Oleh Anwar Ma'rufi
Secara bahasa shadaqah berarti benar, artinya orang yanggemar shadaqah adalah orang yang benar keimanannya. Sebaliknya, orangyang mengaku beriman tapi tidak suka shadaqah berarti keimanannya perludipertanyakan. Namun, orang yang gemar shadaqah belum tentu keimanannyabisa dibenarkan. Begitu juga sebaliknya, orang yang jarang shadaqahkeimanannya diragukan.
Maka dari itu, shadaqah yang menunjukkan ketulusan,kejujuran, serta kebenaran keimanan seseorang adalah memberikan sesuatu karenaAllah, ikhlas. Dan keihklasan itu dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama,barang yang diberikan adalah yang terbaik dari yang kita miliki. Bukan karena kitaenggan memilikinya lantas di-shadaqah-kan (al-Baqarah : 267).
Kedua, cara bagaimana kita ber-shadaqah, apakah denganterang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyisudah barang tentu baik dan benar. Sedangkan bila dilakukan dengan caramenampakannya di hadapan orang lain, maka tergantung niatnya; apakah untukpamer atau sebagai motivasi agar orang lain juga gemar shadaqah. Untukmotif pertama jelas tidak benar, sedang yang kedua bisa menjadi indikatorkebenaran imannya (al-Baqarah : 271)
Selain itu, mengungkit-ungkit apa yang pernah di-shadaqah-kanjuga merupakan indikator atas ketidakbenaran iman seseorang (al-Baqarah : 264).Pasalnya, hal itu bagi kebanyakan orang sangat menyakitkan. Orang beriman sudahtentu tidak dibenarkan menyakiti orang lain dengan cara mengungkit-ungkit shadaqah-nya.
Shadaqahtidaklah wajib seperti halnya zakat. Shadaqah cakupan maknanya lebihluas daripada infak. Ia tidak terbatas pada materi semata, tapi dapatberupa jasa yang diberikan kepada orang lain. Bahkan senyum yang diberikandengan ikhlas termasuk shadaqah. Menyingkirkan kayu/rintangan di jalan,membaca takbir, tahmid, menggauli istri juga termasuk shadaqah.
Shadaqahberupa materi, kisahnya banyak kita temukan dalam sejarah awal umat Islam. Nabisendiri sudah memberikan contoh nyata, semua hartanya dipergunakan untuktegaknya Islam. Demikian juga para sahabatnya, pada saat perang Tabuk, AbuBakar r.a. men-shadaqah-kan semua hartanya untuk perjuangan Islam, Umarbin Khatab menyerahkan separo hartanya, sedangkan Ustman bin Affan menyumbang300 unta (setara Rp 30 Milyar) dan 1000 dinar (setara Rp. 2 Milyar).
Abdurrahman bin Auf, sahabat Nabi yang paling kaya, ia pernahmenyumbangkan 500 kuda perang untuk kepentingan pasukan Islam. Pernah men-shadaqah-kan 40 ribu dinar (setara dengan 88 Milyar) untukkeperluan umat Islam. Men-shadaqah-kan harta dagangannya untuk pendudukMadinah yang diarak dengan 700 ekor unta. Dan masih banyak lagi kisah-kisahpengorbanan sahabat-sahabat Nabi yang lain serta para penerusnya denganmen-shadaqah-kan hartanya untuk sebuah peradaban Islam. Oleh karena itu, tidakheran jika Nabi mengatakan bahwa “ash-shadaqotu burhanun”, shadaqahadalah bukti keimanan seseorang (HR. Muslim).
Shadaqah merupakaninvestasi dunia dan akhirat. Dimana Allah akan segera memberikan balasannyatidak hanya pada saat di dunia tetapi juga di akhirat. Dan shadaqahbersifat segera, jangan menunda-nunda untuk ber-shadaqah, tidak perlumenunggu kaya, justru dengannya hidup semakin berkah dan berlimpah harta. Allahmenjamin orang yang gemar shadaqah tidak akan miskin. (HR. Muslim).Bahkan harta yang di-shadaqah-kan akan dikembalikan berlipat ganda.(al-Baqarah : 245). Mengenai pahala shadaqah, tidak perlu dipertanyakanlagi ketika melihat manfaatnya yang begitu besar bagi perkembangan peradabanIslam.
*Diterbitkan oleh Buletin Lembaga Amal Himawan Kab. Kebumen
Selasa, 22 September 2015
"Ngalap" Berkah di Bulan Ramadhan
Written by: Anwar Ma’rufi
اللهم بارك لنا فى رجب و شعبان وبلغنا رمضان
“Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban ini, dan sampaikanlah umur kami bertemu Ramadhan.”
Menurut imam An-Nawawi dalam kitab al-Adzkar, doa yang termuat dalam hadits di atas memiliki sanad yang dho’if. Dikatakan dho’if karena ada dua orang rawi yang diragukan ke-tsiqah-annya oleh beberapa ahli hadits seperti Imam al-Bukhari, Ibnu Hajar, Abu Daud, an-Nasa’i dan lain-lain. Kedua perawi tersebut adalah Ziyad bin Abdullah An-Numairy dan Zaidah bin Abi Ar-Raaqod (Abdullah Zugail, Takhrij ad-Du’a Allahumma bariklana fi Rajaba…, dalam said.net).
Meskipun demikian, diperbolehkan bagi seorang muslim berdoa dengan hadits tersebut ketika memasuki bulan rajab. Sebagaimana perkataan para ulama bahwa diperbolehkan mengamalkan hadits dho’if dalam hal keutamaan amal/fadhail al-a’mal (Imam an-Nawawi, dalam Muqadimah al-Arba’in an-Nawawiyah).
Doa di atas mengisyaratkan betapa Ramadhan adalah bulan yang istimewa. Karena begitu istimewanya, sejak bulan Rajab dan Sya’ban, Ramadhan selalu disebut-sebut dalam doa umat Islam dengan meminta keberkahan pada dua bulan sebelum Ramadhan. Tujuannya agar jiwa umat Islam lebih bersih dan tenang ketika menyambut bulan yang penuh dengan berkah, bulan Ramadhan.
Al-Barakah memiliki arti bertambah (az-ziyadah) dan tumbuhnya (an-nama’) segala bentuk kebaikan (al-khair) atau memiliki arti kebaikan yang berkesinambungan (Ibnu ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir) Dan keberkahan itu semata-mata karena limpahan karunia Allah. Walau demikian, keberkahan akan dicapai oleh manusia ketika ada usaha yang pro-aktif antara Allah dan hambaNya. Manusia ber-ikhtiyar (memilih yang baik/khair dan terbaik) dan Allah swt yang memudahkan serta menurunkan berkah-Nya.
Untuk memperoleh keberkahan atau kebaikan (al-khair) yang berkesinambungan (dawam), seorang muslim juga dituntut untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk bagi umat Islam. Kebaikan tersebut bisa berupa, kuatnya ekonomi umat Islam, majunya pendidikan umat Islam, serta jayanya peradaban umat Islam. Tidak hanya mengetahui, seorang muslim juga berkewajiban untuk mengamalkannya serta mengembangkan kebaikan tersebut. Karena ilmu bagi umat Islam berdimensi amal dan mengokohkan iman.
Bekal pengetahuan tadi merupakan niscaya bagi seorang muslim. Karena majunya peradaban Islam juga tergantung kualitas individu umat Islam. Dan membangun peradaban, sejatinya juga membentuk manusia-manusia yang berilmu pengetahuan alias manusia beradab (Hamid Fahmy Zarkasy, Ilmu Asas Pencerahan Peradaban).
Karenanya jauh sebelum Ramadhan tiba, semestinya umat Islam sudah banyak melakukan muhasabah untuk kebaikan umat Islam, menghidupkan kajian-kajian ilmiah pada bulan-bulan tersebut, dan dikokohkan dengan usaha pembersihan jiwa (tazkiyah an-nafs). Dan usaha tersebut makin intensif ketika memasuki bulan Ramadhan. Karena di bulan ini, semua amal shaleh akan mendapatkan balasan lebih banyak dan lebih baik serta barokah. Wallahu al-hadi ilaa ash-shawwab.
TENTANG HAJI MABRUR
Oleh Anwar Ma'rufi
«وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ»
… Sedangkan haji yang mabrûr tiada balasan yang lain, melainkan sorga. (al-Hadits)
Kata Nabi, balasan haji mabrûr adalah sorga. Artinya, sorga adalah tempat yang layak untuk orang yang hajinya mabrûr. Mungkin kita bertanya-tanya, begitu istimewakah gelar mabrûr hingga balasan yang pantas adalah sorga? Lantas, apa yang dimaksud dengan mabrûr itu sendiri? Tulisan sederhana ini akan sedikit mengulas makna haji mabrûr yang menjadi dambaan jama’ah haji.
Ya, Hadits di atas dapat ditemukan di kitab Shahih al-Bukhari No. 1650, Shahih Muslim No. 2403, Sunan at-Tirmidzi No. 855, Sunan an-Nasa’i No. 2582, Sunan Ibn Majjah No. 2879, Musnad Ahmad Ibn Hanbal No. 9569, 15146, dengan redaksi yang berbeda di No. 7050 dan 9562, dan di kitab al-Muwatha’ No. 675. Di antara Kutub at-Tis’ah, hanya Imam Abu Daud dan Imam ad-Dârami yang tidak meriwayatkan hadits ini.
Ini termasuk Hadits Ahâd karena diriwayatkan oleh seorang rawi, yakni Abu Hurairah r.a. (w. 57 H.). Sebenarnya, Umar ibn Khaththab r.a. (w. 23 H.) juga meriwayatkanya, namun sanad yang bersambung dengannya dinilai lemah karena terdapat ‘Ȃshim ibn ‘Ubaidillah ibn ‘Ȃshim, seorang Tâbi’īn yang dianggap dla’if. Meskipun demikian, Hadits ini termasuk shahīh ketika menggunakan jalur Abu Hurairah.
Kata mabrûr pada Hadits di atas berupa isim maf’ûl, derivasi dari isim masdar birrun yang berarti berbuat baik (al-ihsân), kebaikan (al-khair) yang sempurna (Thanthawi, Tafsir al-Wasīth, Juz 2, 1997:180), atau berarti ketaatan (al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, Juz 1, 1997:88).
Menurut Fakhrudin ar-Razy (544-606 H/ 1150-1210 M) dalam Mafâtih al-Ghaib kata birrun adalah kata yang meliputi segala jenis kebajikan. Karenanya, menurut banyak ulama, kata ini mencakup tiga hal kebajikan; (1) kebajikan dalam beribadah kepada Allah SWT., (2) kebajikan dalam melayani keluarga, dan (3) kebajikan dalam melakukan interaksi dengan orang lain. Meskipun begitu, Thâhir Ibn ‘Ȃsyur merasa tiga hal tersebut belum mencakup semua kebajikan, menurutnya kebajikan itu jika ada hubungan yang serasi dengan Allah, sesama manusia, lingkungan serta diri sendiri (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1, 2005: 179).
Sedemikian sehingga, jika kata birrun menjadi predikatnya kata ‘haji,’ berarti haji yang mabrûr adalah dia yang telah melaksanakan rukun dan wajib hajinya dengan sempurna, sepulang dari tanah haram ia semakin dekat dengan Allah, peduli terhadap sesama, lingkungan dan diri sendiri. Sangat sesuai dengan indikator mabrûr yang diisyaratkan Nabi Muhammad; ith’âm ath-tha’âm, memberi makan orang yang butuh makan dan ifsya’ as-salâm, menebar kesejahteraan (Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Hadits No. 13958 dan 14055).
Ada juga yang mengartikan mabrûr dengan maqbûl, yang berarti hajinya diterima, kebalikannya adalah mardûd, ditolak (Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz 1, 1379: 87).
Melihat begitu luas dan dalamnya makna mabrûr, memang pantas dan sangat layak jika ia mendapatkan balasan sorga. Oleh karenanya, orang yang menyandang predikat haji mabrûr ialah sosok manusia sempurna –istilahnya Muhammad Iqbal insân kâmil; sempurna karena telah melaksanakan rukun Islam pamungkas dan sempurna karena telah mampu menselaraskan interaksinya dengan Allah, sesama, alam, dan dirinya. Sungguh, manusia yang ideal.
Selain itu, orang yang mendapat gelar haji mabrûr berarti telah kembali ke fithrah dirinya, fithrah-nya manusia. Nabi Muhammad SAW. menggambarkan ia seperti anak yang baru lahir dari rahim ibunya (al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Hadits No. 1424). Ini berarti ia memulai hidup dengan serba baru; niat baru, semangat baru, gagasan baru dan setrategi baru. Sebab, telah dihapus segala dosa yang menjadi tabir akal dan hatinya (induknya yang serba baru).
Dengan potensi yang dimiliki oleh orang yang hajinya mabrûr, melalui predikat itulah, ia benar-benar layak menyandang gelar khalifah Allah di muka bumi. Sebuah misi yang digambarkan al-Qur’an sangat dramatis dan mengesankan, Allah mengatakan kepada kita bahwa Ia telah menawarkan amanat-Nya kepada langit dan bumi, tetapi mereka tidak berani menerimanya, dan hanya manusialah yang berani menerimanya (QS. al-Ahzab, 33: 72).
Berhaji mabrûr sekaligus khalifah Allah, kini tugasnya amatlah berat. Ia harus menjabarkan nilai-nilai ketuhanan ke dalam tindakan (‘amal) yang meruang dan mewaktu, ke dalam kehidupan sehari-hari dan kegalauan sejarah.
Dan ia juga harus mengaduk serta menata ulang dunia ini agar menjadi apa yang pernah Nabi Adam a.s lihat sebelum diturunkan ke bumi ini, sorga. Ia harus menjadikan bayang-bayang sorga tercermin di muka bumi ini, sebuah masyarakat yang hidup dalam suasana penuh kedamaian, cinta, harmonis, berkah yang melimpah, dan dalam lindungan-Nya.
Sekali lagi, orang yang seperti itu, bergelar haji mabrûr, sungguh layak mendapatkan sorga sebagai balasannya. Wallahu al-Hâdi ilâ ash-shawwab
Kamis, 19 April 2012
WACANA REFORMASI SYARIAH (Telaah Kritis Terhadap Pemikiran An-Na’im)
By: Anwar Ma'rufi
A. Pendahuluan
Syariah, sejak membanjirnya paham liberalisme keagamaan, mendapat sorotan tajam dan kritikan pedas dari berbagai kalangan. Bahkan, menurut Jamal al-Banna, pemikir asal Mesir, menilainya sebagai faktor kemunduran dan keterbelakangan umat Islam saat ini. Kritik yang dibangun oleh kalangan pemikir muslim liberal, bukannya memberikan solusi atas problematika umat Islam, justru menyisakan perdebatan panjang yang tak kunjung usai. Ini karena gagasan yang mereka usung banyak yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar aqidah dan syariah Islam seperti mempertanyakan otentisitas dan kesucian al-Quran, mengkritik otoritas hadits Nabi, menghujat sahabat Nabi dan para ulama. Mereka beranggapan bahwa syariah atau yang sering mereka sebut hukum Islam sudah tidak relevan lagi dengan nilai-nilai dan budaya global. Karenanya mereka mendesak syariah untuk direformasi agar sesuai dengan budaya global, terutama agar sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Salah satu pengusung gagasan dekonsturksi Syariah dari pemikir Islam kontemporer adalah Abdullahi Ahmed An-Na’im, pemikir Islam asal Sudan. Ia juga beranggapan bahwa syariah yang ada sekarang ini tidak relevan lagi dengan nilai-nilai dan budaya modern, karenanya perlu direformasi agar sesuai dengan perkembangan zaman. Syariah yang selama ini dikenal tidaklah sakral (divine) atau bersifat ilahiah dalam arti seluruh rinciannya diwahyukan langsung oleh Allah, ia adalah "the product of a process of interpretation of analogical derivation from the text of the Qur'an and Sunna and other tradition.” Seruan reformasi ini banyak didukung oleh pemikir Muslim Indonesia dan nyaris tanpa kritik. Karena itulah, melalui makalah yang serba terbatas ini, penulis ingin mengulas dan mengkritisi bagaimana model reformasi syariah yang dikenalkan oleh An-Na’im.
B. Sketsa Biografis Abdullahi Ahmed An-Na’im
An-Na’im termsuk kelompok pemikir postradisionalistik. Menurut M. Abid al-Jabiri sebagaimana dikutip oleh A. Khudori Soleh, kelompok pemikir ini berusaha mendekonstruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. Bagi kelompok postradisionalistik, relevansi tradisi Islam tidak cukup dengan interpretasi baru lewat pendekatan rekonstruktif, tetapi harus lebih dari itu, yakni dekonstruktif. Bagi kelompok postradisionalistik, seluruh bangunan pemikiran Islam klasik (turats) harus dirombak dan dibongkar, setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisis terhadapnya. Tujuannya, agar yang dianggap absolute berubah menjadi relative dan yang ahistoris menjadi histories.
Nama lengkapnya adalah Abdullahi Ahmed An-Na’im. Ia lahir di Sudan pada tanggal 19 November 1946. Menurut Ahmad Fadhli Lubis, Guru Besar Syariah IAIN Sumatera Utara, Medan, An-Na’im adalah seorang nuslim yang taat dan terkesan fanatik dalam "membela Islam". Sejak muda, An-Na’im memiliki minat yang kuat dalam bidang hukum, termasuk hukum Islam. Pendidikan (S-I)-nya di Fakultas Hukum Universitas Khartoum, Sudan. Tahun 1970, An-Na’im berhasil menyelesaikan studi di fakultas tersebut dengan mendapat gelar LL.B. Dan menempuh studi magister (pasca sarjana) di Universitas Cambridge Inggris pada tahun 1971-1973, dengan mengambil spesialisasi pada masalah hak-hak sipil dan hubungannya dengan konstitusi Negara-negara berkembang dan hukum internasional (the law relating to the civil liberties, constitutional law of developing countries and private international law), dari perguruan tinggi ini, ia berhasil memperoleh gelar LL.M. dengan karya ilmiah berjudul Judicial Review of Administrative Action, the law Relating to Civil Liberties, Constitutional Law of Developing Countries and Private International Law. Pada tahun dan universitas yang sama, ia juga mengambil program magister bidang kriminologi, dengan menulis karya ilmiah berjudul Criminal Process Penology, Sociology of Crime and Research Methodology. Sedangkan untuk program doktor (Ph. D.) ditempuhnya di Universitas Edinburg, Skotlandia dalam bidang hukum pada tahun 1976, dengan disertasi mengenai perbandingan prosedur praperadilan kriminal antara hukum Inggris, Skotlandia, Amerika Serikat dan Sudan (Comparative pre-Trial Criminal Procedure: English, Scottish, U.S. and Sudanese Law).
Pendidikan dan bidang keilmuan yang ditekuni An-Na’im tampak dominan mempengaruhi pemikirannya. Hal ini terlihat pada karya-karya tulis dan isu-isu yang diangkat An-An-Na’im, setidaknya sampai tahun 1995, yang hampir seluruhnya berkisar di seputar hukum publik, khususnya tentang HAM, konstitusionalisme, dan hukum internasional modern. Demikian juga profesi yang dipilihnya, meski berasal dari negeri miskin dan terbelakang, An-Na’im mampu menjadi akademisi bertaraf internasional yang sukses. Kariernya sebagai akademisi dimulai sebagai staf pengajar di bisang hukum di Universitas Khartoum, Sudan mulai dari November 1976 hingga Juni 1985, professor tamu publik di almamater yang sama (1979-1989), professor tamu di Fakultas Hukum UCLA, USA (Agustus samapai Juli 1987). Pada Agustus 1988 sampai Januari 1991 ia menjadi professor tamu di Ariel F. Sallows dalam bidang HAM di Fakultas Hukum, Universitas Saskatchewan, Kanada. Antara Agustus 1991 sampai Juni 1992 menjadi professor tamu Olof Palme di Fakultas Hukum, University of Upshala, Swedia. Juli 1992 samapai Juni 1993 menjadi sarjana-tinggal di Kantor The Ford Foundation untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Kairo, Mesir, Juli 1993 hingga April 1995 menjadi Direktur Eksekutif Pengawas HAM Afrika di Washington D.C., dan sejak Juni 1995 sampai sekarang menjadi professor hukum di Universitas Emory, Atlanta, GA, Amerika Serikat.
Selama menekuni ilmu hukum, khususnya bidang hukum publik, secara akademisi An-Na’im menerima pengaruh dari guru-gurunya, terutama pada bidang keilmuan yang ditekuninya itu. Sepanjang proses tersebut, An-Na’im juga sering mengadakan kontak intelektual dengan para pemikir keagamaan, baik yang modern maupun tradisional, baik ketika belajar di Sudan maupun selama dan sesudah belajar di luar negri. Di antara tokoh pemikir muslim yang sangat berpengaruh pada pemikiran An-Na’im adalah Mahmoud Muhammed Taha, pendiri dan tokoh sentral Partai Persaudaraan Republik (The Republican brotherhood). Sang guru inilah yang memberikan dasar pijakan pemikiran hukum Islamnya, bahkan An-Na’im praktis hanya menerjemahkan pemikiran sang guru ke dalam materi-materi hukum yang lebih konkrit.
Perkenalanya An-Na’im dengan Mahmoud Muhammad Taha dimulai sejak dia bergabung secara informal dengan Persaudaraan Kaum Republik (sebelum menjadi sebuah partai politik) Sudan, ketika masih menjadi mahasiswa Universitas Khartoum akhir tahun 1960-an. Ia mendatangi beberapa kuliah yang diberikan Taha dan mengikuti diskusi-diskusi dengannya di rumah Taha. Bagi An-Na’im, kebersamaan dengan Taha tampaknya memberi kesan yang sangat mendalam. Hal ini tampak pada komitmennya yang kuat dalam memperjuangkan dan menyebarluaskan ajaran Taha.
Dari gambaran sosok An-Na’im secara singkat di atas, kiranya dapat dimengerti bahwa gagasan reformasi syariah yang ditawarkan oleh An-Na’im tidak bisa lepas dari latar belakang intelektual yang ditekuninya. Akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya akan membentuk pandangan hidup (worldview) yang menjadi basis epistemologi dan metodologi gagasannya nanti.
C. Syariah Produk Sejarah
Islam menurut An-Na’im adalah agama yang memiliki dua bentuk ajaran, yaitu pertama tauhid, la ilaha illa Allah sebagai ajaran substansial; dan kedua syariah sebagai bentuk implementasi dari ajaran substansial itu yang sesuai dengan konteks perkembangan dan kebutuhan umat tertentu. Bentuk ajaran yang pertama (tauhid) bersifat permanen, tidak berubah-ubah, sedangkan bagian ajaran yang kedua (syariah) bersifat kontekstual dan berubah-ubah.
Masih menurut An-Na’im, hal yang substansial dari agama Islam adalah ajaran tentang ketundukan dan kepasrahan total kepada Allah sebagai Tuhan. Dalam arti ini substansi Islam tidak lain adalah ajaran tauhid, La Ilaha illa Allah. Ia bersifat permanen, karena semua nabi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad datang dengan membawa Islam, dalam arti tauhid, La ilaha illa Allah. Dan yang membedakan dengan agama-agama yang dibawa oleh para Nabi adalah bentuk implementasinya ajaran-ajarannya yang disebut syariah.
Adapun syariah bagi An-Na’im merupakan formulasi historis tentang norma etika dan sosial, teori politik dan kosntitusional, serta aturan-aturan hukum perdata, pidana maupun publik yang diderivasi dari sumber-sumber Islam untuk menjawab persoalan zamannya. Sebagai produk sejarah, formulasi syariah dapat direkonstruksi ketika dirasa sudah tidak memadai lagi bagi kehidupan modern. Jelasnya an-An-Na’im berkata:
“Shari’a is not the whole of Islam but instead is an interpretation of its fundamental source as understood in a particular historical context. Once it is appreciated that shari’a was constructed by its funding jurists, it should become possible to think about reconstructing certain aspects of shari’a, provided that such reconstruction as based on the same fundamental sources of Islam and is fully consistent with its essential moral and religious precepts” (Syariah bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan hanyalah interpretasi terhadap nash dasarnya yang dipahami dalam konteks sejarah tertentu. Syariah yang telah disusun para ahli hukum perintis dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu, asalkan rekonstruksi itu pun didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam yang sama, dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama).
Dari kutipan di atas dapat dimengerti bahwa dalam pandangan An-Naim, syariah tidaklah bersifat ilahiah, dalam arti semua prinsip hukum dan aturan rinciannya langsung diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Syariah yang rinci dan detail itu menunjukkan sifatnya yang temporal dan kontekstual. Rincian tersebut merupakan bukti adanya hubungan dialogis syariah dengan realitas konkret masyarakat yang dihadapinya. Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber syariah untuk merespon terhadap realitas masa lalu, karenanya harus pula menjadi sumber syariah modern sebagai respon realitas masa kini. Menurutnya. formulasi syariah akan terus berlanjut hingga sekarang untuk menyesuaikan konteksnya.
Bagi An-Na’im, Syariah yang selama ini kita kenal, tidaklah memadai dan tidak adil, sehingga layak untuk dikoreksi ulang. dikatakan 'tidak adil' karena dalam pandangan An-Na’im, beberapa aspek syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum publik, terdapat diskriminasi di dalamnya. Misalnya warga muslim dianggap warga superior, sedangkan warga non-muslim dianggap sebagai inferior. Selain itu, masih menurut An-Na’im, Syariah ini tidak memperlakukan perempuan setara dengan laki-lak. Hak-hak asasi kelompok-kelompok ini akan dirugikan sebagai dampak prinsip dan norma syariah mengenai sikap dan gaya hidup individu dan institusi serta proses sosial dalam berbagai komunitas Islam. Lebih rinci An-Na’im menjelaskan, syariah ini tidak menjamin kesetaraan bagi kaum perempuan dalam aturan perkawinan, perceraian dan warisan. Fakta tersebut jelas akan melanggar prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi yang fundamental bagi semua standar HAM.
Pada level Internasional, syariah yang selama ini kita kenal mensahkan penggunaan kekuatan agresif untuk menyebarkan Islam dan tidak mengakui persamaan kedaulatan negara-negara non-muslim, ujar An-Na’im. Dari sini An-Na’im melihat bahwa aspek-aspek syariah tersebut jelas tidak mau mengakui basis hukum Internasional Modern. Sehingga, ia cenderung melanggar sebagian standar hak-hak asasi manusia Internasional yang paling fundamental.
An-Na’im menyebut syariah yang selama ini dijalankan oleh umat Islam sebagai syariah historis. Syariah ini, menurutnya merupakan produk sejarah kaum muslimin abad ke-7 sampai abad ke-9 M yang cocok untuk kondisi masyarakat waktu itu. Syariah ini dibangun di atas al-Quran dan Sunnah madaniyah. Bagi An-An-Na’im, karakteristik dari nash madaniyah cenderung diskriminatif, seperti contoh yang penulis sebutkan di atas. Karena ia merupakan produk sejarah abad ke-7 sampai abad ke-9 M, maka ia, oleh An-Na’im dinilai sudah tidak memadai bagi kebutuhan masyarakat kontemporer.
Bagi An-Na’im, yang lebih memadai untuk kondisi sekarang adalah pesan dari nash makkiyah. Menurutnya pesan makkiyah ini merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan agama, ras, dan lain-lain. Pesan itu ditandai dengan adanya persamaan antara laki-laki dengan perempuan dan kebebasan penuh untuk memilih agama. Baginya, pesan makkiyah lebih humanis dan sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Gagasan reformasi syariah An-Na’im di atas berawal dari konsepsinya tentang syariah. Pandangan An-Na’im bahwa syariah adalah hanya produk pemikiran manusia, yang bersumber pada hasil pemahaman dan interaksi manusia dengan Al-Quran dan Sunnah untuk menjawab realitas manusia saat itu, dan karenanya ia bersifat tentatif (sementara) yang dapat direformasi kapan saja jika tidak sesuai dengan kondisi zaman setelahnya, sangatlah problematis jika kita telusuri dari arti bentukan kata syariah.
Syariah berasal dari "syara'a as syai", yang artinya menjelaskan sesuatu. Ada juga yang menyatakan bahwa ia berasal dari kata "asy syir'ah" dan "asy syariah", yang berarti tempat sumber air yang tidak pernah terputus, dimana orang yang datang ke sana tidak memerlukan adanya alat. Al-Quran juga banyak menyebut dalam beberapa ayat yang berkaitan dengan syariah.
Misalnya dalam Al-Quran surah al-Maidah: 48,
... لِكُّلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا...(المائدة: ٤٨)
Artinya: "Untuk tiap-tiap umat diantara kamu , Kami berikan aturan dan jalan yang terang" (al-Maidah: 48).
Dalam al-Qur'an surah al-Jaatsiyah: 18,
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ. (الجاثية: ١٨)
Artinya: "Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui" (Al Jaatsiyah: 18).
Menurut Ibnu Abas, yang dimaksud dengan kata “syir’atan wa minhajan” (dalam surat al-Maidah ayat 48) memiliki arti beberapa kewajiban dan kesunatan (faraidh wa sunan). Sementara Al-Qurthubi dan Ibn ‘Abdussalam mengartikan dengan jalan yang sudah jelas menuju keselamatan. Menafsiri surat Al-Jaatsiyah ayat 18 di atas, Ath-Thabari mengutip pendapatnya Qatadah, bahwa yang dimaksud dengan syariah adalah kewajiban-kewajiban, hudud, perintah dan larangan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, kata syariah yang termuat dalam kedua ayat di atas memiliki arti peraturan dan undang-undang yang berisi kewajiban dan larangan. Ketika kata syariah disandingkan dengan kata Islam maka ia bermakna bahwa peraturan-peraturan tersebut bersumber dari Allah untuk mengatur seluruh kehidupan manusia. Dimana meninggalkannya, keseluruhannya atau sebagiannya, berarti melepas ikatan akidah Islam yang telah Allah tentukan, dan demikian sebaliknya.
Cara pandang An-Na’im terhadap syariah, yang dinilainya tidak permanen dan dapat berubah-ubah menyesuaikan realitas zamannya, lebih tepatnya pandangan tersebut ditujukan kepada fiqh. Pasalnya syariah yang selama ini dikenal oleh umat Islam itu cakupannya lebih luas dari sekedar hukum. Merujuk pada kedua ayat di atas, syariah ia meliputi fiqh, 'aqidah, dan juga akhlak. Selain itu, ciri utama syariah adalah sifatnya yang permanen.
Sedangkan fiqh memang memiliki ciri yang fleksibel, ia memang perlu untuk diperbarui guna merespon persoalan yang berkembang. Banyak masalah-masalah fiqh yang telah diperbarui, khususnya dalam bidang ekonomi Islam. Isu seperti investasi zakat profesi, waqaf dan lain-lain merupakan bukti bagaimana fiqh mampu merespon perkembangan masyarakat. Dan ruang untuk berijtihad dalam fiqh sebenarnya masih terbuka lebar. Banyak masalah-masalah kontemporer yang sesungguhnya menanti ijtihad-ijtihad segar. Tapi sayangnya An-Na’im hanya berkutat pada isu-isu lama seperti hak warisan wanita, poligami, hukum hudud, qisas dll, yang sesungguhnya tidak memberikan dampak besar dalam perubahan masyarakat.
Meski konsepsinya An-Na’im tentang syariah lebih cocok kepada fiqh, itu lah An-Na’im, ia tidak mau menyebut proyek yang digagasnya berada pada kawasan fiqh. Ia lebih suka menempatkan pada wilayah syariah. Bagi An-Na’im, the distinction between shari’a and fiqh, to the extent that is possible, is irrelevant when we speak about principles and rules of shari’a proper/tidak relevan lagi untuk membedakan syariah dengan fiqh ketika topik yang dibicarakan mengenai prinsip-prinsip dan tujuan syariah.
Pandangan An-Na’im lain yang perlu dikoreksi adalah pernyataannya mengenai ayat makkiyah yang secara konsisten mendukung universalisme, kebebasan beragama dan kesetaraan. Menurut Ishtiaq Ahmed, dalam sudut pandang religious tidak bisa ada sikap netral antara keyakinan kepada Allah dan ketidakberimanan. Secara tegas orang beriman adalah baik dan orang kafir dikutuk. Meskipun al-Quran Mekkah, lanjut Ishtiaq Ahmed, menekankan nilai universal, toleransi dan koeksistensi damai yang secara garis besar dinilai positif, ia tidak mengakui kebenaran praktik dan kepercayaan penduduk Mekkah. Terhadap kepercayaan penduduk Mekkah al-Quran tidak mengurangi kutukannya, bahkan di Mekkah Allah berfirman: “Orang-orang yang tidak beriman di antara ahlu al-kitab dan kaum penyembah berhala akan dibakar selamanya di neraka. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk.” Dan masih banyak ayat lain yang serupa yang tidak menyerukan toleransi kepada kepercayaan-kepercayaan yang palsu.
Menanggapi koreksi Ishtiaq Ahmed, An-An-Na’im mengelak dengan mengatakan bahwa ayat-ayat Mekkah yang menekankan eksklusifitas komunitas beriman harus dianggap sebagai ayat Madinah. Begitulah fenomena An-Na’im, bagaimanapun ruwet-nya pemikiran An-Na’im, ia tidak bisa dipahami dengan paradigma ulama klaisk. Salah satu cara untuk memahami An-Na’im adalah dengan framework yang lepas dari paradigma klasik, yakni paradigma kemasukakalan yang lahir dari worldview Barat.
D. Metodologi Reformasi Syariah
Metode pembaharuan syariah atau hukum Islam model An-Na’im sebenarnya berangkat dari metodologi yang dirintis oleh gurunya sendiri, Mahmoud Mohahmmad Taha, yakni teori evolusi dengan menghilangkan corak mistiknya. Teori yang diusung oleh An-Na’im adalah teori nasakh sebagaimana yang dikenal dalam ilmu ushul fiqh, namun di tangan An-Na’im, teori nasakh diubah sedemikian rupa, sehingga substansinya berbeda. Dalam pandangan Taha, nasakh lama yang menganggap bahwa ayat-ayat termasuk juga Hadits Madaniyah menghapus ayat dan hadits Makkiyah, harus dibalik, yakni bahwa ayat atau Hadits Makkiyah-lah yang justru menghapus ayat atau hadits madaniyah. Dan An-Na’im benar-benar memperjuangkan apa yang diyakini gurunya itu.
Proses nasakh yang digagas An-Na’im ini bersifat tentatif, sesuai dengan kebutuhan. Ayat yang dibutuhkan pada masa tertentu, ayat itulah yang diberlakukan (muhkam); sedangkan ayat yang tidak diperlukan (tidak relevan dengan perkembangan kontemporer) dihapuskan atau ditangguhkan (mansukh) penggunaannya. Karena itu, nasakh menurut An-Na’im bisa berupa penangguhan ayat yang datang belakangan oleh ayat yang turun lebih dahulu atau sebaliknya, bila memang kondisi-kondisi aktual menghendakinya. Karena itu tepat dikatakan bahwa, masing-masing ayat mengandung validitas dan aplikabilitasnya sendiri, ungkapnya. Kaum muslimin bebas memilih ayat mana yang sesuai dengan kebutuhan mereka, kata An-Na’im. Sehingga, ayat yang sudah dinyatakan mansukh apabila diperlukan dapat digunakan lagi di kesempatan lain.
Metodologi reformasi syariah An-Na’im ini, nasakh terbalik, jelas sangat bertentangan dengan apa yang sudah dibangun oleh ulama Islam Klasik (mutaqaddimun). Berkaitan dengan ayat makkiyah dan madaniyah, di antara mereka juga masih terdapat perselisihan. Sebagian dari mereka, berdasarkan informasi yang diperoleh Az-Zarqani, beranggapan bahwa jika ketetapan hukum ayat makkiyah berlainan dengan ayat madaniyah maka ayat makkiyah menjadi mansukh. Seperti perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah. Lain lagi menurut Imam Ghazali, baginya ayat madaniyah tidak me-nasakh ayat makkiyah, melainkan men-takhsis ayat makkiyah.
Jangankan mengacu pada perselisihan antara ayat makkiyah dan madaniyah, nasakh dalam pengertian ulama klasik sendiri masih kontroversial. Dalam konteks al-Quran, adanya kontradiksi antara ayat satu dengan ayat lainnya masih dalam perdebatan. Lebih dari itu, apa yang dulu dianggap sebagai ayat-ayat yang kontradiktif, belakangan sudah banyak yang dapat dikompromikan. Bila metode nasakh masih mukhtalaf, maka berlaku kaidah bahwa pilihan atas yang muttafaq ’alaih (yang disepakati) harus didahulukan daripada memilih yang mukhtalaf fih.
Sekali lagi, itulah fenomena An-Na’im yang tetap kukuh dengan pendiriannya. Ia menyadari bahwa metode nasakh yang ditawarkan sangat berseberangan dengan mayoritas ulama Islam. Bagi An-Na’im, untuk zaman modern ini, yang menjadi acuan ijtihad adalah prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan hukum internasional. Karena begitu terkesimanya An-Na’im dengan HAM dan hukum internasional, ia terkesan menempatkan HAM dan hukum internasional tersebut di atas segalanya, termasuk syariah, sehingga ketika syariah dianggap bertentangan dengan HAM, maka ia harus diubah dan disesuaikan dengan HAM.
Di sini, An-Na’im tidak menyadari bahwa baik HAM maupun hukum internasional ini tidak lebih dari kesepakatan sepihak yang ditanda-tangani oleh negara-negara terkemuka, dengan mengabaikan sama sekali hak-hak dari semua orang dan masyarakat lainnya, demikian beber Muhammad Arkoun. Padahal HAM dan hukum internasional adalah suatu sistem norma yang dibangun di atas epistemologi sekuler, yang menempatkan manusia dipandang memiliki otoritas penuh untuk mengatur dan menentukan apa yang terbaik untuk dirinya, dan tidak ada institusi lain di atasnya yang berhak mengatur hidup dan kehidupannya (Antropocentris).
E. Penutup
Demikianlah, gagasan reformasi Syariah yang dikumandangkan An-Na’im hanya akan menjungkirbalikkan struktur epistemologi Islam. Ia hanya menjadikan ijtihadnya, khususnya teknik nasakh terbalik, tak lebih dari sekedar acuan untuk menjustifikasi realitas yang ada. Dimana teks al-Quran dan Sunnah ditundukkan pada kehendak waktu dan tempat, pada akal dan kepentingan sesaat. Realitas sosial yang telah dihegemoni kebudayaan Barat ia jadikan standard kebenaran. Ia berada di atas segala-galanya, termasuk di atas al-Quran dan Sunnah. Akibatnya, apa pun yang tidak sesuai dengan teks realitas hari ini harus dirubah dan direinterpretasi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
‘Izzudin bin ‘Abdissalam, Tafsir Ibn ‘Abdissalam
Abdul 'Azim Al-Zarqani, Manahil A-'Irfan fi 'Ulum Al-Qur'an, Jilid II (Mesir: Al-Halabiy, 1980)
Abdullahi Ahmed An-An-Na’im, Islam and Human Rights: Beyond the Universality Debate, dalam The American Society of International Law (ASIL): Proceedings of the 94th Annual Meeting, April 5-8, 2000, Washinton, DC
……………, Religious Minorities under Islamic Law and the Limits of Cultural relativism, dalam Human Rights Quarterly, Volume 9, Number 1, February 1987
……………, Sekali Lagi, Reformasi Islam, dalam Dekonstruksi Syariah (II): Kritik Konsep Penjelajahan Lain, alih bahasa: Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996)
……………, The Compatibility Dialectic: Mediating the Legitimate Coexistence of Islamic Law and State Law, dalam The Modern Law Review, Volume 73, January 2010, No. 1
.................., Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law, (New York: Syracuse University Press, 1990)
……………, Syariah dan HAM: Belajar dari Sudan, dalam Dekonstruksi Syariah (II), Kritik Konsep, Penjelahan Lain, alih bahasa: Farid Wajidi, (Yogyakarta: LkiS, 1996)
……………, Islam dan Negara Sekular, Menegosiasikan Masa Depan Syariah, alih bahasa: Sri Murniati (Bandung: Mizan, 2007)
Adang Djumhur Salikin, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam; Bacaan Kritis terhadap Pemikiran An-An-Na’im, (Yogyakarta: Gama Media, 2004)
Ath-Thabari, Jami’ al-bayan fi Ta’wil al-Quran
Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005
Ibnu Abbas, Tanwir al-Miqbas min Ibn Abbas
Ibnu Manzur, Lisanul Arab
Ishtiaq Ahmed, Konstitusionalisme, HAM, dan Reformasi Islam, dalam Dekonstruksi Syariah (II): Kritik Konsep Penjelajahan Lain, alih bahasa: Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996)
Mohammed Arkoun, Kritik Konsep “reformasi Islam”, dalam Dekonstruksi Syariah (II): Kritik Konsep Penjelajahan Lain, alih bahasa: Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996)
Muhyar Fanani, Abdullah Ahmed An-An-Na’im: Paradigma Baru Hukum Publik Islam, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003)
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003)
Nirwan Syafrin, Konstruk Epistemologi Islam: Telaah Bidang Fiqh dan Usul al-Fiqh, dalam Islamia, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II No. 5/April-Juni 2005
Syamsuddin al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran
A. Pendahuluan
Syariah, sejak membanjirnya paham liberalisme keagamaan, mendapat sorotan tajam dan kritikan pedas dari berbagai kalangan. Bahkan, menurut Jamal al-Banna, pemikir asal Mesir, menilainya sebagai faktor kemunduran dan keterbelakangan umat Islam saat ini. Kritik yang dibangun oleh kalangan pemikir muslim liberal, bukannya memberikan solusi atas problematika umat Islam, justru menyisakan perdebatan panjang yang tak kunjung usai. Ini karena gagasan yang mereka usung banyak yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar aqidah dan syariah Islam seperti mempertanyakan otentisitas dan kesucian al-Quran, mengkritik otoritas hadits Nabi, menghujat sahabat Nabi dan para ulama. Mereka beranggapan bahwa syariah atau yang sering mereka sebut hukum Islam sudah tidak relevan lagi dengan nilai-nilai dan budaya global. Karenanya mereka mendesak syariah untuk direformasi agar sesuai dengan budaya global, terutama agar sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Salah satu pengusung gagasan dekonsturksi Syariah dari pemikir Islam kontemporer adalah Abdullahi Ahmed An-Na’im, pemikir Islam asal Sudan. Ia juga beranggapan bahwa syariah yang ada sekarang ini tidak relevan lagi dengan nilai-nilai dan budaya modern, karenanya perlu direformasi agar sesuai dengan perkembangan zaman. Syariah yang selama ini dikenal tidaklah sakral (divine) atau bersifat ilahiah dalam arti seluruh rinciannya diwahyukan langsung oleh Allah, ia adalah "the product of a process of interpretation of analogical derivation from the text of the Qur'an and Sunna and other tradition.” Seruan reformasi ini banyak didukung oleh pemikir Muslim Indonesia dan nyaris tanpa kritik. Karena itulah, melalui makalah yang serba terbatas ini, penulis ingin mengulas dan mengkritisi bagaimana model reformasi syariah yang dikenalkan oleh An-Na’im.
B. Sketsa Biografis Abdullahi Ahmed An-Na’im
An-Na’im termsuk kelompok pemikir postradisionalistik. Menurut M. Abid al-Jabiri sebagaimana dikutip oleh A. Khudori Soleh, kelompok pemikir ini berusaha mendekonstruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. Bagi kelompok postradisionalistik, relevansi tradisi Islam tidak cukup dengan interpretasi baru lewat pendekatan rekonstruktif, tetapi harus lebih dari itu, yakni dekonstruktif. Bagi kelompok postradisionalistik, seluruh bangunan pemikiran Islam klasik (turats) harus dirombak dan dibongkar, setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisis terhadapnya. Tujuannya, agar yang dianggap absolute berubah menjadi relative dan yang ahistoris menjadi histories.
Nama lengkapnya adalah Abdullahi Ahmed An-Na’im. Ia lahir di Sudan pada tanggal 19 November 1946. Menurut Ahmad Fadhli Lubis, Guru Besar Syariah IAIN Sumatera Utara, Medan, An-Na’im adalah seorang nuslim yang taat dan terkesan fanatik dalam "membela Islam". Sejak muda, An-Na’im memiliki minat yang kuat dalam bidang hukum, termasuk hukum Islam. Pendidikan (S-I)-nya di Fakultas Hukum Universitas Khartoum, Sudan. Tahun 1970, An-Na’im berhasil menyelesaikan studi di fakultas tersebut dengan mendapat gelar LL.B. Dan menempuh studi magister (pasca sarjana) di Universitas Cambridge Inggris pada tahun 1971-1973, dengan mengambil spesialisasi pada masalah hak-hak sipil dan hubungannya dengan konstitusi Negara-negara berkembang dan hukum internasional (the law relating to the civil liberties, constitutional law of developing countries and private international law), dari perguruan tinggi ini, ia berhasil memperoleh gelar LL.M. dengan karya ilmiah berjudul Judicial Review of Administrative Action, the law Relating to Civil Liberties, Constitutional Law of Developing Countries and Private International Law. Pada tahun dan universitas yang sama, ia juga mengambil program magister bidang kriminologi, dengan menulis karya ilmiah berjudul Criminal Process Penology, Sociology of Crime and Research Methodology. Sedangkan untuk program doktor (Ph. D.) ditempuhnya di Universitas Edinburg, Skotlandia dalam bidang hukum pada tahun 1976, dengan disertasi mengenai perbandingan prosedur praperadilan kriminal antara hukum Inggris, Skotlandia, Amerika Serikat dan Sudan (Comparative pre-Trial Criminal Procedure: English, Scottish, U.S. and Sudanese Law).
Pendidikan dan bidang keilmuan yang ditekuni An-Na’im tampak dominan mempengaruhi pemikirannya. Hal ini terlihat pada karya-karya tulis dan isu-isu yang diangkat An-An-Na’im, setidaknya sampai tahun 1995, yang hampir seluruhnya berkisar di seputar hukum publik, khususnya tentang HAM, konstitusionalisme, dan hukum internasional modern. Demikian juga profesi yang dipilihnya, meski berasal dari negeri miskin dan terbelakang, An-Na’im mampu menjadi akademisi bertaraf internasional yang sukses. Kariernya sebagai akademisi dimulai sebagai staf pengajar di bisang hukum di Universitas Khartoum, Sudan mulai dari November 1976 hingga Juni 1985, professor tamu publik di almamater yang sama (1979-1989), professor tamu di Fakultas Hukum UCLA, USA (Agustus samapai Juli 1987). Pada Agustus 1988 sampai Januari 1991 ia menjadi professor tamu di Ariel F. Sallows dalam bidang HAM di Fakultas Hukum, Universitas Saskatchewan, Kanada. Antara Agustus 1991 sampai Juni 1992 menjadi professor tamu Olof Palme di Fakultas Hukum, University of Upshala, Swedia. Juli 1992 samapai Juni 1993 menjadi sarjana-tinggal di Kantor The Ford Foundation untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Kairo, Mesir, Juli 1993 hingga April 1995 menjadi Direktur Eksekutif Pengawas HAM Afrika di Washington D.C., dan sejak Juni 1995 sampai sekarang menjadi professor hukum di Universitas Emory, Atlanta, GA, Amerika Serikat.
Selama menekuni ilmu hukum, khususnya bidang hukum publik, secara akademisi An-Na’im menerima pengaruh dari guru-gurunya, terutama pada bidang keilmuan yang ditekuninya itu. Sepanjang proses tersebut, An-Na’im juga sering mengadakan kontak intelektual dengan para pemikir keagamaan, baik yang modern maupun tradisional, baik ketika belajar di Sudan maupun selama dan sesudah belajar di luar negri. Di antara tokoh pemikir muslim yang sangat berpengaruh pada pemikiran An-Na’im adalah Mahmoud Muhammed Taha, pendiri dan tokoh sentral Partai Persaudaraan Republik (The Republican brotherhood). Sang guru inilah yang memberikan dasar pijakan pemikiran hukum Islamnya, bahkan An-Na’im praktis hanya menerjemahkan pemikiran sang guru ke dalam materi-materi hukum yang lebih konkrit.
Perkenalanya An-Na’im dengan Mahmoud Muhammad Taha dimulai sejak dia bergabung secara informal dengan Persaudaraan Kaum Republik (sebelum menjadi sebuah partai politik) Sudan, ketika masih menjadi mahasiswa Universitas Khartoum akhir tahun 1960-an. Ia mendatangi beberapa kuliah yang diberikan Taha dan mengikuti diskusi-diskusi dengannya di rumah Taha. Bagi An-Na’im, kebersamaan dengan Taha tampaknya memberi kesan yang sangat mendalam. Hal ini tampak pada komitmennya yang kuat dalam memperjuangkan dan menyebarluaskan ajaran Taha.
Dari gambaran sosok An-Na’im secara singkat di atas, kiranya dapat dimengerti bahwa gagasan reformasi syariah yang ditawarkan oleh An-Na’im tidak bisa lepas dari latar belakang intelektual yang ditekuninya. Akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya akan membentuk pandangan hidup (worldview) yang menjadi basis epistemologi dan metodologi gagasannya nanti.
C. Syariah Produk Sejarah
Islam menurut An-Na’im adalah agama yang memiliki dua bentuk ajaran, yaitu pertama tauhid, la ilaha illa Allah sebagai ajaran substansial; dan kedua syariah sebagai bentuk implementasi dari ajaran substansial itu yang sesuai dengan konteks perkembangan dan kebutuhan umat tertentu. Bentuk ajaran yang pertama (tauhid) bersifat permanen, tidak berubah-ubah, sedangkan bagian ajaran yang kedua (syariah) bersifat kontekstual dan berubah-ubah.
Masih menurut An-Na’im, hal yang substansial dari agama Islam adalah ajaran tentang ketundukan dan kepasrahan total kepada Allah sebagai Tuhan. Dalam arti ini substansi Islam tidak lain adalah ajaran tauhid, La Ilaha illa Allah. Ia bersifat permanen, karena semua nabi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad datang dengan membawa Islam, dalam arti tauhid, La ilaha illa Allah. Dan yang membedakan dengan agama-agama yang dibawa oleh para Nabi adalah bentuk implementasinya ajaran-ajarannya yang disebut syariah.
Adapun syariah bagi An-Na’im merupakan formulasi historis tentang norma etika dan sosial, teori politik dan kosntitusional, serta aturan-aturan hukum perdata, pidana maupun publik yang diderivasi dari sumber-sumber Islam untuk menjawab persoalan zamannya. Sebagai produk sejarah, formulasi syariah dapat direkonstruksi ketika dirasa sudah tidak memadai lagi bagi kehidupan modern. Jelasnya an-An-Na’im berkata:
“Shari’a is not the whole of Islam but instead is an interpretation of its fundamental source as understood in a particular historical context. Once it is appreciated that shari’a was constructed by its funding jurists, it should become possible to think about reconstructing certain aspects of shari’a, provided that such reconstruction as based on the same fundamental sources of Islam and is fully consistent with its essential moral and religious precepts” (Syariah bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan hanyalah interpretasi terhadap nash dasarnya yang dipahami dalam konteks sejarah tertentu. Syariah yang telah disusun para ahli hukum perintis dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu, asalkan rekonstruksi itu pun didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam yang sama, dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama).
Dari kutipan di atas dapat dimengerti bahwa dalam pandangan An-Naim, syariah tidaklah bersifat ilahiah, dalam arti semua prinsip hukum dan aturan rinciannya langsung diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Syariah yang rinci dan detail itu menunjukkan sifatnya yang temporal dan kontekstual. Rincian tersebut merupakan bukti adanya hubungan dialogis syariah dengan realitas konkret masyarakat yang dihadapinya. Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber syariah untuk merespon terhadap realitas masa lalu, karenanya harus pula menjadi sumber syariah modern sebagai respon realitas masa kini. Menurutnya. formulasi syariah akan terus berlanjut hingga sekarang untuk menyesuaikan konteksnya.
Bagi An-Na’im, Syariah yang selama ini kita kenal, tidaklah memadai dan tidak adil, sehingga layak untuk dikoreksi ulang. dikatakan 'tidak adil' karena dalam pandangan An-Na’im, beberapa aspek syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum publik, terdapat diskriminasi di dalamnya. Misalnya warga muslim dianggap warga superior, sedangkan warga non-muslim dianggap sebagai inferior. Selain itu, masih menurut An-Na’im, Syariah ini tidak memperlakukan perempuan setara dengan laki-lak. Hak-hak asasi kelompok-kelompok ini akan dirugikan sebagai dampak prinsip dan norma syariah mengenai sikap dan gaya hidup individu dan institusi serta proses sosial dalam berbagai komunitas Islam. Lebih rinci An-Na’im menjelaskan, syariah ini tidak menjamin kesetaraan bagi kaum perempuan dalam aturan perkawinan, perceraian dan warisan. Fakta tersebut jelas akan melanggar prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi yang fundamental bagi semua standar HAM.
Pada level Internasional, syariah yang selama ini kita kenal mensahkan penggunaan kekuatan agresif untuk menyebarkan Islam dan tidak mengakui persamaan kedaulatan negara-negara non-muslim, ujar An-Na’im. Dari sini An-Na’im melihat bahwa aspek-aspek syariah tersebut jelas tidak mau mengakui basis hukum Internasional Modern. Sehingga, ia cenderung melanggar sebagian standar hak-hak asasi manusia Internasional yang paling fundamental.
An-Na’im menyebut syariah yang selama ini dijalankan oleh umat Islam sebagai syariah historis. Syariah ini, menurutnya merupakan produk sejarah kaum muslimin abad ke-7 sampai abad ke-9 M yang cocok untuk kondisi masyarakat waktu itu. Syariah ini dibangun di atas al-Quran dan Sunnah madaniyah. Bagi An-An-Na’im, karakteristik dari nash madaniyah cenderung diskriminatif, seperti contoh yang penulis sebutkan di atas. Karena ia merupakan produk sejarah abad ke-7 sampai abad ke-9 M, maka ia, oleh An-Na’im dinilai sudah tidak memadai bagi kebutuhan masyarakat kontemporer.
Bagi An-Na’im, yang lebih memadai untuk kondisi sekarang adalah pesan dari nash makkiyah. Menurutnya pesan makkiyah ini merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan agama, ras, dan lain-lain. Pesan itu ditandai dengan adanya persamaan antara laki-laki dengan perempuan dan kebebasan penuh untuk memilih agama. Baginya, pesan makkiyah lebih humanis dan sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Gagasan reformasi syariah An-Na’im di atas berawal dari konsepsinya tentang syariah. Pandangan An-Na’im bahwa syariah adalah hanya produk pemikiran manusia, yang bersumber pada hasil pemahaman dan interaksi manusia dengan Al-Quran dan Sunnah untuk menjawab realitas manusia saat itu, dan karenanya ia bersifat tentatif (sementara) yang dapat direformasi kapan saja jika tidak sesuai dengan kondisi zaman setelahnya, sangatlah problematis jika kita telusuri dari arti bentukan kata syariah.
Syariah berasal dari "syara'a as syai", yang artinya menjelaskan sesuatu. Ada juga yang menyatakan bahwa ia berasal dari kata "asy syir'ah" dan "asy syariah", yang berarti tempat sumber air yang tidak pernah terputus, dimana orang yang datang ke sana tidak memerlukan adanya alat. Al-Quran juga banyak menyebut dalam beberapa ayat yang berkaitan dengan syariah.
Misalnya dalam Al-Quran surah al-Maidah: 48,
... لِكُّلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا...(المائدة: ٤٨)
Artinya: "Untuk tiap-tiap umat diantara kamu , Kami berikan aturan dan jalan yang terang" (al-Maidah: 48).
Dalam al-Qur'an surah al-Jaatsiyah: 18,
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ. (الجاثية: ١٨)
Artinya: "Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui" (Al Jaatsiyah: 18).
Menurut Ibnu Abas, yang dimaksud dengan kata “syir’atan wa minhajan” (dalam surat al-Maidah ayat 48) memiliki arti beberapa kewajiban dan kesunatan (faraidh wa sunan). Sementara Al-Qurthubi dan Ibn ‘Abdussalam mengartikan dengan jalan yang sudah jelas menuju keselamatan. Menafsiri surat Al-Jaatsiyah ayat 18 di atas, Ath-Thabari mengutip pendapatnya Qatadah, bahwa yang dimaksud dengan syariah adalah kewajiban-kewajiban, hudud, perintah dan larangan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, kata syariah yang termuat dalam kedua ayat di atas memiliki arti peraturan dan undang-undang yang berisi kewajiban dan larangan. Ketika kata syariah disandingkan dengan kata Islam maka ia bermakna bahwa peraturan-peraturan tersebut bersumber dari Allah untuk mengatur seluruh kehidupan manusia. Dimana meninggalkannya, keseluruhannya atau sebagiannya, berarti melepas ikatan akidah Islam yang telah Allah tentukan, dan demikian sebaliknya.
Cara pandang An-Na’im terhadap syariah, yang dinilainya tidak permanen dan dapat berubah-ubah menyesuaikan realitas zamannya, lebih tepatnya pandangan tersebut ditujukan kepada fiqh. Pasalnya syariah yang selama ini dikenal oleh umat Islam itu cakupannya lebih luas dari sekedar hukum. Merujuk pada kedua ayat di atas, syariah ia meliputi fiqh, 'aqidah, dan juga akhlak. Selain itu, ciri utama syariah adalah sifatnya yang permanen.
Sedangkan fiqh memang memiliki ciri yang fleksibel, ia memang perlu untuk diperbarui guna merespon persoalan yang berkembang. Banyak masalah-masalah fiqh yang telah diperbarui, khususnya dalam bidang ekonomi Islam. Isu seperti investasi zakat profesi, waqaf dan lain-lain merupakan bukti bagaimana fiqh mampu merespon perkembangan masyarakat. Dan ruang untuk berijtihad dalam fiqh sebenarnya masih terbuka lebar. Banyak masalah-masalah kontemporer yang sesungguhnya menanti ijtihad-ijtihad segar. Tapi sayangnya An-Na’im hanya berkutat pada isu-isu lama seperti hak warisan wanita, poligami, hukum hudud, qisas dll, yang sesungguhnya tidak memberikan dampak besar dalam perubahan masyarakat.
Meski konsepsinya An-Na’im tentang syariah lebih cocok kepada fiqh, itu lah An-Na’im, ia tidak mau menyebut proyek yang digagasnya berada pada kawasan fiqh. Ia lebih suka menempatkan pada wilayah syariah. Bagi An-Na’im, the distinction between shari’a and fiqh, to the extent that is possible, is irrelevant when we speak about principles and rules of shari’a proper/tidak relevan lagi untuk membedakan syariah dengan fiqh ketika topik yang dibicarakan mengenai prinsip-prinsip dan tujuan syariah.
Pandangan An-Na’im lain yang perlu dikoreksi adalah pernyataannya mengenai ayat makkiyah yang secara konsisten mendukung universalisme, kebebasan beragama dan kesetaraan. Menurut Ishtiaq Ahmed, dalam sudut pandang religious tidak bisa ada sikap netral antara keyakinan kepada Allah dan ketidakberimanan. Secara tegas orang beriman adalah baik dan orang kafir dikutuk. Meskipun al-Quran Mekkah, lanjut Ishtiaq Ahmed, menekankan nilai universal, toleransi dan koeksistensi damai yang secara garis besar dinilai positif, ia tidak mengakui kebenaran praktik dan kepercayaan penduduk Mekkah. Terhadap kepercayaan penduduk Mekkah al-Quran tidak mengurangi kutukannya, bahkan di Mekkah Allah berfirman: “Orang-orang yang tidak beriman di antara ahlu al-kitab dan kaum penyembah berhala akan dibakar selamanya di neraka. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk.” Dan masih banyak ayat lain yang serupa yang tidak menyerukan toleransi kepada kepercayaan-kepercayaan yang palsu.
Menanggapi koreksi Ishtiaq Ahmed, An-An-Na’im mengelak dengan mengatakan bahwa ayat-ayat Mekkah yang menekankan eksklusifitas komunitas beriman harus dianggap sebagai ayat Madinah. Begitulah fenomena An-Na’im, bagaimanapun ruwet-nya pemikiran An-Na’im, ia tidak bisa dipahami dengan paradigma ulama klaisk. Salah satu cara untuk memahami An-Na’im adalah dengan framework yang lepas dari paradigma klasik, yakni paradigma kemasukakalan yang lahir dari worldview Barat.
D. Metodologi Reformasi Syariah
Metode pembaharuan syariah atau hukum Islam model An-Na’im sebenarnya berangkat dari metodologi yang dirintis oleh gurunya sendiri, Mahmoud Mohahmmad Taha, yakni teori evolusi dengan menghilangkan corak mistiknya. Teori yang diusung oleh An-Na’im adalah teori nasakh sebagaimana yang dikenal dalam ilmu ushul fiqh, namun di tangan An-Na’im, teori nasakh diubah sedemikian rupa, sehingga substansinya berbeda. Dalam pandangan Taha, nasakh lama yang menganggap bahwa ayat-ayat termasuk juga Hadits Madaniyah menghapus ayat dan hadits Makkiyah, harus dibalik, yakni bahwa ayat atau Hadits Makkiyah-lah yang justru menghapus ayat atau hadits madaniyah. Dan An-Na’im benar-benar memperjuangkan apa yang diyakini gurunya itu.
Proses nasakh yang digagas An-Na’im ini bersifat tentatif, sesuai dengan kebutuhan. Ayat yang dibutuhkan pada masa tertentu, ayat itulah yang diberlakukan (muhkam); sedangkan ayat yang tidak diperlukan (tidak relevan dengan perkembangan kontemporer) dihapuskan atau ditangguhkan (mansukh) penggunaannya. Karena itu, nasakh menurut An-Na’im bisa berupa penangguhan ayat yang datang belakangan oleh ayat yang turun lebih dahulu atau sebaliknya, bila memang kondisi-kondisi aktual menghendakinya. Karena itu tepat dikatakan bahwa, masing-masing ayat mengandung validitas dan aplikabilitasnya sendiri, ungkapnya. Kaum muslimin bebas memilih ayat mana yang sesuai dengan kebutuhan mereka, kata An-Na’im. Sehingga, ayat yang sudah dinyatakan mansukh apabila diperlukan dapat digunakan lagi di kesempatan lain.
Metodologi reformasi syariah An-Na’im ini, nasakh terbalik, jelas sangat bertentangan dengan apa yang sudah dibangun oleh ulama Islam Klasik (mutaqaddimun). Berkaitan dengan ayat makkiyah dan madaniyah, di antara mereka juga masih terdapat perselisihan. Sebagian dari mereka, berdasarkan informasi yang diperoleh Az-Zarqani, beranggapan bahwa jika ketetapan hukum ayat makkiyah berlainan dengan ayat madaniyah maka ayat makkiyah menjadi mansukh. Seperti perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah. Lain lagi menurut Imam Ghazali, baginya ayat madaniyah tidak me-nasakh ayat makkiyah, melainkan men-takhsis ayat makkiyah.
Jangankan mengacu pada perselisihan antara ayat makkiyah dan madaniyah, nasakh dalam pengertian ulama klasik sendiri masih kontroversial. Dalam konteks al-Quran, adanya kontradiksi antara ayat satu dengan ayat lainnya masih dalam perdebatan. Lebih dari itu, apa yang dulu dianggap sebagai ayat-ayat yang kontradiktif, belakangan sudah banyak yang dapat dikompromikan. Bila metode nasakh masih mukhtalaf, maka berlaku kaidah bahwa pilihan atas yang muttafaq ’alaih (yang disepakati) harus didahulukan daripada memilih yang mukhtalaf fih.
Sekali lagi, itulah fenomena An-Na’im yang tetap kukuh dengan pendiriannya. Ia menyadari bahwa metode nasakh yang ditawarkan sangat berseberangan dengan mayoritas ulama Islam. Bagi An-Na’im, untuk zaman modern ini, yang menjadi acuan ijtihad adalah prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan hukum internasional. Karena begitu terkesimanya An-Na’im dengan HAM dan hukum internasional, ia terkesan menempatkan HAM dan hukum internasional tersebut di atas segalanya, termasuk syariah, sehingga ketika syariah dianggap bertentangan dengan HAM, maka ia harus diubah dan disesuaikan dengan HAM.
Di sini, An-Na’im tidak menyadari bahwa baik HAM maupun hukum internasional ini tidak lebih dari kesepakatan sepihak yang ditanda-tangani oleh negara-negara terkemuka, dengan mengabaikan sama sekali hak-hak dari semua orang dan masyarakat lainnya, demikian beber Muhammad Arkoun. Padahal HAM dan hukum internasional adalah suatu sistem norma yang dibangun di atas epistemologi sekuler, yang menempatkan manusia dipandang memiliki otoritas penuh untuk mengatur dan menentukan apa yang terbaik untuk dirinya, dan tidak ada institusi lain di atasnya yang berhak mengatur hidup dan kehidupannya (Antropocentris).
E. Penutup
Demikianlah, gagasan reformasi Syariah yang dikumandangkan An-Na’im hanya akan menjungkirbalikkan struktur epistemologi Islam. Ia hanya menjadikan ijtihadnya, khususnya teknik nasakh terbalik, tak lebih dari sekedar acuan untuk menjustifikasi realitas yang ada. Dimana teks al-Quran dan Sunnah ditundukkan pada kehendak waktu dan tempat, pada akal dan kepentingan sesaat. Realitas sosial yang telah dihegemoni kebudayaan Barat ia jadikan standard kebenaran. Ia berada di atas segala-galanya, termasuk di atas al-Quran dan Sunnah. Akibatnya, apa pun yang tidak sesuai dengan teks realitas hari ini harus dirubah dan direinterpretasi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
‘Izzudin bin ‘Abdissalam, Tafsir Ibn ‘Abdissalam
Abdul 'Azim Al-Zarqani, Manahil A-'Irfan fi 'Ulum Al-Qur'an, Jilid II (Mesir: Al-Halabiy, 1980)
Abdullahi Ahmed An-An-Na’im, Islam and Human Rights: Beyond the Universality Debate, dalam The American Society of International Law (ASIL): Proceedings of the 94th Annual Meeting, April 5-8, 2000, Washinton, DC
……………, Religious Minorities under Islamic Law and the Limits of Cultural relativism, dalam Human Rights Quarterly, Volume 9, Number 1, February 1987
……………, Sekali Lagi, Reformasi Islam, dalam Dekonstruksi Syariah (II): Kritik Konsep Penjelajahan Lain, alih bahasa: Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996)
……………, The Compatibility Dialectic: Mediating the Legitimate Coexistence of Islamic Law and State Law, dalam The Modern Law Review, Volume 73, January 2010, No. 1
.................., Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law, (New York: Syracuse University Press, 1990)
……………, Syariah dan HAM: Belajar dari Sudan, dalam Dekonstruksi Syariah (II), Kritik Konsep, Penjelahan Lain, alih bahasa: Farid Wajidi, (Yogyakarta: LkiS, 1996)
……………, Islam dan Negara Sekular, Menegosiasikan Masa Depan Syariah, alih bahasa: Sri Murniati (Bandung: Mizan, 2007)
Adang Djumhur Salikin, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam; Bacaan Kritis terhadap Pemikiran An-An-Na’im, (Yogyakarta: Gama Media, 2004)
Ath-Thabari, Jami’ al-bayan fi Ta’wil al-Quran
Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005
Ibnu Abbas, Tanwir al-Miqbas min Ibn Abbas
Ibnu Manzur, Lisanul Arab
Ishtiaq Ahmed, Konstitusionalisme, HAM, dan Reformasi Islam, dalam Dekonstruksi Syariah (II): Kritik Konsep Penjelajahan Lain, alih bahasa: Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996)
Mohammed Arkoun, Kritik Konsep “reformasi Islam”, dalam Dekonstruksi Syariah (II): Kritik Konsep Penjelajahan Lain, alih bahasa: Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996)
Muhyar Fanani, Abdullah Ahmed An-An-Na’im: Paradigma Baru Hukum Publik Islam, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003)
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003)
Nirwan Syafrin, Konstruk Epistemologi Islam: Telaah Bidang Fiqh dan Usul al-Fiqh, dalam Islamia, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II No. 5/April-Juni 2005
Syamsuddin al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran