Written by: Anwar Ma’rufi
Islam adalah peradaban ilmu, yang memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada ilmu sekaligus penuntutnya. Karena begitu mulianya orang yang memiliki ilmu di sisi Allah swt., sampai-sampai Imam Syafi’i r.a pernah berujar, “menuntut ilmu itu lebih utama dari shalat sunat.” Karena itu juga, tidak sedikit dari kalangan umat islam yang pergi jauh dari kampung halaman untuk menuntut ilmu sembari memilih guru-guru yang tepat. Karena banyaknya guru-guru yang mumpuni, terkadang mereka harus menempuh perjalanan yang lama untuk bertandang dari guru satu menuju guru yang lain.
Pada masa Rasulullah, model pengajaran awal-awal Islam adalah halaqah, di mana Rasulullah SAW duduk pada suatu tempat, kemudian para sahabat mendengarkan pengajian beliau dengan cara membentuk lingkaran. Ini merupakan pengalaman pendidikan yang khas dalam Islam. Tradisi ini sudah berjalan sebelum Nabi Hijrah ke madinah, bertempat di rumah Arqam bin Abil Arqam.
Setelah Hijrah tradisi halaqah juga berlanjut di suffah, suatu ruangan yang berada di Masjid Nabawi. Suffah adalah institusi pendidikan pertama dalam tradisi intelektual Islam. Komunitasnya disebut dengan ashab al-suffah. Jumlah peserta dalam komunitas keilmuan ini, menurut Abu Nu’aym berbeda-beda dari waktu ke waktu, tapi anggota tetap komunitas ini sekitar 70 orang. Pada saatnya nanti, suffah adalah tempat yang melahirkan sarjana-sarjana muslim handal seperti Abu Hurairah, Abu Dharr al-Ghiffari, Salman al-Farisi, ‘Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain (Hamid Fahmy Zarkasy, Pandangan Hidup dan Tradisi Intelektual Islam).
Selepas Rasulullah umat Islam banyak mendirikan maktab atau kuttab. Maktab adalah tempat untuk memperoleh pendidikan dasar yang bertempat hampir di semua kota atau desa. Disamping pelajaran al-Qur’an dan agama, puisi, menunggang kuda, berrenang, peribahasa terkenal, ilmu hitung, tata bahasa, adab-adab, juga diajarkan ketrampilan menulis indah.
Selain maktab, juga terdapat sekolah masjid. Sekolah ini merupakan ciri khas muslim sejak zaman Nabi Muhammad saw, model suffah, yang dikembangkan oleh Harun al-Rasyid dan dilanjutkan oleh para khalifah setelah dia. Ada juga sekolah Istana. Sekolah ini diselenggarakan di istana kerajaan. Disamping memberikan kurikulum sebagaimana yang diajarkan di maktab, juga diajarkan ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan yang diperlukan untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi, untuk memasuki pergaulan di masyarakat dan untuk bekerja di pemerintahan khalifah.
Institusi pendidikan terpenting lainnya adalah Kedai Buku atau perpustakaan. Banyak para cendekiawan yang menghabiskan waktunya berjam-jam di kedai-kedai buku ini. Mereka dengan bebas meneliti, membaca, dan mempelajari buku-buku yang ada, atau membeli buku-buku yang menarik untuk dikoleksi di perpustakaan pribadinya. Cendekiawan Muslim besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan lain lain juga memiliki perpustakaan pribadi dan melakukan studi, serta menjadikan rumahnya sebagai pusat bagi orang-orang yang mencari ilmu.
Untuk mendukung aktifitas intelektual umat Islam, pemerintah juga turut andil dalam membidani berdirinya madrasah dan universitas. Kedua institusi ini berbeda dengan institusi-institusi sebelumnya. Institusi ini disamping memiliki kurikulum yang tersistematis, fasilitas yang lengkap juga menyediakan guru-guru yang berkualitas serta didukung dengan suasana akademik yang kondusif (Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350; with an Introduction to Medieval Muslim Education, 1964).
Tradisi Talaqqi dan Menghafal
Cara untuk mentransfer ilmu dari guru ke murid, sejak zaman Nabi Muhammad yang diteruskan oleh ulama shalaf shaleh adalah dengan metode talaqqi. Secara bahasa, talaqqi memiliki arti pertemuan langsung dengan berhadap-hadapan atau bertatap muka. Adapun secara istilah, ia adalah metode pembelajaran langsung antara guru dan murid yang saling berhadapan. Dalam metode talaqqi ini, segala kemampuan murid dapat diketahui secara langsung oleh guru dan guru akan dapat secara langsung memperbaiki kesalahpahaman murid terhadap materi yang diajarkan.
Metode Talaqqi dipraktikkan oleh Malaikat Jibril a.s ketika menyampaikan wahyu pertama kalinya kepada Nabi Muhammad saw di Goa Hira. Dengan bertatap muka, Nabi diajari untuk membaca al-Quran oleh Malaikat Jibril, dimana Malaikat Jibril terlebih dahulu membacakan al-Quran, baru kemudian diikuti bacaannya oleh Nabi Muhammad saw. Pada perkembangan selanjutnya, metode talaqqi ini, digunakan dalam setiap bidang keilmuan, tidak terbatas dalam pembelajaran al-Qur’an.
Disamping memberi pemahaman yang benar, talaqqi juga bertujuan untuk melestarikan sanad atau isand. Pada zaman Rasulullah saw sistem sanad dipraktikkan oleh para sahabat dalam transmisi al-Quran dan hadits di kalangan mereka. Namun pada perkembangannya, sistem sanad juga digunakan pada semua bentuk karya ilmiah. Contoh dalam bidang ilmu tafsir, seperti Tafsir ‘Abdur Razzaq (w. 211 H.) dan Sufyan ath-Thauri (w. 161 H.). Dalam bidang sejarah, seperti Tarikh Khalifah bin Khayyat (w. 179 H.). Dalam bidang karya sastra dan cerita dongen seperti al-Bayan wa at-Tabyin oleh al-Jahiz (150-255 H.) dan al-Aghani oleh al-Asfahani (w. 356 H.) dan lain-lain (M.M, al-A’zami, The History of The Qur’anic Text: From Revelation to Compilation A Comparative Study With the Old and New Testaments, 2003)
Karena begitu urgennya sanad, Ibnu Sirrin pernah berkata: “Ilmu itu adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu (ilmu agama tersebut)”. Masih dalam pengertian yang sama Imam Muslim meriwayatkan dari Imam Abdullah bin Mubarak r.a. yang berkata: “Isnad itu sebagian dari agama, jika tidak kerana isnad, maka siapapun akan berkata apa saja yang dikehendakinya”.
Dan tradisi ini, metode talaqqi yang bersanad, guru membaca di depan murid dan murid mengulangi bacaannya di hadapan sang guru dan seterusnya, masih berlanjut hingga hari ini meski sudah jarang yang memperhatikannya.
Dalam pendidikan pesantren, tradisi seperti ini sering diistilahkan dengan pengajian sorogan (menyodorkan) dengan cara santri menyodorkan kitabnya, kemudian guru membacakan kitab tersebut, setelah itu santri membacakan kitab yang baru saja dibacakan oleh guru. Jika terdapat kekeliruan pemahaman maka dengan segera sang guru akan membetulkannya.
Selain talaqqi dengan sanad, Islam juga memiliki tradisi yang kuat mengenai hafalan. Sejak zaman Nabi Muhammad saw, para sahabat sudah terbiasa menghafal apa yang disampaikan oleh Nabi yakni al-Qur’an dan as-Sunnah. Selain hafal, mereka juga memahami kandungan isinya serta mengaplikasikan dalam kesehariannya. Sahabat yang terkenal sebagai penghafal al-Qur’an diantaranya adalah Abu Musa al-Ay’ari, Abu Darda, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, dan lain lain.
Di antara sahabat yang paling banyak menghafal/meriwayatkan hadits ialah Abu Hurairah yang telah meriwayatkan sejumlah 5.374 buah hadits. Dibawahnya ada Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadits. Kemudian Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadits. Kemudian Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadits. Kemudian Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadits. Kemudian Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadits. Dan Abu Said AI-Khudri yang telah meriwayatkan 1.170 buah hadits.
Kebiasaan menghafal ini dilanjutkan oleh para cendekiawan muslim sepeninggal sahabat Nabi Muhammad saw. Imam Syafi’i tercatat sebagai ulama ahli fiqih yang hafal al-Qur’an pada usia 7 tahun. Sebelum berguru dengan Imam Malik, beliau juga telah hafal kitab karangannya, al-Muwatha’ yang berisikan 1.720 hadits pilihan. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal yang pernah berguru kepada Imam Syafi’i juga telah hafal al-Quran pada masa kanak-kanak. Imam al-Bukhari, ahli hadits dari tanah Bukhara juga telah hafal di luar kepala 70.000 hadits lengkap dengan sanadnya di samping tentunya Al-Qur’an 30 juz. Ibnu Sina (W. 1037 M), ilmuwan dan filosuf juga hafal al-Qur’an pada usia 10 tahun. Kemudian Ibnu Khaldun (W. 1406 M), peletak dasar ilmu sosial, juga hafal al-Quran pada usia kanak-kanak.
Di tanah mesir ada Ibnu Hajar al-‘Atsqalani (1372-1449 M) yang telah hafal al-Qur’an di usia 9 tahun. Selain itu, beliau juga hafal kitab Al-‘Umdah, Al-Hawi Ash-Shaghir, Mukhtashar Ibnu Hajib Al-Ashli, Mulhat Al-A’rab dan sebagainya. Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi (1445-1505 M), ketika usianya belum genap 8 tahun telah hafal al-Qur’an. Selain itu, beliau juga menghafal beberapa kitab matan yang penting seperti al-‘Umdah, Minhaj al-Thalibin, Minhaj al-Wushul, Alfiyat Ibn Malik dan lain sebagainya.
Mereka semua tidak saja hanya menghafal materi pelajaran, seperti yang digambarkan oleh Syaikh az-Zarnuji (pengarang kitab Ta’lim al-Muta’allim), mereka sebagai penuntut ilmu juga mengulang apa yang dihafal, memikirkan apa yang dikuasai dan mengaplikasikannya sekaligus.
Kebiasaan menghafal, mendalami dan mengamalkan ilmu seperti di atas juga berlanjut sampai Indonesia. Beberapa pondok pesantren juga mengkader para santrinya untuk menghafal al-Qur’an, Hadits, dan kitab-kitab klasik seperti Alfiyat Ibn Malik, al-‘Imrithi, al-Jurumiyah, Fath al-Mu’in, Fath al-Qarib, dan lain-lain. Mereka juga masih ada yang mempertahankan tradisi talaqqi atau sorogan disertai dengan sanad yang sampai pada Rasulullah dan pengarang kitab-kitab klasik (turats).
Karena Ilmu adalah Cahaya
Bagi seorang muslim, ilmu adalah cahaya (nur) yang diberikan oleh Allah swt di hati para hamba-Nya. Syaikh az-Zarnuji pernah berkata bahwa “Ilmu itu adalah cahaya, sedangkan wudhu juga cahaya. Cahaya ilmu tidak akan bertambah kecuali dengan berwudhu”. Karena begitu mulianya ilmu Allah itu, Imam Syamsu al-A`immah Al Halwani berkata,"Aku memperoleh ilmu ini karena aku menghormatinya. Aku tak pernah mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci."
Pernah pada suatu malam, Imam Sarkhasi sakit perut, berulang kali beliau buang hajat, dan berulang kali pula beliau berwudlu. Dan kejadian itu sampai 17 kali. Beliau melakukan itu semua karena beliau tidak mau belajar kecuali dalam keadaan suci. (az-Zarnuju, Ta’lim al-Muta’allim)
Hal yang sama juga dilakukan oleh Imam al-Bukhari. Berdasarkan informasi dari al-Firbari, salah seorang muridnya, Imam al-Bukhari dalam menyusun kitab Al-Jami' as-Shahih, dilakukan di tempat yang suci dan dalam keadaan yang suci, yakni di dalam Masjid al-Haram dan dilakukan setelah menunaikan shalat istikharah.
Sekilas, melihat tradisi intelektual Islam seperti di atas. Sudah seharusnya, sebagai muslim yang beradab untuk ikut serta melestarikan tradisi mulia tersebut yang sudah menjadi ciri khas peradaban Islam. Menghilangkan tradisi berarti hendak memutuskan kesinambungan ilmu haqq (benar) dari yang al-Haqq (Allah Yang Maha Benar). Wallâhu al-hâdî ilâ as-shawâb.