untuk semua makna, sementara pada fase berikutnya (tekstual) telah turun derajatnya dari kitab yang diwahyukan menjadi kitab yang biasa, sehingga ia tidak berhak lagi menyandang predikat sakral dan kesucian.

Pandangan Arkoun mengenai wacana kenabian (verbal) mirip dengan Johan Gottfried Herder (1744-1803 M). Gagasan Gottfried dimaksudkan untuk menolak tiga versi Injil (Matius, Markus, dan Lukas) dikarenakan mengabaikan Injil-Injil versi selain tiga tersebut. Gottfried mengatakan dengan jelas bahwa masing-masing Bible yang tidak digunakan memiliki tujuan, waktu, dan tempatnya sendiri yang khusus bagi mereka, dengan menekankan bahwa Injil yang asasi adalah yang berbentuk verbal daripada tertulis. Bentuk Injil yang paling awal adalah penjelasan verbal dari Almasih.
Al-Qur'an pada fase ketiga, berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf. Al-Qur'an pada periode ini sudah mensejarah yang diistilahkan sebagai Closed Official Corpus (Korpus Resmi Tertutup). Berdasar pada periode tersebut, Arkoun mendefinisikan al-Qur'an sebagai sebuah Korpus resmi yang selesai (tertutup) dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa Arab. Dikatakan "resmi" karena teks-teks al-Qur'an merupakan akibat dari seperangkat keputusan yang diambil oleh "otoritas-otoritas" yangn diakui oleh komunitas. Dikatakan "tertutup" karena tidak seorang lagipun diperkenankan untuk menambah atau mengurangi kata-kata, memodifikasi suatu bacaan dalam Korpus yang sekarang dinyatakan otentik. Dan dikatakan "terbuka" karena korpus ini masih memungkinkan untuk dipahami dan digali makna-makna yang tereliminasi.

Fase ini berlanjut sampai masa ortodoksi, yakni masa standarisasi Mushaf (324 H./ 936 M.). Pada periode ini, menurut Arkoun kalangan ortodoks telah banyak memasukan secara diam-diam berbagai hasil suatu ilmu, lalu menegaskan secara tak terbantah bahwa ia sama sekali tidak memodifikasi ajaran-ajaran yang telah dicapai berbagai disiplin ilmu tradisional. Menurutnya lagi, kalangan ortodoks telah menggunakan berbagai bahan, prosedur dan suatu kerangka historiografis untuk mendehistorisasikan masa wahyu serta masa pengumpulan dan pembakuan Mushaf.

Masih menurut Arkoun, Ibn Mujahidlah yang sebenarnya bertanggung jawab atas pembaruan yang menentukan pada tahun 324 H. Tindakannya ini ternyata harus dibayar dengan keterputusan epistemis dan epistemologi. Lebih-lebih setelah pembaruan Ibn Mujahid dengan adanya penerbitan edisi buku al-Qur'an di Kairo pada tahun 1924.
Dengan membandingkan bentuk lisan dan tulisan dari al-Qur'an, Arkoun menyatakan dengan tegas bahwa ia lebih suci, autentik dan dapat dipercaya ketika masih dalam diskursus dibanding dengan ketika dalam bentuk tertulis. Alasannya menurut Arkoun adalah karena al-Qur'an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, dan dalam bentuk tulisan tidak lagi begitu. Sebaliknya dia mengatakan, penggunaan alat-alat tulis seperti pena dan kertas telah mengurangi status al-Qur'an yang bersifat ketuhanan menjadi sebuah buku dunia.

Fase keempat adalah fase korpus tertafsir. Fase ini dikaitkan Arkoun dengan produktivitas teks, bukan produktifitas wacana. Tradisi keagamaan dihasilkan dari penafsiran teks tertulis, bukan penafsiran terhadap wacana Qur'an. Para pembaca menuliskan kembali teks sesuai dengan kisi-kisi persepsi dan prinsip penafsirannya. Kisi dan prinsip tersebut, menurut Arkoun, terkait dengan dengan budaya pembaca dan determinasi kelompok pada masanya. Dalam konteks itulah terjadi penggandaan semantis, simbolis, dan ideologis atas teks dalam ruang sejarah sosial, politik, dan kebudayaan. Mushaf standar ini telah kehilangan daya magnetik dan fungsionalitasnya, karena ditempatkan pada posisi yang begitu tinggi yang digambarkan seolah-olah tidak ada lagi orang yang mampu memahaminya selain para imam maksum dan Mujtahid dan bahwa makna mushaf telah tergali secara keseluruhan oleh meraka. Kemungkinan besar, ini terjadi akibat berlapis-lapisnya teks-teks tafsiran terhadap teks pertama, Mushaf yang menurut Arkoun menyerupai lapisan geologis pada bumi.

Dengan rekonstruksi tahapan turunnya wahyu kepada audiens, Arkoun ingin memberikan porsi pendekatan antropologis dan semiotis kepada wahyu sebelum ia dipahami oleh para ulama dan menjadi cabang-cabang keilmuan Islam. Tiga tahap terakhir turunnya wahyu dipandang Arkoun sebagai tahap semio-linguistik karena ketiganya berada dalam tataran sejarah dan budaya manusia.

Persoalan mendasar yang ingin dianalisis oleh Arkoun dengan disiplin ilmu antropologis adalah menyangkut beralihanya ujaran-ujaran lisan dari wacana kenabian ke dalam sebuah al-Qur'an yang tertulis, yang kemudian dibakukan menjadi Mushaf standar. Menurutnya peralihan wacana semacam ini tentu mereduksi berbagai macam bacaan, dialek, dan bahkan makna yang terbuka dan luas menjadi suatu penafsiran logosentris yang sempit dan kaku. Artinya peralihan dari wacana kenabian yang bersifat orale (lisan) ke wacana masyarakat melek huruf yang pandai membaca dan menulis ternyata memunculkan masalah tersendiri.

Dengan demikian, paparan Akoun dapat disimpulkan bahwa pada masing-masing tingkatan, kandungan al-Qur'an sudah mengalami perubahan. Pada tingkatan pertama, Kalam Allah/al-Qur'an masih berupa "ide" atau pengetahuan Allah yang dinilai paling benar, namun tidak dapat dijangkau oleh manusia, karena belum terwujud dalam lafazh-lafazh terlebih dalam susunan surah dan ayat seperti yang sekarang ini. Dan pada tingkatan kedua, Kalam Allah yang menjelma ke dalam bahasa Arab hanya sebagian dari penggalan yang ada di umm al-Kitab (the Archetype Book), dan itupun sudah tidak ada lagi. Dan lain lagi ketika dalam bentuk mushaf. Pasalnya, walau bagaimanapun juga, mushaf telah mengalami modifikasi, revisi dan subtitusi. Arkoun menganggap al-Qur'an yang sekarang ini tidak sama ketika pada masa Nabi Muhammad saw. lebih-lebih ketika di al-lauh al-Mahfuzh. Konsepsi tanzil di atas juga berlaku untuk Taurat dan Injil. Tidak ada bedanya.

D. Analisa Kritis
Dengan teori ilmu linguistik-semiotik modern Arkoun menamakan Kalam Allah yang ketika di al-lauh al-Mahfuzh belum terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh sebagai parole. Penamaan ini tentu sangat bermasalah, pasalnya dengan penamaan itu, agar parole ini mampu dipahami oleh manusia dibumi, maka parole harus menyesuaikan diri dengan bahasa manusia yang disitilahkan dengan langue, dimana parole harus tunduk dengan sistem bahasa, sosial dan budaya manusia. Dalam pandangan Arkoun, seakan-akan al-Qur’an harus tunduk dengan system bahasa Arab, padahal tidak demikian, justru al-Qur’an lah yang telah menundukkan dan merubah semantik dan system bahasa Arab.

Menurut al-Attas, Al-Qur'an telah mengislamkan bahasa Arab pra-Islam, yang pada waktu itu masih mencerminkan pandangan dunia jahiliah, dengan cara menyusun dan membentuk kembali struktur konsep, bidang-bidang semantik dan perbendaharaan katanya. Karena bahasa Arab yang dibawa oleh al-Qur'an adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa-kata pada saat itu telah di Islamkan maknanya. Khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci, yang digunakan untuk memproyeksikan hal-hal yang bukan dari pandangan hidup Islam.

Beberapa contoh konkrit yang dipaparkan oleh al-Attas adalah kata penghormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karam). Dua kata tersebut adalah bagian dari sejumlah elemen penting dalam pandangan dunia kehidupan pr-Islam yang maknanya berhubungan erat dengan kepemilikan banyak anak, kekayaan dan karakter tertentu yang dianggap mencerminkan kejantanan. Al-Qur'an mengubah makna tersebut dengan sangat mendasar, dengan memperkenalkan faktor kunci, ketakwaan (taqwa). Al-Qur'an menyebutkan: "Sesungguhnya yang paling mulia disisi Tuhanmu adalah orang yang paling bertakwa."
Selain itu, al-Qur'an juga merubah semantik dasar dari kata karim. Kemuliaan disini diasosiasikan dengan al-Qur'an: Kitab Karim atau ucapan kepada orang tua dengan qaul karim. Padahal orang-orang Arab sebelum Islam tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (words or speech), sekalipun mereka sangat menghargai kemampuan pengarang dan membaca puisi. Contoh lain terjadi juga kepada kata persaudaraan (ikhwah), yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan, yang terkait dengan darah, dan tidak merujuk kepada makna lain. Al-Qur'an lagi-lagi mengubah ini dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.

Jika lafazh dan bahasa al-Qur'an terpengaruh oleh sejarah dan sosial budaya Arab, maka bahasa al-Qur'an akan dengan mudah dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu saja, sekarang pun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam al-Quran dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn Mas’ud tidak tahu makna fathara. Pun, Abu Bakr dan Umar soal makna abb. Selain itu, wujud al-ahruf al-muqata’ah di dalam al-Quran tidak sesuai dengan perkembangan sastra Arab saat itu.

Melihat kenyataan tersebut di atas, tesis Arkoun mengenai bahasa Arab al-Qur'an (wahyu langue) terpengaruh atau harus menyesuaikan dengan situasi sosial atau semantik bahasa Arab pra-Islam, adalah tidak tepat. Justru sebaliknya, al-Qur'an telah merubah budaya pagan Arab dan pandangan hidupnya serta semantik bahasa Arab.
Selain itu, Arkoun juga mempermasalahkan urutan surah dan ayat dalam al-Qur'an. Kenyataan yang ada sekarang, baginya sangat menyulitkan untuk menguraikan kembali situasi wacana yang dapat membantu untuk menyusun kembali tindak penuturan lisan al-Qur'an. Namun jumhur ulama, suasana wacana tanzil al-Qur'an (asbab an-nuzul) tidaklah menjadi orientasi penafsiran atau pengambilan hukum. Yang menjadi pegangan adalah lafazh yang umum dan bukan sebab yanng khusus (al-'ibrah bi 'umum al-lafazh la bi khusus as-sabab). Asbab an-nuzul hanya berfungsi sebagai penjelas saja. Jadi mengenai urutan surah atau ayat al-Qu'ran bukan menjadi problem, karena yang berwenang membuat urutan tersebut adalah Allah sang Pemilik al-Qur'an.

Banyak riwayat yang mengetengahkan tentang tartib surah dan ayat al-Qur'an. Diantaranya Ubbay bin Ka'b menjelaskan, "Kadang-kadang permulaan surah itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad, kemudian saya menuliskannya, dan wahyu yang lain turun pada beliau lalu berkata, "Ubbay! Tulislah ini dalam surah yang menyebut ini dan itu." Dalam kesempatan lain wahyu diturunkan kepada beliau dan saya menunggu perintah yang hendak diberikan sehingga beliau memberi tahu tempat yang sesuai dari suatu ayat." Mengenai penamaan surah juga sudah ada pada waktu zaman Nabi. Abu Mas'ud al-Badri memberi laporan bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Ayat terakhir dari surah al-Baqarah dapat mencukupi bagi siapa saja yang membaca di waktu malam."
Melihat kenyataan adanya perbedaan dalam perintah meletakkan ayat-ayat dalam surah tertentu, serta keunikan susunan al-Qur'an yang merupakan wewenang Allah, telah memberi peluang tiap surah berfungsi sebagai satuan bebas, independen unit, di mana tidak tergantung pada kronologi turunnya ayat-ayat al-Qur'an. Dalam hal ini, upaya Arkoun yang menekankan wacana Qur'ani dari pada teks-teks al-Qur'an (al-'ibrah bi khusus as-sabab, la bi 'umum al-lafzh) adalah kurang tepat.

Menurut Arkoun al-Qur'an yang sekarang ini sudah tidak sama lagi ketika masih di al-lauh al-mahfuzh, baik lafazh maupun maknanya. Pendapat ini sangat bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama. Menurut informasi az-Zarqani, ulama telah bersepakat, dimanapun tempat al-Qu'ran dibaca ia tetap Kalam Allah, ketika ia di al-lauh al-Mahfuzh yang selalu dijaga, ketika ia tertulis di atas mushaf atau kulit, terukir di atas batu, dihafal dalam hati, diucapkan oleh lisan, ia tetap Kalam Allah yang masih terjaga baik lafazh maupun maknanya. Siapa saja yang mengingkarinya dia telah kafir.

Pandangan jumhur ulama di atas bukannya tanpa alasan. Dengan pemahaman bahwa al-Qur'an adalah petunjuk (hudan) bagi manusia, sudah seharusnya pesan-pesan Allah dapat termuat seluruhnya dalam al-Qur'an atau wahyu yang di-tanzil-kan. Jadi mana mungkin Allah tidak kuasa memasukkan semua pesan-pesan-Nya dalam wahyu yang di-tanzil-kan. Kalau pemikirannya Arkoun diterapkan, berarti Allah belum menurunkan al-Qur'an dengan sempurna. Anggapan ini bertentangan dengan Firman Allah sendiri yang menyatakan bahwa agama Islam/al-Qur'an telah diwahyukan dengan sempurna kepada umat manusia. Dalam hal ini, argumentasi Arkoun tidaklah tepat.
Para ulama juga tidak mempermasalahkan adanya standarisasi mushaf al-Qur'an. Namun tidak dengan Arkoun, ia menganggapnya bahwa dengan adanya standarisasi mushaf berakibat hilangnya makna-makna yang sama persis ketika pada masa kenabian. Dalam memahami mushaf al-Qur'an, Arkoun memang salah paham, ia menganggap yang namanya al-Qur'an untuk saat ini adalah mushaf yang sudah dibakukan. Anggapan ini tidaklah benar, masalahnya, pada dasarnya al-Qur'an bukanlah tulisan (rasm atau writing) atau mushaf, ia merupakan "bacaan" (qiraat atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan membaca al-Qur'an adalah membaca dari ingatan. Tulisan hanya berfungsi sebagai penunjang semata.

Menurut Abdul Shabur Syahin, penulisan al-Qur'an atau dibakukannya dalam sebuah Mushaf berfungsi untuk memelihara teks secara valid, sehingga setiap generasi dapat mengetahui tentang hakikatnya. Lagi pula, dengan adanya Mushaf standar, hukum bacaan beserta cara membacanya masih tersimpan dengan baik sampai sekarang. Sudah menjadi maklum, kalau ingin memperbaiki bacaan al-Qur'an, tidak mungkin dapat tecapai, kecuali dengan mempelajarinya dari orang-orang yang mempelajari bacaan al-Qur'an dengan metode langsung dan sima'i kepada para ahli baca al-Qur'an, bukan kepada orang Mushafi atau shahafi.

E. Kesimpulan

Berbagai pendekatan ilmu modern, yang dipakai Arkoun untuk memahami al-Qur'an, telah meletakannya pada status immanen. Dan pada akhirnya, Arkoun menyamakan status al-Qur'an dengan kitab suci agama lainnya, seperti Taurat dan Injil, yang secara historis dan teologis sudah memiliki problem tersendiri. Tujuannya Arkoun dengan studi baru al-Qur'an adalah agar ia tidak dianggap sakral lagi sehingga dapat dikaji dengan kritis seperti Taurat dan Injil.
Anggapan Arkoun mengenai al-Qur'an, semuanya keliru. Dan sekali lagi penulis tegaskan, al-Qur'an adalah Kalam Allah yang di-tanzil-kan oleh-Nya kepada Nabi Muhammad, lafazh dan maknanya serta tartib surah maupun ayatnya, melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur'an yang tertulis atau dihafal semuanya adalah Kalam Allah, dan tidak ada permasalahan mengenai transformasi al-Qur'an dari lisan (orale) ke tulisan, pasalnya tulisan al-Qur'an selalu mengikuti bacaan lisan. Selain itu, tulisan berfungsi sebagai penunjang semata.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an al-Karim

Abdul Kabir Hussain Solihu, Hermeniutika Al-Qur'an menurut Arkoun: Sebuah Kritik, dalam ISLAMIA: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Thn I No 2, Juni-Agustus 2004

Abdul Shabur Syahin, Saat al-Qur'an Butuh Pembelaan, (Jakarta: Erlangga, 2005)

Adnin Armas, Gagasan Fithjof Schuon tentang Titik-temu Agama-agama, dalam dalam Islamia, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 3/SEPTEMBER-NOVEMBER 2004

Adnin Armas, Kritik terhadap Teori al-Quran Nasr Hamid, dalam http://insistnet.com/index.php?ption=com_content&view=article&id=46:kritik-terhadap-teori-al-quran-nasr-hamid-&catid=8:adnin-armas diambil tanggal 6 Juni 2010

Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, Jakarta: Gema Insani, 2005

Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Taesir Gender, (Yogyakarta: Safira Insani Press, 2004)

Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur'an, alih bahasa: M. Faisol Fatawi, (Yogyakarta: LKiS, 2003)

Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat bahsa, Makna dan Tanda, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2006)

Baedhowi, Antropologi Al-Qur'an, Yogyakarta: Lkis, 2009

Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, alih bahasa: Soejono Soemargono, cet. Kedua, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001)

Cecep Ramli Bihar Anwar, Mohammed Arkoun, Cara membaca al-Qur'an, dalam situs http://islamlib.com/id/artikel/cara-membaca-al-quran/Diposting tanggal 09 Juli 2002

Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi al-Qur'an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010)

Henri Shalahuddin, al-Qur'an Dihujat, (Jakarta: al-Qolam, 2007)

Ilham B. Saenong, Hemeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur'an Menurut Hasan Hanafi, (Teraju: Jakarta, 2002)

John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, alih bahasa: Amin Ma'ruf dan Taufik Aminuddin, (Yogyakarta: Interfidei, 2006)

M. M. al-A'zami, Sejarah Teks al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis Malik Toha, (Jakarta: Gema Insani, 2005)

Malki Ahmad Nasir, Dekonstruksi Arkoun terhadap Makna Ahl al-Kitab, dalam Islamia, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO/ 4/JANUARI-MARET 2005

Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008)

Moqshit Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur'an, (Jakarta: Gramedia, 2009)

Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Quran, juz I, (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1995)

Muhammad Arkoun, al-fikr al-Islamy Naqd wa Ijtihad, alih bahasa hasyim Shalih, (London: Dar al-Saqi, 1998)

-------------, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, alih bahasa: Ruslani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

-------------, Kajian Kontemporer Al-Quran, alih bahasa: Hidayatullah, (Bandung: Pustaka, 1998)

-------------, Min Faishal at-Tafriqah lia Fashl al-Maqal: Aina Huwa al-Fikr al-Islamy al-Mu'ashir, alih bahasa: Hasyim Shalih, (Beirut: Dar al-Saqi, 1995)

-------------, Rethinking (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)

Roland Barthes, Petualangan Semiologi, alih bahasa: Stephanus Aswar Herwinarko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)

Sholihan, Mohammad Arkoun dan Kritik Nalar Islam: mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan, (Semarang: Walisongo Press, 2009)

Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gemas Insani2008)

Thohatul Choir dkk, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, alih bahasa: Hamid Fahmy Zarkasy dkk., (Jakarta: Mizan, 2002)

Pengunjung