Kamis, 28 Oktober 2010

PANDANGAN HIDUP ASAS PERADABAN ISLAM


Oleh: Dr. H. Hamid Fahmy Zarkasyi M.A, M.Phil..............


Pada umumnya orang memahami peradaban melalui bukti-bukti fisik, sehingga peradaban dinisbatkan kepada bangunan masjid-masjid, candi-candi, gedung-gedung, dsb. Namun, orang lupa bahwa bangunan tidak akan wujud tanpa pikiran, kepercayaan, agama, ideologi dan yang terpenting adalah ilmu pengetahuan dibalik itu semua. Jadi peradaban dan kebudayaan tidak dapat diukur dari kemajuan fisik saja. Pemahaman yang sama juga digunakan untuk melihat bangunan peradaban Islam. Peradaban Islam itu sangat komplek dan cakupannya seluas kehidupan itu sendiri. Sebab Islam adalah agama yang mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan yang bersifat menyeluruh. Secara konseptual peradaban Islam merupakan gambaran integral bagaimana keimanan atau keyakinan dalam Islam yang rasional dan berdimensi ilmu itu memancarkan ilmu pengetahuan dan mengejawantah dalam bentuk amal-amal. Artinya ilmu berdimensi amal dan amalnya berasaskan ilmu. Keduanya – ilmu dan amal - berakumulasi memberi nutrisi kepada hati sehingga memperkuat iman. Jika ilmu tidak menambah keimanan maka ia dapat mendorong kepada kekufuran. Bab ini memaparkan bangunan peradaban Islam dari bangunan konsepnya, terutama bangunan pandangan hidupnya, dan kronologi historisnya secara simultan.



1. Makna Peradaban Islam
Islam yang diturunkan sebagai din, sejatinya telah memiliki konsep seminalnya sebagai peradaban. Sebab kata din itu sendiri telah membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang menaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Artinya dalam istilah din itu tersembunyi suatu sistim kehidupan yang teratur berdasarkan hukum dan keadilan. Oleh sebab itu ketika din (agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat yang sebelumnya bernama Yatsrib itu berubah menjadi Madinah. Dari akar kata din dan Madinah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.
Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku TÉrÊkh al-Tamaddun al-IslÉmÊ (Sejarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun atau derivasinya digunakan umat Islam sebagai istilah untuk peradaban. Di dunia Melayu digunakan istilah tamaddun, di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat. Namun di Turki orang menggunakan akar kata madinah atau madana atau madaniyyah dengan menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini lebih sering menggunakan kata hadarah, namun istilah ini hanya sekedar berarti hadir bertempat tinggal, kebalikan dari nomadisme yang selalu mengembara yang merupakan tradisi Arab. Di anak benua Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhib.



Al-Qur’an Sumber Peradaban Islam
Para sejarawan modern sepakat bahwa al-Qur’an dan Sunnah memberikan kekuatan pendorong bagi bangkitnya ilmu dan peradaban Islam. Kedua sumber ini kaya dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan seperti perintah mencari ilmu, perintah berfikir, mengamati dan berzikir; pengharagaan terhadap pencari ilmu; dan menjadikan ilmu sebagai alat hidup didunia dan akherat, dan keistimewaan lain bagi pencari ilmu. Kekuatan al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber ilmu dan peradaban Islam tercermin dari kandungannya. Ayat yang perama kali turun adalah perintah Iqra’ (Bacalah):
Bacalah dengan nama Tuhanmu, Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan qalam. (al-‘Alaq, 1-4)
Selain itu al-Qur’an juga menasehati Nabi untuk berdoa “Oh Tuhan tambahlah ilmu kepadaku” (Taha : 114). Ditegaskan pula “adakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dan orang yang tidak mengetahui (tidak berilmu) (al-Zumar 9). Bahkan “mereka (yang) mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, tapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak. (al-A’raf 179); Dan “tanda kebesaran Allah hanya diberikan kepada orang yang mengetahui” (al-An’am :97-98); dan “barang siapa yang dikaruniai hikmah (ilmu) itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (al-Baqarah, 269). Ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an juga dikaitkan dengan kekuatan fisik “ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa” (al-Baqarah, 247); dengan ilmu pulalah manusia dijadikan khalifah di bumi dan melebihi derajat para malaikat (al-Baqarah, 30).
Namun, al-Qur’an dan Sunnah tidak melulu berbicara tentang ilmu, tapi juga obyek ilmu yaitu alam semesta dan subyeknya yaitu manusia. Al-Qur’an mengajari manusia untuk merenungkan fenomena alam, penciptaan langit dan bumi, perubahan musim, perubahan siang dan malam lautan, awan, angin, matahari, bulan dan bintang serta hukum-hukum berlaku. Juga perintah untuk mengamati peristiwa dan rahasia kelahiran dan kematian, dan banyak lagi.
Dalam hal ini perlu dipahami bahwa al-Qur’an tidak otomatis mengandung konsep-konsep secara mendetail dan jadi. Sehingga sangat picik seandainya ada yang mencari konsep ilmu, misalnya, konsep negara, konsep politik, konsep ekonomi dsb. secara mendetail dari al-Qur’an. Konsep-konsep yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah itu secara saintifik dapat disebut sebagai bakal konsep (seminal concept). Ia mengajarkan tentang al-ilm, al-alim (manusia) dan al-ma’lum (alam semesta) yang saling berkaitan. Dan yang terpenting dari seluruh kegiatan keilmuan manusia sebagai al-alim (yang mengetahui) adalah keterkaitannya yang terus menerus dengan al-Aliim (Yang Maha Mengetahui). Oleh sebab itu para ulama mengartikan kata Ñaqala (berfikir, mengikat) dengan mengikat ilmu-ilmu yang kita peroleh dari pengamatan kita terhadap alam dengan al-Aliim (Sang Pencipta alam). Perintah “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Menciptakan” mengandung arti agar kita membaca ayat-ayat qauliyah dan kauniyyah dengan mengkaitkannya dengan Tuhan. Tanpa mengaitkan dengan Tuhan ilmu yang kita peroleh menjadi sekuler, seperti ilmu-ilmu Barat sekarang ini. Ini menunjukkan bahwa ilmu yang menjadi asas peradaban Islam adalah ilmu yang terikat pada Tuhan, ilmu yang teologis dan bukan ilmu yang godless (sekuler).
Jadi asas ilmu dan peradaban Islam itu adalah konsep seminal dalam al-Qur’an dan Sunnah. Konsep-konsep itu kemudian ditafsirkan, dijelaskan dan dikembangkan menjadi berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam. Keseluruhan kandungan al-Qur’an dan Sunnah yang dijelaskan oleh para ulama itu merefleksikan suatu cara pandang terhadap alam, baik dunia maupun alam akherat yang secara konseptual membentuk apa yang kini disebut Pandangan Alam, Pandangan Hidup atau Worldview.
Oleh sebab itu, jika al-Qur’an diakui sebagai sumber peradaban Islam, maka dapat dikatakan pula bahwa pandangan hidup Islam merupakan asas peradaban Islam. Dan oleh karena al-Qur’an itu sarat dengan dimensi ilmu pengetahuan maka sepertiyang akan dijelaskan nanti, ilmu pengetahuan adalah asas peradaban Islam. bahkan dapat dikatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban Ilmu dan bukan peradaban bangunan.
Dengan konsep yang seperti ini maka dapat dikatakan bahwa tidak ada sisi kehidupan intelektual Muslim, kehidupan keagamaan dan politik, bahkan kehidupan sehari-hari seorang Muslim yang awam yang tidak tersentuh sikap penghargaan terhadap ilmu. Ilmu memiliki nilai yang tinggi dalam Islam. Oleh sebab tidak heran jika Franz Rosenthal penulis buku Knowledge Triumphant (Keagungan Ilmu) dalam Islam menyimpulan bahwa “ilmu adalah Islam”.
Bagaimanakah pandangan alam Islam itu tumbuh dan berkembang dalam pikiran seseorang dan kemudian menjadi motor bagi perubahan sosial umat Islam merupakan proses yang panjang. Secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw., secara berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir dan periode Madinah.
Periode pertama, lahirnya pandangan hidup Islam dapat digambarkan dari kronologi turunnya wahyu dan penjelasan Nabi tentang wahyu itu. Sebab, pandangan hidup Islam bermula dari peranan sentral Nabi yang menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Disini periode Makkah merupakan periode yang sangat penting dalam kelahiran pandangan hidup Islam. Karena banyaknya surah-surah al-Qur’an diturunkan di Makkah (yakni 85 surah dari 113 surah al-Qur’an diturunkan di Makkah), maka periode Makkah dibagi menjadi dua periode: Makkah period awal dan periode akhir. Pada periode awal wahyu yang diturunkan umumnya mengandung konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepadaNya, hari kebangkitan, penciptaan, akherat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan buruk, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan elemen penting dalam struktur worldview Islam.
Pada periode akhir Makkah, wahyu memperkenalkan konsep-konsep yang lebih luas dan abstrak, seperti konsep ‘ilm, nubuwwah, din, ibadah dan lain-lain. Dua periode Makkah ini penting bukan hanya karena dua pertiga dari al-Qur’an diturunkan disini, akan tetapi kandungan wahyu dan penjelasan Nabi serta partisipasi masyarakat Muslim dalam memahami wahyu itu telah menjadikan struktur konsep tentang dunia (world-structure) menjadi jelas. Karena sebelum Islam datang struktur konsep tentang dunia telah dimiliki oleh pandangan hidup masyarakat pra-Islam (Jahiliyyah), maka struktur konsep tentang dunia yang dibawa Islam menggantikan struktur konsep yang ada sebelumnya. Konsep karam, misalnya, yang pada masa jahiliyya berarti kemuliaan karena harta dan banyaknya anak, dalam Islam diganti menjadi berarti kemuliaan karena ketaqawaan (inna akramukum inda Allah atqakum).
Pada periode Madinah, wahyu yang diturunkan lebih banyak mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, sistim hukum yang mengatur hubungan individu, keluarga dan masyarakat; termasuk hukum-hukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan Muslim dengan ummat beragama lain, dan sebagainya. Secara umum dapat dikatakan sebagai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan komunitas Muslim. Meskipun begitu, tema-tema ini tidak terlepas dari tema-tema wahyu yang diturunkan sebelumnya di Makkah, dan bahkan tema-tema wahyu di Makkah masih terus didiskusikan. Ringkasnya, periode Makkah menekankan pada beberapa prinsip dasar aqidah atau teologi yang bersifat metafisis, yang intinya adalah konsep Tuhan, sedangkan periode Madinah mengembangkan prinsip-prinsip itu kedalam konsep-konsep yang secara sosial lebih aplikatif. Dalam konteks kelahiran pandangan hidup, pembentukan struktur konsep dunia terjadi pada periode Makkah, sedangkan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan, yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, scientific conceptual scheme dalam pandangan hidup Islam terjadi pada periode Madinah.
Periode kedua timbul dari kesadaran bahwa wahyu yang turun dan dijelaskan Nabi itu merupakan konsep seminal yang telah mengandung struktur konsep yang fundamental, seperti struktur konsep tentang kehidupan (life-structure), struktur tentang dunia (world structure) , tentang ilmu pengetahuan (knowledge structure), tentang etika (ethical structure) dan tentang manusia (man structure), yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan. Istilah-istilah konseptual seperti ‘ilm, ÊmÉn, uÎËl, kalam, naÐar, tafsÊr, ta'wÊl, fiqh, khalq, ÍalÉl, harÉm, irÉdah dan lain-lain telah memadahi untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan (pre-scientific conceptual scheme), yang juga berarti lahirnya elemen-elemen epistemologis yang mendasar dalam pandangan hidup Islam. Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujudnya struktur pengetahuan dalam pikiran ummat Islam saat itu yang berarti menandakan adanya “Struktur Ilmu” dalam pandangan hidup Islam. Kata-kata ‘ilm dan derivasinya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak kurang lebih 800 kali.
Atas dasar framework ini maka dapat diklaim bahwa pengetahuan ilmiah yang terbentuk dari adanya istilah-istilah keilmuan (scientific terms) dalam Islam, lahir dari pandangan hidup Islam. Ia tidak diimport dari kebudayaan atau pandangan hidup lain. Ini bertentangan dengan framework para penulis sejarah Islam kawakan dari Barat, seperti De Boer, Eugene Myers, Alfrend Gullimaune, O’Leary, yang umumnya menganggap ilmu dalam Islam bukan asli dari ajaran Islam. Seakan akan tidak ada sesuatu apapun yang berasal dari dan disumbangkan oleh Islam kecuali penterjemahan karya-karya Yunani. Framework seperti ini diikuti oleh penulis modern seperti Radhakrishnan, Majid Fakhry W.Montgomery Watt dan lain-lain. Kesemua asumsi itu sudah tentu berdasarkan pada framework tertentu yang tidak menganggap atau menafikan wujudnya pandangan hidup Islam dan kerangka konsep keilmuan didalamnya. Jelasnya mereka gagal menangkap asas kebangkitan tradisi intelektual dalam Islam, yaitu pandangan hidup Islam.
Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam. Periode ini memerlukan penjelasan yang lebih panjang dan detail. Seperti diketahui tradisi keilmuan dalam Islam adalah merupakan konsekuensi logis dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup Islam. Karena tradisi memerlukan adanya keterlibatan masyarakat, maka Prof. Alparslan mencanangkan bahwa untuk menggambarkan tradisi keilmuan Islam, pertama-tama perlu ditunjukkan wujudnya komunitas ilmuwan dan proses kelahirannya pada awal abad pertama dalam Islam. Kemudian menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme) yang merupakan framework yang berperan aktif dalam tradisi keilmuan itu.
Dari proses lahirnya pandangan hidup Islam yang tergambar dari 3 periode diatas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran yang mendorong timbuhnya ilmu pengetahuan. Islam juga agama yang tidak saja terbatas pada perintah-perintah kerja ritual tapi juga perintah dan ajaran kehidupan sosial. Namun antara ibadah ritual dan sosial tidak sedikitpun ada batasnya, keduanya saling terkait erat dalam praktek kehidupan dunia untuk menuju kehidupan akherat. Jika konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an itu dikait-kaitkan antara satu dengan yang lain niscara akan saling berkaitan dan membentuk sebuah kesatuan. Kesatuan konsep itu jika dikaji secara seksama niscaya akan membentuk sebuah “jaringan konsep” (conceptual network).
Konsep-konsep seminal di dalam Al-Qur'an itu kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi' tabiin dan para ulama yang datang kemudian. Sebagai contoh misalnya konsep seminal 'ilm dalam Al-Qur'an itu bersifat umum. Tidak ada definisi ilmu secara konseptual dalam al-Qur’an, dan tidak ada pula klasifikasi ilmu secara mendetail. Definisi dan klassifikasi itu dilakukan oleh para ulama yang datang sebagai pewaris nabi, sehingga dalam tradisi inteltual Islam terdapat berbagai definisi. Para sahabat, tabiin, tabi' tabiin dan para ulama yang datang kemudian itu membentuk sebuah komunitas ilmuwan. Memang dalam sosiologi ilmu suatu tradisi intelektual tidak akan lahir tanpa komunitas keilmuan (scientific community) yang berfungsi sebagai pembentuk disiplin ilmu dan medium transformasi ilmu pengetahuan kedalam masyarakat luas.
Dalam tradisi intelektual Islam komunitas ilmuwan itu berkembang secara bertahap. Komunitas ilmuwan yang paling awal dan berfungsi sebagai medium transformasi ilmu pengetahuan wahyu adalah Bayt al-Arqam. Namun yang lebih efektif dari itu adalah al-Suffah, yang artinya emperan atau serambil masjid dan komunitas intelektualnya disebut Ashab al-Suffah. Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadits-hadits Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Inilah tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam yang melahirkan berbagai disiplin ilmu. Dari tradisi ilmu dengan berbagai disiplinnya inilah Islam berkembang menjadi peradaban yang kokoh. Jadi Islam adalah suatu peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks wahyu yang didukung oleh tradisi intelektual.


Pandangan Hidup Worldview asas Peradaban
Jika al-Qur’an memproyeksikan pandangan hidup Islam yang kaya dengan berbagai konsep seminal, maka pandangan hidup itulah sejatinya yang menjadi asas wujudnya peradaban Islam. Tanda wujudnya peradaban, menurut Ibn Khaldun adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optik, kedokteran dan sebagainya. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau suatu umrÉn harus dimulai dari suatu “komunitas kecil” dan ketika komunitas itu membesar maka akan lahir umrÉn besar. Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang daripadanya timbul suatu sistim kemasyarakat dan akhirnya lahirlah suatu Negara. Kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara, kota Kairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu umran bagi Ibn Khaldun diantaranya adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan papan/arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran, kesenian (kaligrafi, seni, sastra dsb.). Yang jelas di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan kreativitas masyarakat masih terdapat faktor lain yaitu agama, spiritualitas atau kepercayaan. Para sarjana Muslim kontemporer umumnya menerima pendapat bahwa agama adalah asas peradaban dan menolak agama adalah kebiadaban. Sayyid Qutb menyatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Meskipun dalam paradaban Islam struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanen. Prinsip-prinsip itu adalah ketaqwaan kepada Tuhan (taqwa), keyakinan kepada keesaan Tuhan (tawhid), supremasi kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, menyadari fungsinya sebagai khalifah Allah di Bumi berdasarkan petunjuk dan perintah-Nya (syariat).
Sejalan dengan Sayyid Qutb, Syeikh Muhammad Abduh menekankan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban. Bangsa-bangsa purbakala seperti Yunani, Mesir, India dll., membangun peradaban mereka dari sebuah agama, keyakinan atau kepercayaan. Arnold Toynbee juga mengakui bahwa kekuatan spiritual (batiniah) adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan manifestasi lahiriah (outward manifestation) yang kemudian disebut sebagai peradaban itu.
Jika agama atau kepercayaan merupakan asas peradaban, dan jika agama serta kepercayaan itu membentuk cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang pada gilirannya dapat memengaruhi tindakan nyatanya atau manifestasi lahiriahnya, maka sejalan dengan teori modern bahwa pandangan hidup (worldview) merupakan asas bagi setiap peradaban dunia.
Para pengkaji peradaban, filsafat, sains dan agama kini telah banyak yang menggunakan worldview sebagai matrik atau framework bagi kajian peradaban. Ninian Smart menggunakannya untuk mengkaji agama, S.M. Naquib al-Attas, al-Maududi, Sayyid Qutb, memakainya untuk menjelaskan bangunan konsep dalam Islam. Alparslan Acikgence untuk mengkaji sains, Al-Nabhani, Atif Zayn, memakainya untuk perbandingan ideologi, Thomas F Wall untuk kajian filsafat, Thomas S Kuhn dengan konsep paradigmanya sejatinya sama dengan menggunakan worldview bagi kajian sains.
Meski berbeda pendapat tentang makna worldview, para cendekiawan itu pada umumnya mengaitkan worldview dengan peradaban atau seluruh aktifitas ilmiah, sosial dan keagamaan seseorang. Ninian Smart, pakar kajian perbandingan agama, memberi makna worldview sebagai “kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.” Penekanannya pada fungsi worldview sebagai motor perubahan sosial dan moral. Secara filosofis Thomas F Wall, memaknai worldview sebagai “sistim kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi”. Dalam kaitannya dengan aktivitas ilmiah, Alparslan Acikgence memaknai worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiah dan teknologi. Setiap aktivitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, artinya aktivitas manusia dapat direduksi ke dalam pandangan hidup itu. Dalam konteks sains, hakikat worldview juga dapat dikaitkan dengan konsep “paradigma” Thomas S Kuhn . Istilah Kuhn “perubahan paradigma” (paradigm shift) menurut Edwin Hung sebenarnya dapat dianggap sebagai weltanschauung revolution (revolusi pandangan hidup). Sebab, paradigma mengandung konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi, yang merupakan worldview dan framework konseptual yang diperlukan untuk kajian sains.
Singkatnya, worldview berkaitan erat secara konseptual dengan segala aktivitas manusia secara sosial, intelektual dan religius. Dan yang terpenting adalah bahwa worldcview sebagai sistim kepercayaan, pemikiran, tata pikir, dan tata nilai memiliki kekuatan untuk merobah. Maka dari itu, aktivitas manusia dari yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya yang kemudian menjadi peradaban bersumber dari worldview.
Jika makna worldview adalah konsep nilai, motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktivitas ilmiah, maka Islam mengandung itu semua. Islam bahkan memiliki pandangan terhadap realitas fisik dan non fisik secara integral. Ayat-ayat Al-Qur’an jelas-jelas adalah konsep seminal (formative) yang memproyeksikan pandangan Islam tentang alam semesta dan kehidupan yang disebut pandangan hidup atau pandangan alam Islam (worldview, tasawwur al-Islami, mabda al-Islami) itu. Bukan hanya itu, konsep-konsep itu diberi medium pelaksanaannya yang berupa institusi yang disebut din, yang di dalamnya terkandung konsep peradaban (tamaddun).
Oleh sebab itu dalam Islam worldview memiliki istilahnya sendiri. Bagi al-Maududi worldview Islam adalah Islami Nazariyat (Islamic Vision) yang berarti “pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia....secara menyeluruh”. Menurut Sayyid Qutb worldview Islam adalah al-tasawwur al-Islami, yang berarti “akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat di balik itu.” Worldview dalam istilah Syeikh Taqiyuddin al-Nabhani dan Syeikh Atif al-Zayn adalah al-Mabda’ al-IslÉmÊ yang lebih cenderung merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ia mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah yaitu kepercayaan yang berdasarkan pada akal yang timbul daripadanya peraturan (niÐÉm). Sebab baginya iman didahului dengan akal. Namun Syeikh Atif juga menggunakan kata-kata mabda’ untuk ideologi non-Muslim. Ini berarti bahwa tidak selamanya berarti aqidah fikriyyah. S.M.Naquib al-Attas mengartikan worldview Islam sebagai pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakikat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yat al-Islam lil-wujud).
Jadi sebagaimana peradaban lainnya, substansi peradaban Islam adalah pokok-pokok ajaran Islam yang tidak terbatas pada sistim kepercayaan, tata pikir, dan tata nilai, tapi merupakan super-sistim yang meliputi keseluruhan pandangan tentang wujud, terutamanya pandangan tentang Tuhan, Wujud Yang Mutlak. Oleh sebab itu teologi (aqidah) dalam Islam merupakan fondasi bagi tata pikir, tata nilai dan seluruh kegiatan kehidupan Muslim. Itulah pandangan hidup Islam.
Jika pandangan hidup itu berakumulasi dalam tata pikir seseorang ia akan memancar dalam keseluruhan kegiatan kehidupannya dan akan menghasilkan etos kerja dan termanifestasikan dalam bentuk karya riel. Dan jika ia memancar dari pikiran masyarakat atau bangsa maka ia akan menghasilkan falsafah hidup bangsa dan sistim kehidupan bangsa tersebut. Jadi substansi peradaban Islam adalah pandangan hidup Islam. Namun elemen pandangan hidup yang terpenting adalah pemikiran dan kepercayaan.
Menurut Ibn Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup. Elemen tentang kemampuan berfikir berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan. Artinya kemajuan ilmu pengetahuan merupakan salah satu faktor terpenting lahirnya sebuah peradaban. Namun yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup. Dan karena ilmu pengetahuan memerlukan dukungan dan proteksi dari masyarakat dan penguasa maka diperlukan kekuatan politik agar ilmu pengetahuan dapat terus berkembang. Selain itu pemikiran dan ilmu pengetahuan tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dan yang ketiga berarti etos kehidupan, etos kerja dan termasuk juga etos keilmuan. Disinilah rahasianya mengapa Islam sebagai agama yang lahir di tengah-tengah masyarakat jahiliyah bisa menjadi sebuah gelombang peradaban yang mengandung berbagai macam gerakan.

Dari worldview kepada Gerakan
Sebagaimana diterangkan diatas kekuatan Islam, yang pertama-tama adalah pandangan hidupnya, yang diproyeksikan oleh wahyu. Pandangan hidup (Worldview) itu tidak hanya kaya dengan konsep-konsep, perintah, kewajiban dan larangan, tapi juga sarat dengan motivasi untuk bergerak memakmurkan dunia. Oleh sebab itu dari worldview umat Islam bergerak dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Pernyataan Ahmad Y al-Hassan berikut ini menggambarkan bagaimana peradaban Islam waktu itu hidup.

Marilah kita meletakkan skenario hepotesis: Jika kekuasaan Islam tidak dilemahkan dan jika ekonomi negara-negara Islam tidak dihancurkan, dan jika stabilitas politik tidak diganggu, dan jika para ilmuwan Muslim diberi stabilitas dan kemudahan dalam waktu 500 tahun lagi, apakah mereka akan gagal mencapai apa yang telah dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton? Model-model planetarium Ibn al-Shatir dan astonomer-astonomer Muslim yang sekualitas Cipernicus dan yang telah mendahului mereka 200 tahun membuktikan bahwa sistim heliosentris dapat diproklamirkan oleh saintis Muslim, jika komunitas mereka terus eksis dibawah skenario hepotesis ini.

Pernyataan al-Hassan diatas bukan suatu penyesalan, namun suatu rekonstruksi masa lalu. Artinya jika kita cermati skenario al-Hassan diatas maka kita dapati ada kedekatan dengan apa yang diteorikan oleh Ibn Khaldun. Dalam pernyataan al-Hassan secara implisit terdapat sekurang-kurangnya lima faktor penting mengapa peradaban Islam berkembang pesat dimasa lalu. Kelima faktor itu adalah:

1. Kekuasaan
2. Ekonomi,
3. Stabilitas politik,
4. Sarana pengembangan ilmu (lembaga penelitian dan pendidikan)
5. Ilmu pengetahuan.
Namun jika kita lihat secara kronologis kekuatan Islam tidak dimulai dari kekuasaan, tapi justru dari kekuatan konsep dari agama Islam itu sendiri. Karena kekuatan konsep al-Qur’an maka sebuah komunitas ulama dengan tradisi intelektual dan moralnya terbentuk secara alami. Komunitas inilah kemudian yang dapat menggalang komunitas yang lebih besar lagi sehingga menjadi sebuah institusi. Institusi negara yang pertama kali terbentuk adalah Madinah dan institusi pendidikan yang kemudian terbentuk adalah al-Suffah. Dari kedua institusi inilah berbagai kegiatan keilmuan, sosial, politik dan lain-lain semakin luas dan besar, sehingga ummat Islam dapat mengembangkan sayapnya keluar dari jazirah Arab. Marilah kita lihat bagaimana gerakan politik yang berkembang dari pandangan hidup Islam.

a. Gerakan politik

Ketika Nabi menerima laporan bahwa Kaisar Persia Ebrewez, cucu Kaisar Khosru I, merobek-robek surat Nabi sambil berkata,”Pantaskah orang itu menulis surat kepadaku sedangkan ia adalah budakku?”, Nabi pun berkomentar pendek, “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya”. Dan sabda Nabi itu benar-benar terbukti bahwa sesudah itu putra Kaisar yang bernama Qabaz merebut kekuasaan dengan membunuh Kaisar Ebrewez, ayahnya sendiri. Qabaz pun kemudian hanya berkuasa empat bulan saja lamanya. Selanjutnya kekaisaran Persia itu berganti-ganti hingga sepuluh kali dalam masa empat tahun. Ia benar-benar porak poranda. Akhirnya, rakyat mengangkat kaisar Yazdajir dan pada masa inilah Persia tidak berdaya ketika tentara Islam datang. Sejak itu kekaisaran Persia benar-benar runtuh. Ini merupakan bukti historis dari sabda Nabi yang metaforis “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya”.
Dulu, ketika Nabi menerima laporan bahwa ajakannya kepada Kaisar Romawi, Heraclius untuk berpegang pada keyakinan yang sama (kalimatin sawÉ') ditolak dengan halus, Nabi hanya berkomentar pendek "sa uhÉjim al-rËm min uqri baitÊ" (Akan saya perangi Romawi dari dalam rumahku). Ucapan Nabi ini bukan genderang perang atau teror, ia hanya berdiplomasi. Tidak ada ancaman fisik dan juga tidak menyakitkan pihak lawan. Ucapan itu justru menunjukkan keagungan risalah yang dibawanya, bahwa dari suatu komunitas kecil di jazirah Arab yang tandus, Nabi yakin Islam akan berkembang menjadi peradaban yang kelak akan mengalahkan Romawi.
Pada tahun 632, ketika Nabi Muhammad SAW wafat, beliau telah melaksanakan berbagai tugas besar yaitu yang pertama-tama adalah menyampaikan risalah (al-Qur'an), kemudian membentuk komunitas Muslim dan menyatukan suku-suku Arabia menjadi sebuah bangsa yang homogin dan kuat sehinga berdiri institusi negara Madinah dan akhirnya mendirikan institusi pendidikan yang kemudian menjadi cikal bakal tradisi intelektual Islam.
Di masa Khulafa' al-Rasyidun Islam mulai menyebar keluar dari jazirah Arabia. Diawali pada masa Abu Bakar dan mencapai titik tertingginya pada masa Umar Ibn Khattab dan boleh dikatakan terhenti pada zaman Ali ibn Abi Talib. Pada masa Khulafa' al-Rasyidun umat Islam telah menguasai kawasan-kawasan disekitar jazirah Arabia seperti Persia, Mesir, Syria dsb. Dari sejak itu umat Islam sudah tidak terbendung lagi untuk keluar dari jazirah Arabia. Pada abad ke 7 kekhaliafahan Umayyah berdiri dan beribukota di Damakus (661-750), kemudian kekhalifahan Abbasiyah berdiri pada abad ke 8 dan berbukota di Baghdad (750-1258). Selain itu pada abad ke 10 di Kairo berdiri kekhalifahan Fatimiyyah (909-1171), sedangkan di Kordoba (Qurtubah) Sepanyol pada abad yang sama berdiri kekhalifahan Umayyah (929-1031). Dengan berakhirnya kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah dan Fatimiyyah ternyata pada abad ke 16 masih berdiri kekhalifahan yang lebih besar lagi yang bukan dari bangsa Arab, yaitu kekhalifahan Turki Usmani di Konstantinopel yang berlangsung sejak 1517 hingga 1924.
Dengan berdirinya kekhalifahan Umayyah (tahun 661 M), Damascus telah berubah menjadi pusat pemerintahan Islam membawahi wilayah terpenting kerajaan Bizantium lainnya seperti Palestina, Suriah, Persia, (635-640 M), Mesir (641 M), Siprus (649 M), Iskandariyah (652 M), Transoxiana, kawasan Asia Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya jatuh ke tangan Alexander the Great.
Pada tahun 700-an, tidak lebih dari setengah abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad (632 M), umat Islam telah tersebar ke kawasan Asia Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya jatuh ke tangan Alexander the Great. Selanjutnya Muslim memasuki kawasan yang telah lama dikuasai oleh Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti. Menurut William R Cook pada tahun 711 - 713 M kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ke tangan Muslim dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke-7 kawasan itu cukup makmur. Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan kawasan itu dapat menjadi Muslim. Baru pada abad ke-11 kerajaan Kristen di kawasan itu mulai melawan Muslim. Demitri Gutas dengan jelas mengakui:

…..pada tahun 732 M kekuasaan dan peradaban baru didirikan dan disusun sesuai dengan agama yang diwahyukan kepada Muhammad, Islam, yang berkembang seluas Asia Tengah dan anak benua India hingga Spanyol dan Pyrennes.

Gutas bahkan menyatakan bahwa dengan munculnya peradaban Islam, Mesir untuk pertama kalinya, sejak penaklukan Alexander the Great, dapat dipersatukan secara politis, administratif dan ekonomis dengan Persia dan India dalam jangka waktu yang cukup lama. Perbedaan ekonomi dan kultural yang memisahkan dua dunia yang berperadaban, Timur dan Barat, sebelum Islam datang yang dibatasi oleh dua sungai besar dengan mudahnya lenyap begitu saja.
Mungkin orang mencari-cari kaitan antara metaforika Nabi “menyerang Romawi dari dalam rumahku” dengan kenyataan sejarah. Memang proses kejatuhan Romawi tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Edward Gibbon dalam The Decline And Fall Of The Roman Empire menyatakan bahwa periode kedua dari merosot dan jatuhnya Kekaisaran Romawi disebabkan oleh lima faktor : pertama di era kekuasaan Justinian banyak wewenang memberi kepada Imperium Romawi di Timur; kedua adanya invasi Italia oleh Lombards dan ketiga penaklukan beberapa provinsi Asia dan Afrika oleh orang Arab yang beragama Islam dan keempat pemberontakan rakyat Romawi sendiri terhadap raja-raja Konstantinopel yang lemah; dan terakhir munculnya Charlemagne yang pada tahun 800 M mendirikan Kekaisaran Jerman di Barat.
Jadi penyebab kejatuhan Romawi merupakan kombinasi dari berbagai faktor, seperti problem agama Kristen, dekadensi moral, krisis kepemimpinan, keuangan dan militer. Dan diantara faktor terpenting penyebab kajatuhan Romawi adalah datangnya Islam. Inilah sebenarnya kaitan pernyataan Nabi yang metaforis itu. Nabi tidak pernah pergi menyerang Romawi Barat maupun Timur, tapi datangnya gelombang peradaban Islam telah benar-benar menjadi faktor penyebab kejatuhan Romawi. Namun ini tidak bisa ditafsiri bahwa Islam itu datang membawa kehancuran peradaban lain. Islam justru harus ditafsiri sebagai penyelamatnya, sebab Islam adalah din yang menghasilkan tamaddun yang diterima oleh bangsa-bangsa selain bangsa Arab sebagai pembebas dari ketidakadilan dan penindasan. Islam membawa sistim kehidupan yang teratur dan bermartabat, sehingga mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Jadi Islam diterima oleh bangsa-bangsa non Arab karena universalitas ajarannya yang tidak lain adalah kekuatan pancaran pandangan hidupnya.
Tersebarnya Islam tanpa peperangan sebenarnya banyak contohnya. Di Indonesia, misalnya, Islam masuk dan diterima oleh masyarakat yang telah memiliki kepercayaan Hindu yang kuat. Namun karena kekuatan konsepnya Islam mudah merasuk ke dalam pandangan hidup masyarakat Nusantara waktu itu, dalam kehidupan yang menyeluruh. Ini bukti bahwa Islam tersebar bukan melulu karena pedang. Islam tersebar, menguasai dan menyelamatkan (mengislamkan) masyarakat di kawasan-kawasan yang didudukinya. Tidak ada eksploitasi sumber alam untuk dibawa ke daerah darimana Islam berasal. Tidak ada pertambahan kekayaan bagi jazirah Arab. Tidak ada kemiskinan akibat masuknya Muslim ke kawasan yang didudukinya. Daerah-daerah yang dikuasai atau diselamatkan umat Islam justru menjadi kaya dan makmur. Itulah watak peradaban Islam yang sangat berbeda dari peradaban Barat yang eksploitatif.
Pada tahun 711 ummat Islam dibawah kepemimpinan panglima perang Tariq bin Jihad berhasil menguasai Andalusia.Dibawah komando panglima perang yang bernama al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi, kekhalifahan Umayyah wilayah kekuasaan Islam meluas ke Bukhara, Takaristan (Afghanistan), Balkh, Samarqand, Khwarizm, Cina, Mongolia, Tashkent (751M) dan negara-negara Asia Tengah lainnya. Selanjutnya dibawah Panglima Muhammad ibn Qasim anak tiri al-Hajjaj Umayyah berhasil menguasai anak benua India. Jadi, pada masa itu Damascus menjadi ibukota dunia Islam yang kekuasaannya meliputi bagian-bagian penting benua Asia, Afrika dan Eropah. Di timur dari Asia Tengah dan Transoxiana sampai ke perbatasan Cina, anak benua India; di Barat dari Afrika Utara, Spanyol hingga ke Perancis selatan.
Bukan hanya itu, institusi-institusi sosial dan hukum di dunia Islam yang baru berdiri itu pun berlaku. Perlu dicatat pula bahwa Muslim memasuki kawasan yang telah lama dikuasai oleh Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti. Menurut William R Cook pada tahun 711 - 713 M kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ke tangan Muslim dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke-7 kawasan itu cukup makmur. Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan kawasan itu dapat menjadi Muslim.
Ketika kekuasaan Umayyah melemah dan runtuh, kekhalifahan Abbasiyah muncul di Baghdad. Ibukota dunia Islam lalu berpindah dari Damascus ke Baghdad. Perlu dicatat bahwa pada tahun 755 sesudah kekhalifahan Umayyah di singkirkan dari Damascus oleh dinasti Abbasiyyah yang berpusat di Baghdad, putera mahkota Umayyah yang terakhir Abd al-Rahman lari ke Spanyol dan mendirikan kekuasaan disana yang bebas dari kekuasaan Abbasiyah.
Dimasa kekuasaannya Abd al-Rahman berhasil membangun masjid Cordova yang megah, tapi pada masa penaklukan Ferdinand III tahun 1236, ia dirubah menjadi katedral Kristen. Selain itu Cordova menurut Philip K Hitti “telah memprakarsai gerakan intelektual yang membuat Spanyol-Islam dari abad sembilan sampai sebelas menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam” . Kemajuan dalam bidang seni, sastra, ilmu agama, sains, filsafat, tata kota dan lain-lain telah mempesona orang-orang Kristen yang akhirnya mereka terdorong untuk meniru gaya hidup orang Islam. Karena jumlah mereka cukup banyak dan membentuk kelas sosial tersendiri maka akhirnya orang-orang peniru itu diberi julukan Mozarab (arabnya Musta’rib).
Setelah Spanyol akhirnya runtuh pada tahun 1031 M, tumbuh kerajaan-kerajaan kecil yang lemah dan saling bermusuhan. Puncak kejatuhannya adalah tahun 1492 ketika Granada dihancurkan. Sisa-sisa peninggalannya diambil alih oleh raja-raja Katholik dan bahkan dibawah raja Philiph II umat Islam benar-benar diusir dari negeri yang pernah mereka makmurkan itu. Bahkan dimasa Isabel negeri itu benar-benar menjadi korban kecemburuan agama dan dihancurkan. Jadi umat Islam berkuasa di Spanyol sejak tahun 755 hingga dinasti Muslim di Granada dikalahkan pada tahun 1492 M, yang secara keseluruhan terhitung Muslim menguasai Spanyol selama 800 tahun.
Abbasiyah berkuasa selama kurang lebih 500 tahun (750-1258), menguasai kawasan-kawasan yang sebelumnya dikuasai dinasti Umayyah. Luas wilayah Abbasiyah dapat dilihat dari propinsi-propinsi yang berada dibawah kekuasaannya. Dimasa kekuasaan Abbasiyah terdapat kurang lebih 23 propinsi, diantaranya adalah Afrika sebelah Barat, Mesir, Palestina, Irak, Azerbaijan, Persia, Afghanistan, Bukhara Samarqand, Tashkent, Turki, dan lain sebagainya. Dimasa kekhalifahan Abbasiyah konsentrasi bukan pada perluasan wilayah tapi pada pengembangan ilmu pengetahuan seperti yang akan dibahas sebentar lagi. Kekhalifahan Abbasiyah akhirnya jatuh ketangan tentara Hulagu, penguasa Mongol. Dengan menguasai Baghdad tahun 1258, Hulagu menghancurkan hampir keselurhan kota termasuk perpustakaannya yang tak ada bandingannya itu.
Tidak lama setelah Baghdad jatuh berdirilah kekhalifahan Islam baru di Turki pada tahun 1299, yang asal usulnya adalah dari bangsa Seljuk. Namun Turki resmi menjadi sebuah kekhalifahan setelah peristiwa penaklukan Konstantinopel (kemudian disebut Istanbul) pada tahun 1453. Kekhalifahan Turki ini berkuasa hingga 1922, dengan luas kekuasaannya meliputi tiga benua yaitu Eropah Tenggara, Timur tengah dan Afrika Utara, membentang dari selat Gibraltar di Barat, hingga Laut Kaspia dan Teluk Persia di Timur. Dari pinggiran Austria, Slovakia dan beberapa bagian Ukraina di Utara hingga Sudan Eriterea, Somalia da Yaman di Selatan. Kekhalifahan ini merupakan pusat yang menghubungkan dunia Timur dan Barat selama 6 abad lamanya. Dengan ibukotanya Istanbul, kekaisaran Turki Usmani ini menggantikan kekaisaran dikawasan Laut Tengah seperti Romawi dan Bizantium, sehingga tak heran jika Turki Usmani ini dianggap pewaris kekaisaran Romawi dan juga tradisi kekhalifahan Islam.
Di masa kegemilangannya kekhalifahan Turki Usmani menjadi satu-satunya kekuatan Islam yang benar-benar menjadi halangan bagi bangkitnya kekuatan Eropah Barat antara abad ke 15 hingga 19 M. Ia perlahan-lahan menurun pada abad ke 19 dan benar-benar runtuh pada Perang Dunia I, sehingga pemerintahannya hancur dan terpecah-pecah menjadi negara-negara nasional. Sebagainya gantinya timbullah Revolusi Turki dibawah pimipinan Mustafa Kemal Ataturk yang pada tanggal 1 November 1922 kekhalifahan Turki dihapuskan dan pada 29 Oktober 1923 secara resmi berganti menjadi Republik.
Begitulah sekilas perjalanan komunitas Muslim yang dimotori oleh pandangan hidup yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah. Mereka merambah dari komunitas sahabat, tabiin, tabi tabiin dan ulama-ulama pewarisnya yang diikat oleh pandangan hidup, visi da misi keagamaan yang sama menjadi umat besar yang menyatukan bangsa-bangsa didunia. Kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki ummat Islam pada waktu itu jelas-jelas berasal dari konsep-konsep yang terdapat dalam sumber pokok ajaran Islam. Atas munculnya kekuatan Islam itu pernyataan Demitri Gutas diatas menjadi sangat relevan disini dan pernyataannya perlu digaris bawahi bahwa Islam adalah “peradaban baru didirikan dan disusun sesuai dengan agama yang diwahyukan kepada Muhammad...”
Ini bukti bahwa Islam tersebar bukan melulu karena pedang. Islam tersebar, menguasai dan menyelamatkan (mengislamkan) masyarakat di kawasan-kawasan yang didudukinya karena pandangan hidupnya. Jika memang tersebar karena pedang niscaya masyarakat yang dibebaskan akan selalu dalam situasi ketakutan dan tidak menghasilkan apa-apa. Islam menyelamatkan dab memakmurkan kawasan-kawasan atau bangsa-bangsa yang diduduki mereka. Buktinya, dalam sejarah umat Islam tidak ada eksploitasi sumber alam untuk dibawa ke daerah darimana Islam berasal, Makkah-Madinah misalnya. Tidak ada pertambahan kekayaan bagi jazirah Arab. Tidak ada kemiskinan akibat masuknya Muslim ke kawasan yang didudukinya. Daerah-daerah yang dikuasai atau diselamatkan umat Islam justru menjadi kaya dan makmur. Itulah watak peradaban Islam yang sangat berbeda dari peradaban Barat yang eksploitatif yang dengan kolonialisme justru memiskinkan negara-negara yang dijajah.
Begitulah kekuatan Islam terbangun dengan pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Stabilitas politik pun terjamin dalam waktu yang cukup lama. Sudah tentu kondisi kehidupan ekonomi kekhalifahan Islam itu berjalan seiring dengan kemajuan dibidang politik. Dan yang penting adalah perhatian yang cukup besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.


b). Gerakan Intelektual
Meskipun gerakan politik dan perluasan kawasan begitu gencar dan cepat, namun dibalik itu terdapat gerakan intelektual yang tidak kalah gencarnya. Dan inilah sejatinya inti dari peradaban Islam itu dan ini pulalah rahasianya mengapa kekuasaan dalam Islam itu menjanjikan kemakmuran, keadilan dan perubahan. Dibalik itu semua kekuatan Islam terletak pada pandangan alam Islam. Bagaimana padangan alam atau pandangan hidup ini tumbuh dan berkembang dalam pikiran seseorang dan kemudian menjadi motor bagi perubahan sosial umat Islam merupakan proses yang panjang.
Secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw., secara berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir dan periode Madinah. Kesemuanya itu menandai lahirnya pandangan alam Islam. Di dalam Al-Qur'an ini terkandung konsep-konsep seminal yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi' tabiin dan para ulama yang datang kemudian. Konsep 'ilm yang dalam Al-Qur'an bersifat umum, misalnya dipahami dan ditafsirkan para ulama sehingga memiliki berbagai definisi. Cikal bakal konsep ilmu pengetahuan dalam Islam adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu yang ditafsirkan ke dalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh. Jadi Islam adalah suatu peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks wahyu yang didukung oleh tradisi intelektual.
Perlu dicatat bahwa tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki medium tranformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut AsÍÉb al-Suffah. Kegiatan ini mulai berjalan diperkirakan 10, 17, atau 19 bulan sesudah Hijrah atau 2 tahun setelah Hijrah. Tujuan utama AsÍÉb al-Øuffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, dari sumbernya yaitu wahyu dan hadits-hadits Nabi. Meski materinya masih sederhana, seperti shalat, membaca Al-Qur’an, memahami ayat-ayat bersama-sama, berzikir serta belajar menulis, namun, karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, maka ia betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang pasti jumlah mereka adalah raturan dan tidak dapat ditampung seluruhnya di serambi masjid. AbË Nu'aym mencatat bahwa Sa'Êd ibn 'Ubadah sendiri biasa memberikan akomodasi kepada 80 orang di rumahnya untuk tujuan anggota komunitas al-Suffah ini. Yang pasti AÎÍÉb al-Øuffah adalah sebuah komunitas belajar mengajar yang efektif yang merupakan tradisi intelektual Islam yang paling awal. Produk dari komunitas ini atau alumni, sebut saja begitu, dari sekolah masyarakat (learning society) ini juga menunjukkan peran mereka dalam melahirkan disiplin ilmu-ilmu keislaman, seperti misalnya AbË Hurayrah, AbË Dharr al-GhiffÉri, SalmÉn al-FÉrisi, 'Abd AllÉh ibn Mas'Ëd dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadits ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (d.80/ 699), Muhammad ibn al-Hanafiyyah (d.81/700), Ma'bad al-Juhani (d.84/703), Umar ibn 'Abd al-'Aziz ( d.102/720) Wahb ibn Munabbih (d.110,114/719,723), Hasan al-Basri (d.110/728), Ghaylan al-Dimashqi (d.c.123/740), Ja'far al-Sadiq (d.148/765), Abu Hanifah (d.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (d.182/799), al-Shafi'i (204/819) dan lain-lain.
Kegiatan keilmuan dan munculnya ilmuwan-ilmuwan di atas, didorong secara natural oleh adanya pandangan alam (worldview) yang tertuang dalam al-Qur'an dan dijelaskan oleh Hadith Nabi. Dalam kedua sumber ilmu pengetahuan Islam itu terdapat konsep-konsep dasar (seminal concept) yang sempurna. Konsep-konsep yang sempurna itu kemudian diterjemahkan, dijelaskan dan dijabarkan oleh para ilmuwan anggota masyarakat yang terlibat. Konsep-konsep 'ilm, 'adl, dÊn, insÉn dan lain-lain dalam al-Qur'an dan Hadith, misalnya, tidak dijelaskan secara mendetail. Konsep-konsep itu kemudian dijelaskan oleh para ilmuwan yang datang sesudah Nabi, baik dari Sahabat, Tabi'in, Tabi' Tabi'in maupun ulama sesudahnya. Kajian Franz Rosenthal menunjukkan bahwa dalam tradisi intelektual Islam terdapat seratus definisi 'ilm dan diklasifikasikan menjadi dua belas kategori. Konsep tersebut menjadi istilah-istilah teknis yang mudah difahami dan bahkan berkembang menjadi struktur konsep keilmuan atau scientific conceptual scheme. Dari konsep 'Ilm ini pula kemudian lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti Ilmu Fiqih, Tafsir, Hadith, Falak, Hisab, Faraid, Kalam, Tasawuf dsb. Jika ilmu-ilmu tersebut ditinjau dengan menggunakan teori sejarah ilmu niscaya akan kita dapati bahwa asal usul ilmu-ilmu tersebut adalah dari komunitas intelektual Muslim yang bertekun mengkaji al-Qur’an dan Hadith. Ilmu-ilmu tersebut bukan ilmu yang telah jadi kemudian diimpor oleh cendekiawan Muslim sehingga menjadi ilmu milik umat Islam. Proses kelahiran ilmu-ilmu semuanya melalui fase-fase Problematic, disciplinary dan naming.
Dalam kasus ilmu Fikih misalnya, kelahirannya begitu jelas dari pemahaman terhadap al-Qur’an. Sejarahnya, segera setelah Nabi berada di Madinah tahun 622 maka kekuasaan politik ummat Islam berdiri. Pada saat yang sama sistim peradilan mulai effektif dijalankan dan Nabi berperan sebagai pemegang otoritas tunggal dalam penentuan hukum segala sesuatu. Sesudah Nabi wafat para sahabat menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan yang tidak semuanya dapat diselesaikan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Disini para ilmuwan mulai membuat penentuan hukum dengan memakai akal mereka. Praktek penggunaan akal ini disebut dengan ijma’. Penggunaan ijma’ yang pertama dalam sejarah pemikiran Islam adalah dalam menentukan pengebumian Nabi dan pemilihan khalifah pertama. Dan selanjutnya ijma’ dipakai dalam menyelesaikan berbagai problem, meskipun tidak selalu berkaitan dengan masalah hukum. Selain itu, pada saparoh abad pertama (660 M), Islam telah berkembang dengan cepat dan tersebar ke masyarakat yang berbeda kebudayaan, kultur, gaya hidup dan tradisi. Pada saat itu ummat Islam dituntut untuk menerapkan hukum Islam. sebagai konsekuensi dari tanggung jawab menentukan hukum sesuatu di masyarakat, para ulama mulai mendiskusikan masalah-masalah hukum secara intensif, tapi saat itu belum terbentuk sebuah disiplin ilmu. Tahap inilah yang disebut sebagai problematic stage.
Pada zaman Ummayyah, pusat-pusat peradilan telah berdiri di beberapa kota penting. Pada tahun 700-an tokoh-tokoh pemikir seperti HishÉm ibn ‘Urwa (d.94/712), al-Zuhri, (d. ), Hasan al-Basri (d.728) AtÉ’ ibn Abi Rabah (d.732), AbË Hanifah (d.767) telah mendiskusikan masalah-masalah hukum secara intensif dan terpisah dari diskusi-diskusi dalam bidang keilmuan yang lain, seperti misalnya masalah keimanan, masalah hadith, tafsir dll. Tahap ini, dalam proses kelahiran suatu disiplin ilmu, disebut dengan tahap disipliner (disciplinary stage). Suatu ilmu dapat dikatakan sebagai suatu disiplin apabila ia telah mengalami periode penamaan (naming stage), dimana suatu disiplin ilmu telah diberi nama khusus yang membedakan dirinya dari ilmu lain. Dalam kasus Fiqh, tahap penamaan ini terjadi dengan munculnya ImÉm al-Shafi‘Ê (w. 204/820). Dianggap demikian karena ia adalah ulama pertama yang mencanangkan asas-asas Fiqh sebagai ilmu hukum. Dalam karyanya al-RisÉlah ia memformulasikan 4 sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’an, al-Hadith, IjmÉ’ dan QiyÉs. Setelah wafatnya ImÉm al-Shafi‘Ê, Fiqh sebagai ilmu hukum mulai dipisahkan dari Fiqh dalam pengertian teologi. Dengan mengkategorikan materi obyek kajian Fiqh hanya kedalam masalah-masalah hukum dan memberinya nama khusus, maka masyarakat telah menghasilkan suatu disiplin ilmu baru yaitu Fiqh. Para orientalis dan para pengikutnya selalu menuduh bahwa Imam Syafi’i itu terpengaruh oleh logika Aristotle. Tuduhan ini berlebihan sebab Nabi pun dalam menentukan hukum sesuatu juga menggunakan logika (qiyas) yang tidak jauh berbeda dari syllogisme Aristotle. Tapi, sangat mustahil jika disimpulkan bahwa Nabi belajar logika Aristotle.

c. Membangun Tradisi ilmu
Apa yang tersirat dari kegemilangan kekuasaan dan politik Islam sejak masa Khulafa al-Rasyidun abad ke 7 M hingga kehalifahan Turki Usmani abad ke 19, adalah kegemilangan ilmu pengetahuan. Ini berarti pengkajian terhadap wahyu pada periode Madinah terus berlangsung hingga periode-periode berikutnya bahkan hingga periode-periode ketika Islam tersebar keberbagai kawasan diluar jazirah Arab.
Sebenarnya, ketika ummat Islam meluaskan wilayah kekuasaannya, mereka melakukan tiga hal penting yang dapat disarikan menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah perluasan kekuasaan politik yang didominasi oleh kekuatan militer. Kedua adalah penyebaran agama ke tengah-tengah masyarakat. Pada tahap ini yang dominan adalah kegiatan dakwah dan kegiatan keilmuan yang berpegang pada al-Qur'an. Umat berupaya mengintegrasikan ajaran-ajaran dalam al-Qur'an dengan ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban lain, terutamanya Yunani, India dan Persia. Ketiga adalah penyebaran bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa komunikasi. Dari ketiga tahap ini dapat dikatakan bahwa kekuasaan dalam sejarah Islam selalu dibarengi dengan ilmu pengetahuan atau bahkan terkadang dipersembahkan untuk ilmu pengetahuan.
Pada periode kekhalifahan Umayyah lembaga pendidikan formal belum banyak berdiri, kecuali sedikit. Putera-putera Khalifah pun dikirim ke pendidikan formal di Suriah untuk belajar bahasa al-Qur'an dan Arab resmi. Namun tidak berarti waktu itu tidak ada pendidikan. Masyarakat luas yang hendak memperoleh pendidikan, dalam pengertian masa itu, akan menggunakan masjid untuk belajar. Karena itu, guru-guru paling pertama dalam Islam adalah para pembaca al-Qur’an (qurra’). Materi utamanya al-Qur’an dan Sunnah serta bahasa Arab, tapi selain itu murid-murid juga diajar nilai-nilai keberanian, kesabaran, mentaati hak dan kewajiban agama, menghormati tetangga, menjaga harga diri (muru’ah), kedermawanan, keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan dsb. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai apa yang mereka sebut al-Kamil. Ini berarti aspek intelektual dan spiritual atau moral ditanamkan secara simultan.
Namun kajian terhadap al-Qur’an dan Sunnah sulit dilakukan oleh Muslim yang bukan asli Arab. Para pemeluk Islam baru dari daerah yang dikuasai umat Islam itu akhirnya mengakji bahasa Arab. Oleh sebab itu kegiatan yang menonjol di Khurasan dimasa dinasti Umayyah adalah kajian Bahasa Arab. Dari sinilah lahir pakar tata bahasa Arab legendaris yang bernama Abu al-Aswad al-Dua’li (w.688) yang dilanjutkan oleh al-Khalil ibn Ahmad (w.786), ulama Bashrah yang terkenal dengan kamus bahasa Arab Kitab al-Ayn. Muridnya berasal dari Persia bernama Sibawayh (w.793), menulis buku tata bahasa Arab sistimatis berjudul al-Kitab. Dari kajian ilmu kebahasaan yang dikaitkan dengan pemahaman dan penafsiran al-Qur’an ini lahirlah dua ilmu penting yaitu filologi (philologhy) dan leksikografi (lexicography).
Dari kajian terhadap al-Qur'an itu telah mendorong al-Hajjaj yang pernah menjadi panglima perang itu, melakukan perubahan ortografi al-Qur'an agar masyarakat terhindar dari kesalahan membaca kitab suci itu. Ia kemudian menjadi seorang kepala sekolah yang tidak pernah berhenti mendalami ilmu sastra dan retorika. Dukungannya terhadap kemajuan puisi dan ilmu pengetahuan sangat menonjol . Dalam bidang kajian Hadith dizaman Umayyah terdapat nama Hasan al-Basri dan Ibn Shihab al-Zuhri (w.742). Hasan al-Basri sangat dihormati dalam bidang hadith karena ia mengenal secara pribadi 70 orang sahabat.
Selain ilmu pengetahuan agama, ilmu yang dinisbatkan kepada Nabi pada masa itu terdiri adalah ilmu tentang tubuh manusia (ilmu pengobatan). Pengobatan ilmiyah Arab ini bersumber dari Yunani, dan sebagaian lagi dari Persia. Daftar urutan teratas dokter-dokter Arab pada abad pertama Islam ditempati oleh: al-Harits ibn Kaladah (w. 634) dari Taif, yang menuntut ilmu di Persia. Seorang dokter Yahudi dari Persia, Masarjawayh yang tinggal di Bashrah pada masa-masa awal pemerintahan Marwan ibn al-Hakam, menerjemahkan (683 M ) sebuah naskah Suriah tentang pengobatan ke dalam bahasa Arab. Naskah ini awalnya ditulis dalam bahasa Yunani oleh seorang pendeta Kristen di Iskandariyah, Ahrun, dan merupakan buku ilmiah pertama dalam bahasa Arab.
Dari ilmu kedokteran menjalar ke ilmu kimia. Menurut Hitti ilmu kimia adalah salah satu dari beberapa ilmu yang banyak berhutang pada penemuan orang Arab. Seperti halnya ilmu pengobatan, ilmu kimia merupakan salah satu disiplin ilmu yang paling awal dikembangkan. Khalid (w. 704 atau 708), putra khalifah Umayyah kedua. Ia adalah seorang “filsuf (hakim) keluarga Marwan”, yang menurut Fihrist merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik tentang Kimia, Kedokteran, dan astrologi.
Selain itu umat Islam juga belajar ilmu matematika dari India. Ilmu ini diperlukan untuk penghitungan atau pembagian harta waris. Seorang ilmuwan Islam terkenal, al-Khwarizimi (w. 850) menjadikan karya terjemahan al-Fazari sebagai rujukan utamanya untuk menulis tabel astronomi (zij)-nya yang terkenal itu. Lebih jauh ia menggabungkan sistem astronomi India dan Yunani, dan pada saat yang sama juga menyumbangkan pemikirannya sendiri. Di antara buku terjemahan karya-karya astronomi lainnya pada masa ini adalah karya terjemahan dari bahasa Persia ke bahasa Arab oleh al-Fadhl ibn Nawbakhti (w. 815) kepala lembaga pustaka al-Rasyid. Sekitar tahun 154 H/771 M, seorang pengembara India memperkenalkan naskah astronomi ke Baghdad yang berjudul Sidhanta (bahasa Arab Sidhind) yang atas perintah al-Mashur kemudian diterjemahkan oleh Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari (meninggal antara 796 dan 806) yang kemudian menjadi astronom Islam pertama .Perlu dicatat bahwa selama periode kekuasaan Dinasti Umayyah, kota kembar di Irak, Bashrah dan Kufah, adalah merupakan pusat aktivitas intelektual di dunia Islam .

Penutup
Jadi ringkasnya, peradaban Islam yang telah menguasai dunia selama kurang lebih 13 abad secara silih berganti dari kekhalifahan dan kekuasaan bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber itu adalah asas tamaddun Islam yang mempunyai kandungan keilmuan yang luar biasa luasnya, sehingga mampu mendorong umat Islam berkarya melalui ilmu pengetahuan yang dengan itu dapat memakmurkan dunia yang diduduki mereka. Islam yang semula dianggap sebagai sebuah agama yang memiliki doktrin-doktrin yang keras, fundamental dan rasional itu telah berkembang menjadi sebuah peradaban yang kokoh yang merahmati peradaban lain.

Pengunjung